Sengaja judul tulisan ini dibuat provokatif. Bukan hanya karena Pandji yang jadi salah satu mc acara bertajuk Stand Up Comedy Indonesia 3 (disingkat secara unyu, SUCI) ini pernah punya acara provokatif di televisi berita. Judulnya provokatif karena penampilan peserta asal Madura ini memang provokatif memancing tawa dari minggu ke minggu.
Materi stand up Muslim bergerak dari persoalan stereotip primordial (orang madura terkenal sering jual beli besi bekas) yang spesifik menjadi lebih universal (boy band Indonesia kerennya pas ngos ngosan di akhir performancenya) yang tetap mengalirkan energi tawa yang sama besarnya. Itu, dia sampaikan tanpa melepas bungkus kedaerahan yang sering dia ucapkan tapi saya (mungkin penonton non madura) ga paham apa maksudnya: Asalole…! dan itu juga memancing tawa. Bahkan ketika dia mengajak kita membayangkan 1.500.000 tenaga kerja indonesia yg tidak dapat perlindungan dari negara sebagai boy band, kita juga tertawa. Padahal khusus pada bagian TKI itu, Muslim sedang mengajak kita merenungkan apa jadinya jika potensi TKI itu punya sikap yang kompak, seirama, energik laiknya boy band dalam menyuarakan aspirasinya?Maka mungkin tak perlu ada organisasi mengatasnamakan kesejahteraan TKI yang malah justru menyusahkan TKI mengurus dirinya sendiri.
Pesan2 yang ada dalam materi stand up comedynya adalah juga yang membedakan Muslim dengan Komika (istilah untuk pelakon stand up comic yang dipakai Kompas TV) lain. Pernah juga ada Liongki yg kerap menyisipkan pesan sosial dalam materinya(Bapak bangga pada anaknya. Seorang anak datang mengadu pada bapaknya, pak saya nabrak mobil di jalan tol, dua orang meninggal, tapi saya ga dipenjara pak... bapaknya bilang: siapa dulu bapaknya...) tapi dia tergusur justru karena tidak mulus mengadon pesan dalam materinya. Pada Muslim, yang berprofesi perawat, pesan itu berjalan mulus (ga bener kalau orang bilang di rumah sakit banyak setannya... yang banyak setan itu biasanya cuma di bagian kasir. Pas liat biaya perawatan, keluarga pasien biasa mengumpat... Setan mahal banget...!) atau sajiannya saat audisi, “Nama saya Muslim, jadi kalau saya gak lolos audisi ini, sama dengan penistaan agama. Jangan heran kalau nanti ada orang pakai putih-putih dan minta supaya Stand Up Comedy ini di boikot.” Juripun dengan ikhlas memberinya Golden Ticket.
Stand up comedy memang bukan sekadar lawakan biasa, tapi lawakan cerdas. Kecerdasan bukan hanya diperlukan penonton saat menangkap inti kelucuan dalam materi, melainkan juga diperlukan komika saat meracik bahan guyonan dan menyajikannya sehingga memicu urat tawa penonton. Maka guyonan Warkop di radio Prambors jaman dulu yang memainkan asosiasi nama2 marga suku batak (manurung ke bawah, jalannya banyak nainggolan...) atau kesewenangan aparat atau pejabat (“Mas punya bapak tentara, pejabat atau polisi?” tanya anak muda pada seorang pria di sebelahnya. “Gak.. Kenapa memangnya?”, “Eh.. mata lo dimana...! Kaki lo nginjek kaki gue niiih...!” bentak anak muda itu) jadi punya tenaga memicu tawa. Bukan hanya karena cara penyajiannya yang lancar dan matang, setting kisahnya bisa dan mungkin banyak terjadi, dan memiliki relevansi yang kuat dengan kenyataan. Memerlukan ketekunan dan sensitifitas yang tinggi menyerap fenomena2 sosial dan mengubahnya menjadi materi guyonan. Ini seharusnya jadi pembeda materi stand up comedy dengan jenis komedi lainnya bahkan juga dengan sesama stand up comedy yang sekadar ngocol atau cerita2 lucu. Muslim memiliki potensi, ketekunan dan sensitifitas tadi.
