Mohon tunggu...
Rena Siva
Rena Siva Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

https://www.wattpad.com/user/Rena_Siva Instagram : rena_siva08 Salam kenal. Terima kasih sudah mampir ke blog saya. Hanya satu pesan jangan menyalin karya saya tanpa izin ya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cincin Emas dan Pesan Terakhir Ibu

29 Desember 2017   20:22 Diperbarui: 29 Desember 2017   20:36 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ibu kata sederhana itu sangat menyayat hatiku saat ini. Di kala anak-anak lain masih bisa tersenyum bahkan bertatap muka dengan sang Ibu. Aku justru tak bernasib seperti mereka. Hanya bisa duduk termenung mengenang jutaan kenangan manis dan pahit saat aku bersamanya.

Banyak hadiah dari ibu yang diberikan padaku. Dan mungkin tak ternilai harganya. Hadiah Ibu? Hemmm... Bukankah setiap sikap dan tindakannya adalah kado seorang Ibu untuk anaknya? Masakannya, omelannya hingga perhatiannya seolah memiliki sihir tersendiri. Hingga kini aku tak bisa menuliskan bagaimana mengambarkan sosok Ibu yang jasanya sangat luar biasa dari mengandung hingga mendidik seorang anak menjadi lebih baik darinya.

Dari banyak peristiwa saat aku bersama Ibu. Ada satu kenangan yang masih tersimpan di hatikku. Saat Aku masih duduk di Semester Lima di Universitas Swasta yang cukup terkenal, tahun 2013 silam. Saat itu Aku masih menjadi sosok gadis yang memiliki hobby menghamburkan uang orang tua dengan mudahnya tanpa tahu tentang getir pahitnya kehidupan di dunia ini.

Di sore hari seperti biasa Ibu sedang memasak untuk makan malam kami. Aku menghampirinya di dapur.

"Buk, aku pingin cincin emas." Kataku spontan waktu itu.

"Lah untuk apa? Kayak punya uang wae?"

"Buat gaya lah Buk. Biasa anak kuliahan. Aku ada uangnya kok tapi minta tambah ya, takut gak cukup."

Ibuku geleng-geleng kepala, "beli cincin kalo cuma buat gaya mending gak usah beli. Hidup itu gak mudah harus banyak prihatin!"

"Aah... Gak mau! Pokoknya aku pengen cincin."

Ibuku mengembuskan nafas pasrah, "ya udah besok beli sekalian ke pasar."

Aku tersenyum puas.  Begitulah sosok Ibuku yang selalu menuruti keinginan anaknya.Yah, walaupun aku harus merengek manja dulu untuk mendapatkannya.

Profesi Ibuku adalah seorang pedagang beras di pasar. Terkadang Aku selalu diminta menemaninya jualan. Jika ada anak lain yang berbakti kepada ibunya dengan membantu pekerjaannya. Aku tidak setulus itu. Aku mau membantu sebatas karena ingin sesuatu. Ironis memang. Tapi ini adalah kenyataan yang menjadi sesalku di kemudian hari.

Setelah mengantar Ibu jualan, akhirnya Aku pergi ke toko emas. Mataku tak lepas dengan berbagai cincin yang dipajang di sana. Sedangkan Ibu, Aku tak begitu memperhatikannya. Aku lebih memilih sibuk dengan memilih cincin yang ku inginkan. Setelah cukup lama melihat-lihat, Aku mengambil cincin bermotif kupu-kupu dengan perpaduan emas putih di sampingnya. Aku mulai menghitung uang yang kupunya, dan ternyata benar uangku tak cukup untuk membayarnya.

"Buk, uangku kurang tambahin ya." Ucapku enteng.

Ibu mulai mengambil uang dalam tas. Dan memberikan beberapa lembar uang berwarna merah padaku. Tanpa berbincang-bincang lagi kami pun pulang. Pada waktu itu Aku sama sekali tidak tahu perasaan Ibu. Sedih atau senang. Yang Aku tahu hanya permintaanku harus dituruti. Itu saja. Tak ada komentar lebih.

Dulu adalah saat-saat yang membahagiakan untukku memiliki seorang Ibu yang sangat memanjakanku dan memenuhi kebutuhanku tanpa perlu capek-capek kerja. Kuliah sudah dibiayai. Uang saku tinggal minta. Tidur tinggal tidur. Benar-benar hidup seperti seorang 'Putri'.

Hingga hari itu pun tiba. Hari dimana aku tak bisa melihat senyum ibuku lagi. Yah, dua tahun setelah kami membeli cincin, Ibuku jatuh sakit. Sakit diabetes yang menjalar ke komplikasi organ lain. Ibuku memang sudah 2 tahun terakhir mengidap penyakit itu hanya saja semakin hari semakin parah.  Setelah empat hari di rawat di Rumah Sakit, Ibu ku dinyatakan meninggal dunia. Aku menangis menyesali seluruh sikapku yang dulu tak menghargainya.

Setelah Ibuku meninggal Aku mengalami depresi yang cukup parah. Nyaris hidup seperti boneka. Hanya berjalan kemana arus membawaku. Kerasnya hidup tanpa sosok seorang Ibu  membawaku ke kehidupan yang sebenarnya dan seadannya. Tak ada lagi kehidupan bak Putri dalam duniaku.

Aku tak pernah menyangka waktuku bersama ibu hanya sebentar. Dan sekarang hidupku berubah tak bisa merengkek seperti dulu jika ingin sesuatu. Harus berusaha sendiri. Tak ada lagi hidup foya-foya gratis bahkan untuk mencari sesuap nasipun Aku harus mencarinya sendiri.

Sempat berfikir ingin menjual cincin itu untuk memenuhi kebutuhan hidupku. Tapi, Aku urungkan karena Cincin Emas itu bisa mengingatku pesan terakhir Ibu jika 'Hidup itu gak mudah harus banyak prihatin!'

29 Desember 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun