Mohon tunggu...
Ahmad Jazuli Harwono
Ahmad Jazuli Harwono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis untuk melupakan masalah, dan satu-satunya cara yang paling memungkinkan(saat ini) untuk beraktualisasi. Penulis dapat di hubungi melaui email:paklik_jul@yahoo.co.uk dan hp:081 386 25 6949

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menggugat Demokrasi Kita

27 Januari 2014   12:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:25 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13908002741577834231

Tahun 2014 ini adalah tahun politik, tahun hajatan demokrasi. Semarak pestanya bahkan mulai terlihat sejak akhir tahun lalu. Di mana-mana foto caleg bertebaran dalam berbagai bentuk, dari mulai banner, baliho, dan spanduk yang menghiasi jalan, sampai dengan kalender gambar caleg yang terpasang di rumah-rumah warga.

Agaknya, hampir semua kontestan politik berpendapat sama tentang efektifitas pemasangan gambar dirinya, terhadap kemungkinan keberhasilan dalam kontes politik yang mereka ikuti. Mengiklankan diri menggunakan beragam media adalah cara membentuk popularitas. Asumsinya, semakin banyak memasang gambar, maka semakin menjadi dikenal, dan perolehan suara akan sesuai dengan harapan. Dalamdemokrasi dengan systemsuara terbanyak, siapa yang lebih popular tentu lebih besar harapanya untuk meraih kemenangan.

Konsekuensinya,tentu saja kegiatan mengiklankan diri tersebut membutuhkan biaya yang besar. Terlebih, bagi para kontestan yang sebelumnya kurang atau tidak popular sama sekali. Untuk mendongkrak popularitas secara instan, bahkan para calon harus merogoh kocek dalam-dalam. Selain biaya pembuatan iklan melalui banner dan baliho, masih ada juga biaya untuk tim sukses, membiayai event-event pengerahan massa, atau bahkan untuk membeli suara calon pemilih secara langsung.

Adalah fakta, bahwa Demokrasi kita saat ini sudah bertransformasi menjadi demokrasi berbiaya tinggi. Hanya mereka yang ditopang modal financial memadailah yang bisa mengakses hak pilih pasif dalam Pemilu. Dalam situasi seperti ini, maka para aktifis maupun golongan intelektual, tetapi tidak memiliki modal, akan tersingkir. Sebaliknya, peluang terbuka justru dimiliki seorangibu rumah tangga biasa minim pengetahuan dan pengalaman, tetapi suaminya memiliki modal financial yang kuat.

Jika demikian, lalu dimana keunggulan sistem politik demokrasi?.

Jika model kontestasi politiknya, rekruitmen pemimpinnya salah kaprah semacam itu maka berarti demokrasi ternyata sama buruknya dengan sistem-sistem politik lainya. Sama buruknya dengan sistem politik yang sebelumnya kita caci-maki, kitabuang, karena kita percaya bahwa demokrasi lebih baik.

Demokrasi di pilih karena dianggap lebih menjanjikan. Menjanjikan mendatangkan perbaikan. Kita benci pemimpin yang dictator, makanya kita memilih demokrasi. Kita juga memilih demokrasi, karena kita menolak percaya bahwa ada manusia yang bisa dianggap mewakili Tuhan, sehingga bisa memerintah manusia atas nama-Nya. Namun, karena telah memilih demokrasilah maka hari ini kita memiliki pemimpin-pemimpinbodoh, pemimpin-pemimpin rakus, dan pemimpin-pemimpin yang hobi maling.  Betapa banyak daerah yang saat ini berubah menjadi daerah kekuasaan raja-raja kecil, berapa banyak sudah pemimpin hasil pemilu maupun pemilukada yang akhirnya dipenjarakan karena perilaku malingnya?. Dempkrasi begitu mudah di bajak oleh politik dinasti, maupun digarong oleh hasrat politik demi kekuasaan dan uang semata.Yah, itulah hasil dari demokrasi kita selama ini

Lantas hendak dikemanakan nasib bangsa dan Negara ini jika demokrasi transaksional model demikian tetap dipertahankan?

Dalam praktek demokrasi kita saat ini, memilih pemimpin metodenya masih kalah bagus dengan metode pemilihan model majalah remaja maupun acara audisi artis dadakan. Yang paling banyak uangnya, paling banyak gambarnya, atau yang gambarnya mudah diingat akan berpeluang lebih besar untuk menang dan menjadi pemimpin kita. Demokrasi tidak memberi ruang bagi orang yang benar-benar baik (tetapi tidak berduit) untuk menjadi pemimpin. Salah kaprah!.

Idealnya, Demokrasi dipilih karena dinggap akan mampu memenuhi hak-hak rakyat karena siapa yang menjadi pemimpin bisa di control bahkan merupakan pilihan rakyat sendiri. Tetapi dalam kenyataannya, pertimbangan-pertimbangan pragmatis telah membajak tujuan idealis dari demokrasi. Demokrasi bukan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tetapi dari rakyat, oleh penguasa, dan untuk penguasa.

=============================================================================

Bila rakyat memang harus menentukan sendiri pemimpinya, maka syarat utamanya adalah menetapkan mekanisme penentuannya itu yang rasional dan dapat dipertanggungjawabkan metodologi serta hasilnya.

Di dalam sistem demokrasi terdapat partai partai politik. Tetapi sayangnya partai politik tidak bekerja dengan baik dalam menyiapkan kader-kadernya . Nyaris tidak ada uji kompetensi yang memadai dalam merekrut kadernya. Pertimbangan ideologis dikesampingkan, yang diutamakan adalah kemampuan financial, kecukupan materi para caleg semata.

Terkait dengan banyaknya gambar para caleg yang bertebaran, saya pribadi merasa aneh dan merasa tidak masuk akal jika saya harus memilih caleg, hanya karena saya hafal namanya dari gambar yang dia pasang. Sistem politik kita nampaknya tidak memfasilitasi terciptanya ‘ruang’ pertemuan yang memadai antara yang akan dipilih dan yang akan memilih. Harusnya, ada upaya sistematis dari pihak yang berwenang untuk menciptakan ruang pertemuan antara keduanya. Melalui fasilitasi dialog mungkin, agar pemilih bisa lebih mengetahui sendiri, mengenali, menguji, dan memperbandingkancalon-calonlegislative yang akan mereka pilih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun