Mohon tunggu...
Haryati Madyawiyana
Haryati Madyawiyana Mohon Tunggu... -

green education teacher (volunteer) Pertamina Foundation 2013

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jika Kakes Terbatasi

12 Januari 2014   04:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:55 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Jangan heran jika nanti sampai di Bandara Sentani kalian akan mendapati bercak-bercak merah seperti darah yang tidak bisa hilang. Itu bukan darah, tetapi ludah pinang.”

Demikian sebagian penjelasan dari Pak Muhammad Rowi, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Keerom saat memberikan sosialisasi mengenai budaya masyarakat Papua di Jakarta, 2 Oktober 2013. Lalu, ketika saya sampai di Bandara Sentani pada Sabtu pagi, 12 Oktober 2013 saya tidak mendapati bercak-bercak merah ludah pinang di dalam bandara atau mungkin penglihatan saya yang kurang baik karena waktu itu masih pagi. Saya hampir tidak percaya dan berpikir bahwa masyarakat Papua tidak lagi mengunyah pinang sebagaimana yang diceritakan oleh Pak Rowi. Setelah mengambil semua barang-barang, saya melangkahkan kaki ke luar bandara, pikiran saya terbantahkan ketika sepasang bola mata ini melihat ada benda yang menggantung. Benda itu adalah sejumlah plastik hitam yang digantung, di bagian atas penggantung plastik itu tertulis “plastik untuk meludah”. Pikiran saya langsung ke arah kebiasaan masyarakat Papua. Kebiasaan yang membudaya yaitu mengunyah buah pinang. Ya, mengunyah buah pinang sehingga membuat bibir merah merekah dan kita bisa melihat warna merah tersisa di bibir benar-benar budaya yang masih bertahan di Papua. Inilah yang membuat saya berani meyakini bahwa sampai saat ini, makan buah pinang seakan tidak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat Papua.

Buah Pinang: Antara Para Mama dan Tradisi Tiada Henti

Di balik kaca mobil yang membawa saya ke tempat peristirahatan (bukan terakhir, hehe), di sepanjang perjalanan saya menikmati keindahan alam Papua, bukitnya nan hijau, danau yang terlihat jernih airnya, jalannya yang berliku, di sisi kanan kirinya menonjolkan eksotisme pegunungan batu kapur yang menjulang tinggi. Eksotisme keindahan alam Papua memang tiada tara. Papua memang layak disebut tanah surga. Saya mulai berdecak kagum dan bergumam, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS:55). Tapi, di balik keindahan alam dan keeksotisannya ada satu hal yang lebih menarik perhatian saya, bukan bukit-bukit itu, bukan danau, bukan pula jalan yang berliku. Penarik perhatian saya adalah seorang perempuan. Seorang perempuan yang sudah terlihat dewasa (ibu-ibu) di Papua disebut Mama. Penarik perhatian saya adalah mama yang berjualan buah mirip belimbing wuluh dengan tekstur kulit yang lebih keras, kecil, dan warnanya hijau.  Buah itulah yang dinamakan buah pinang.

Mama yang berjualan buah pinang itulah yang membuat saya tertarik. Keberadaan  mama yang berjualan buah pinang tidak hanya satu atau dua orang. Hampir di setiap jalan yang saya lalui, saya menemukan penjual buah pinang dan di sepanjang perjalanan, saya melihat pembeli dan penikmat buah pinang pun berasal dari berbagai kalangan, laki-laki dan perempuan di segala usia, bahkan anak-anak kecil pun ikut mengonsumsi buah pinang.  Di banyak tempat, di Papua bagian Timur sebut saja Jayapura, mengunyah buah pinang disebut makan pinang atau menginang. Sementara itu, mengunyah buah pinang di Raja Ampat, Papua Barat biasa disebut Kakes.

Di suatu kesempatan ketika saya dibonceng sepupu saya untuk berkeliling kota Abepura, saya bertanya kepada sepupu saya yang memang sudah lama tinggal di Papua dan telah lama bersosialisasi dengan para mahasiswa, “Mas, saya lihat di sepanjang jalan banyak sekali penjual buah pinang, apakah mahasiswa di sini juga mengunyah pinang?” “Tentu saja, mereka masih mempertahankan budaya ini, menginang itu sudah tradisi di sini dan sama sekali tidak mengalami pergeseran. Mau mahasiswa, pegawai negeri, maupun pejabat masih kuat mempertahankan tradisi ini” jawab sepupu saya. “Oh begitu, saya pikir karena mahasiswa dekat sekali dengan modernisme mereka sudah enggan melakukannya. Ternyata asumsi saya tidak benar.”  “Tidak, pinang itu tradisi, seperti halnya di Jawa, ibu-ibu atau nenek-nenek yang mengunyah sirih.” Tetapi, mungkin di Jawa hanya sebagian kecil saja yang masih mengunyah sirih.”

Kembali lagi ke mama penjual buah pinang. Kebanyakan yang saya temui, penjual buah pinang adalah kaum perempuan. Ini menunjukkan bahwa peranan kaum perempuan sebagai penjual buah pinang di Papua tidak saja menambah pendapatan keluarga, tetapi justru dapat mendominasi pendapatan keluarga. Seperti obrolan saya dengan Mama Hanny, seorang penjual buah pinang, beberapa waktu lalu ketika kami duduk bersebelahan di dalam taksi menuju Tami (cerita lengkapnya ada di haryatimadyawiyana.blogspot.com).

“Mama, ada acara apa ke Abe?” tanyaku. “Mama jual pinang” jawab Mama.

“Oh, pinang, di Kampung Kibay, tempat tinggal saya ada juga ada buah pinang Mama, sering diambil sama orang untuk di jual di kota.”

“Oh, memang kadang kalau pinang di tempat sa (saya) habis sering ambil dari tempat lain”. Kami mulai melakukan obrolan-obrolan seputar buah pinang.

“Oh, begitu, sekarang Mama masih bawa pinangkah? sa mau Mama, sa pernah mencobanya, seperti makan gula-gula, tapi sa belum berani pakai sirih agak pahit” celotehku. Mama pun tertawa menunjukkan senyum merahnya.

“Habis sudah” jawab Mama Hanny, sambil tertawa.  Lalu, Mama Hanny mulai bercerita jenis-jenis pinang beserta harganya. Tiga buah pinang ditambah batang sirih dan satu sendok makan abu kapur dijual dengan harga Rp 15.000. Ini namanya pinang ojeg. Pinang ojeg itu jualannya satu paket: pinang, sirih, sama kapur, sudah diracik. Jadi pembeli tinggal makan saja, tidak perlu meraciknya lagi. Nah, ada lagi yang dijualnya per satuan atau per jumput. Satu jumput pinang atau satu jumput sirih kadang ada yang jual Rp 10.000,-. Para pembeli yang akan meraciknya sendiri.

Nah, dari sini saja dapat dilihat bahwa dari hasil penjualan buah pinang ini, para mama di Papua mampu membantu meningkatkan ekonomi rumah tangga, termasuk memenuhi biaya hidup dan pendidikan.

Menginang Tak Mengenal Kelas

Jangan heran ketika orang Papua tertawa lebar, giginya tampak berwarna hitam kemerahan. Lalu, adakah hubungan antara buah pinang dan nilai kekerabatan?

Saya mendapati di dalam suatu artikel bahwa tradisi yang tak mengenal kelas ini ternyata memiliki nilai kekeluargaan dan kebebasan berekspresi. Nilai-nilai budaya seringkali merupakan ungkapan nyata dari kearifan generasi terdahulu dalam beradaptasi terhadap lingkungan dan menjalankan kehidupan secara lebih sejahtera. Budaya menginang dengan segala keanekaragaman cara dan nilai yang dikandungnya merupakan salah satu warisan pengetahuan tradisional yang memiliki nilai-nilai positif, sehingga perlu dilestarikan, termasuk pada masyarakat di Papua. Selain itu, kegiatan ini juga bernilai tinggi dalam adat kebiasaan masyarakat Papua, dalam upacara kelahiran, perkawinan, atau ritual adat lainnya, pinang adalah yang pertama disuguhkan kepada seluruh tamu yang hadir.