Komika lain yang juga potensial adalah Fico. Dengan kejeniusannya dia memasuki materi absurd (tutup botol yang cemburu pada mulut botol karena sudah bersentuhan dengan bibir Fico saat Fico meneguk isinya atau monolog Fico dengan mulut yang diminta tutup mulut karena suka nyeletuk, akibatnya Fico jadi 'bisu') dan menyajikannya dg mimik yang lugu hingga mengundang tawa. Tapi peringatan juri Indro pada tayangan 3 Maret lalu patut diperhatikan Fico.
Absurditas materi Fico boleh jadi mengundang tawa sebagian penonton, tapi menjadi berbahaya bagi Fico ketika kejenakaan yang absurd itu jadi tidak mempan memicu tawa penonton di rumah. Dengan kata lain, kejenakaan materi Fico tidak universal. Bukan berarti tidak bagus. Ibarat barang, guyonan Fico agak eksklusif dan hanya kalangan tertentu yg bisa mengaksesnya. Padahal dunia entertain di Indonesia, yang dimotori televisi, baru bisa menerima para penampil yang universal. Fico bisa jadi saingan terberat Muslim andai dia mampu keluar dari dunia absurd yang menjadi zona nyamannya dan bergerak dengan kekuatan lucu yang sama ke zona universal, tanpa meninggalkan cirinya yang absurd.
Babe Cabiita juga bisa menyodok bahkan mengungguli Muslim. Komika asal Medan ini, memiliki kecerdasan, sensitifitas menangkap fenomena social. Persoalannya, beberapa kali dia menyajikan materi komedi yang bersifat biru (soal bulu ketiak pemain film wanita era 80-an). Materi ini boleh jadi mengundang gelak di Usmar Ismail, tempat perhelatan SUCI 3, tapi buat penonton di rumah yang lebih beragam bisa jadi ini menimbulkan rasa tidak nyaman.
Meskipun setiap komika punya potensi yang nyaris sama, sejauh pengamatan dan catatan saya beberapa hal perlu jadi perhatian. Secara umum, materi jenaka yang bersifat universal dan menjadi pengalaman atau setidaknyapengetahuan bersama mampu memancing tawa. Ferry yang polisi mampu memancing tawa manakala menyeletuk perihal kebiasaan 'damai' dijalan antara pelanggar lalu lintas dan polisi (kapan gue berantem sama emak lo.. tau2 minta damai...). Tantangan Ferry adalah bagaimana dia bisa menyajikan materi yang bersifat internal (polisi) yang sudah jadi pengalaman bersama secara elegan.
Bagi penonton di rumah, bermain-main pada materi yang berasosiasi negatif secara seksual menimbulkan rasa kurang nyaman. Kendatipun tetap mampu mengundang tawa. Soal misi pesan dapat menjadi nilai tambah yang menjadikan stand up comedy pantas dilabeli sebagai komedi cerdas sekaligus jadi daya tarik.
Andai kompetisi ini menggunakan sistem sms, saya tetap dalam keyakinan Muslim lah yang akan memenangi kompetisi. Karena hanya pada Muslimhape bereaksi positif saat harus kirim sms dibandingkan pada komika lain. Saya membayangkan beginilah situasi yang terjadi saat kirim sms.
"Ga mau dukung Fico, gue di sentuh cuma kalau butuh... huh!" kata hape pas mau diminta kirim sms.(Fico)
"lagi asyik2 kirim sms, eh gue di tackling sama telunjuk. gagal deh kirimannya," kata jempol jengkel (Ary)
"Dia ambil gue di Terminal Pasar Senen, gue diserahin di Stasiun Tanah Abang terus dioper lagi di Terminal Cililitan, jadi buat apa gue dukung Bene. Dia aja gak tau siapa pemilik gue sebenernya.." (Bene)
"gimana mau cepet kasih dukungan, mencet hurufnya aja kayak jalan di kraton. satu huruf 5 menit. lamaaaaaa banget." (Reno)
"Kalau dia kalah, urusannya panjang..." (Ferry)
"hm.. gue harus gimana ya hehehehe..(Gaya Alphi yang suka bingung sendiri)
"Ga ada jaminan kalau dia menang, gue gak akan dituker sama beras, dirinya aja pas bayi mau dituker beras sama ibunya,”(Gian)
"Sebetulnya gue g suka sama Muslim. Jokenya biasa aja. Gayanya sok asik. Gue terpaksa dukung, karena kalau gak... dia bongkar bodi gue terus dia ambil semua unsur logam di gue, dia kiloin...."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H