Toleransikah ... ?
Saat tinggal indekos di rumah keluarga besar Katolik yang taat, beliau adalah Bapak dan Ibu A. Sutaryo, bersama tiga orang putra, satu menantu, serta dua orang cucu. Saya hanya berdua (bersama ART) yg muslim. Hambatan komunikasi awal, saat kumandang adzan maghrib tiba, tv dimatikan. Saat itu baru satu tv, TVRI (1975) yang menyiarkan adzan maghrib. Kami menempati satu kamar berdua dengan kawan, yang kemudian saya ketahui seorang Katolik yang taat juga.Â
Kamar kami berdampingan dengan kamar bapak dan ibu kos. Sementara tv ditempatkan di depan kamar beliau. Kalau mau lihat tv, saya tinggal menarik kursi keluar kamar, demikian juga beliau. Kalau waktu adzan maghrib tiba biasanya tv dimatikan, saya merasa tidak nyaman juga. Saya berpikir bagaimana caranya agar saya tetap bisa mendengarkan adzan.Â
Saya punya cara, setiap menjelang adzan, kursi saya tarik ke luar kamar dan saya duduk di sana, untuk melihat tv, sekaligus ingin suara adzan maghrib dapat berlangsung. Saat itu juga, Ibu kos keluar, seperti biasanya akan mematikan tv. "Ee ... ada nak Haryadhi." ... "Ya bu ... ". Sekali dua kali berlangsung, hingga akhirnya suara adzan biasa terdengar di rumah tempat saya indekos.
Demikian juga setiap malam Jumat, TVRI menyiarkan ceramah agama Islam dan dilanjutkan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al quran. Saat itu, penceramah yang menjadi favorit adalah Buya Hamka. Sebagaimana malam-malam Jumat sebelumnya saya sudah pesan tempat, duduk di depan tv, apa lagi malam itu jadwalnya Buya Hamka. Setiap malam Jumat saya biasa nonton sendirian.Â
Sesaat kotbah berlangsung, terdengar suara Ibu kos dari dalam kamarnya ... "Nak, itu Buya Hamka ya?" ... "Iya Bu ..." Tampak wajah Ibu kos sumringah keluar kamar sambil menggeser kursi, ikut nonton tv.Â
Sesekali wajahnya manggut2 dan tak pernah lepas dari senyumannya. "Ini Buya Hamka ya nak ... bagus-bagus". Â Ternyata, setelah beberapa waktu berlangsung beliau ikut menyimak juga terutama saat acara kotbah malam Jumat dari balik kamarnya. Dan, setiap ada Buya Hamka siaran beliau ikut menontonnya, sambil tersenyum dan manggut2 seperti biasanya.
Akhirnya, setiap suara adzan maghrib berkumandang dan siaran kotbah malam Jumat tiba, sudah menjadi hal yang rutin dan biasa, sebagaimana di dalam keluarga muslim pada umumnya.Â
Demikian juga, saat puasa Ramadhan tiba, hidangan makan sahur sudah disiapkan pada tengah malam, dan kawan sekamar yang Katolik ikut membangunkan ... "Sahur sahur ... Har, sahur."
Akhirnya, suasana kekeluargaan menjadi cair, tidak ada lagi rasa ewuh pekewuh. Demikian juga, saat ada perayaan Natal, sayapun ikut bantu2 mempersiapkannya.
Mungkin, apakah itu yang disebut toleransi? Ternyata, toleransi bukan sesuatu yang susah dan mahal, hanya "rasa" saling menghargai dan menghormati. Akhirnya, kamipun hidup bak keluarga yang rukun tanpa harus meninggalkan keyakinan dan agama masing-masing.
Kala itu, Bapak dan Ibu A. Sutaryo adalah aktivis Gereja Katholik di Jalan Erlangga, Semarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H