Di setiap pertemuan formal atau nonformal menginang wajib dilakukan oleh peserta pertemuan, terutama para tetua adat. Tidak menginang berarti bukan "anak adat". Karena itulah, para tetua adat yang datang ke suatu acara selalu membawa sirih, pinang, dan kapur. Sebab, dalam kesempatan seperti itu bakal ada acara saling menawarkan sirih pinang dan abu kapur, meski penyelenggara acara menyediakan sirih dan pinang. Orang dinilai beretika jika dia sering menawarkan sirih dan pinang kepada orang lain. Mereka menjadikan sirih dan pinang sebagai sarana komunikasi dalam pergaulan dan bersosialisasi dengan lingkungan di mana ia berada.

Pada tahun 1930-an seorang pendatang dinilai memiliki moral dan etika jika dia mampu mengunyah pinang, sirih, dan abu kapur yang ditawarkan kepala suku. Menolak tawaran memakan pinang berarti menolak adat, sekaligus menolak keberadaan masyarakat asli tersebut. Menginang merupakan alat membangun persaudaraan, sarana komunikasi, bahan dialog dan diskusi, menjamu tamu, serta mengambil keputusan dalam adat.

Menginang memiliki nilai kesamaan budaya, serta rasa senasib dan sependeritaan. Dalam melakukan musyawarah adat, tradisi menginang lazim mengawali pertemuan. Orang tidak akan berbicara jika semua peserta belum menginang atau belum ada bahan untuk menginang di tempat pertemuan. Karena itu, tak perlu heran jika setiap ada pertemuan 2-3 orang Papua, di situ ada acara menginang. Sambil menginang orang-orang itu akan bercerita dengan santai, berdiskusi, bahkan berceramah, atau mengajar di depan kelas. Para pegawai negeri sipil atau pejabat daerah tak jarang terlihat menyimpan buah pinang, sirih, dan kapur di dalam saku celana atau tasnya.

Area Bebas Ludah Pinang!

Meskipun mengunyah pinang adalah tradisi yang masih dipertahankan di Papua, tapi tidak semua tempat memberikan ruang untuk si buah pinang ini. Pada suatu kesempatan, saat saya sedang jalan-jalan mendapati suatu tempat umum yang di dalamnya jelas-jelas nyata tertulis di sana, “Area Bebas Ludah Pinang!” Meskipun ada tulisan itu, saya sama sekali tidak menemukan tempat pembuangan ludah pinang yang disediakan di tempat ini. Karena memang jarang didapati tempat umum di Papua yang menyediakan tempat pembuangan ludah pinang. Sebagaimana tempat sampah yang sering kita dapati di tempat umum. Jalan satu-satunya bagi si pemakan buah pinang adalah membawa kantong plastik sendiri untuk menampung ludah pinangnya. Lalu, jika membawa kaontong plastik ini tidak dilakukan maka lambat laun bisa jadi “Area Bebas Ludah Pinang!” itu akan berubah menjadi “Dilarang Mengunyah Pinang di Sini!” Bayangkan jika tradisi makan pinang dibatasi, ribuan orang Papua akan kehilangan mata pencaharian terutama mama yang berupaya membantu perekonomian keluarga. Jadi, jika pembatasan kakes ini dilakukan bukan hanya berkaitan dengan kebersihan suatu tempat, tapi lebih dari itu merupakan penghilangan budaya dan potensi ekonomi masyarakat Papua. (Disarikan dari berbagai sumber)

Salam hangat,

Haryati (Green Education Teacher Pertamina Foundation Penempatan Kampung Kibay, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun