Mohon tunggu...
Harwanto Herlambang
Harwanto Herlambang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

mau belajar, itu lebih baik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Anarkisme Bagian dari Strategi Gerakan Mahasiswa

23 April 2012   10:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:15 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sangat berat dan sulit untuk kita terima tetapi ini merupakan fakta yang juga enggan untuk kita mengakuinya. Gerakan yang mengusung atas nama gerakan moral yang menjadi jargon dalam setiap gerak mahasiswa. Kontrol sosial yang dilakukan untuk mencegah terjadinya stagnasi akut permasalahan sosial kemasyarakatan yang terjadi di Indonesia. Terkadang kontrol itu harus kita lakukan dengan langkah yang lebih progresif meski agak radikal. Dalam hal ini, anarkisme merupakan bagian yang tidak bisa kita hindarkan dalam situasi gerak yang amat memaksa ketika kita harus memberikan perlawanan represifme negara maupun untuk membentuk opini publik meskipun harus berlumuran darah.

Jika kita lihat dalam teori demokrasi, media massa merupakan wilayah demokrasi (demokratic state) keempat disamping eksekutif, legislatif dan yudiktif baik itu media cetak maupun elektronik, yang meliputi harian, mingguan, majalah, newsletter, televisi dan radio. Bisa dikatakan bahwa media massa adalah pilar keempat disamping tiga pilar demokrasi lainnya. Ketika teori Trias Politica muncul (Montesque 1689-1755) membagi kekuasaaan menjadi tiga lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif secara terpisah maka oleh Edmund Burke (1729-1797) dikatakan bahwa media adalah wilayah keempat demokrasi ketika ia sambil menunjuk galeri pers di gedung House of Commonns. Disana duduk diwilayah keempat dan mereka lebih penting dibanding dengan semuanya.

Dalam kenyataan memang media menjadi kekuatan dalam politik maupun untuk memelihara kehidupan demokrasi. Pers dan media massa ini bisa menjadi andalan publik disaat eksekutif, legislatif dan yudikatif tidak lagi melakukan cheks and balances. Terlebih lagi bila tiga pilar demokrasi utama ini terlibatdan terjebak pada urusan picik sehingga menimbulkan gairah dan komitmen untuk menjadi pembela kepentingan rakyat banyak. Sangat disayangkan sekali bahwa yang dibicarakan panjang lebar diatas (pilar keempat demokrasi) mengalami erosi. Seperti yang terjadi di Amerika sendiri, media massa utamayang membentuk opini publik ternyata menjadi alat kepentingan korporasi. Begitu juga yang terjadi di Indonesia, media massa pada umumnya menyuarakan kepentingan korporasi besar atau para pemilik modal. Sehingga isi pokok daripada media itu adalah sejatinya propaganda untuk melindungi kepentingan korporasi.

Jika dilihat melalui kacamata bisnis memang tidak terelakkan lagi jika korporasi tujuan utamanya adalah keuntungan dan begitu juga bisnis yang melalui media massa. Berita-berita yang mereka kemas mayoritas berita yang bersifat menyedot banyak perhatian publik seperti hiburan dan lain lain dari pada sebuah tuntutan kebijakan. Bahkan media terkesan mengalihkan perhatian publik dengan tayangan yang intens. Itu terjadi pada saat publik dan mahasiswa pada khususnya melakukan tuntutan kebijakan kenaikan harga BBM dengan situasi yang lumayan hangat dan ketika itu pula perhatian masyarakat terpindah alihkan dengan kasus bentrokan FPI dan AKKBB di Monas beberapa waktu lalu. Yang sangat terlihat adalah bahwa media menayangkan dengan secara gencar-gencarnya sehingga mau tidak mau mereka (publik) terhegemoni dan lupa akan tuntutannya (terbentuknya opini publik). Memang secara sosiologis publik, berita yang ditayangkan secara berulang-ulang akan sangat berpengaruh terhadap kinerja otak sehingga berita tersebutlah yang mendominasi dari apa yang diterima.Seperti itu juga prospek bisnis yang dicari dari media.

Atas dasar itulah (preasure, opini publik dan represifme) mengapa mahasiswa dalam gerakannya sering melakukan gerakan demontrasi yang terkadang berujung anarkis. Untuk memperoleh legitimasi dan dukungan banyak dari publik untuk menyerukan tuntutannya, mahasiswa membutuhkan perantara komunikasi masa yang sangat besar salah satunya media massa. Dengan banyaknya dukungan dari mayoritas masyarakat otomatis peluang untuk meloloskan tuntutannya semakin besar. Tetapi yang terjadi disini adalah tidak adanya dukungan dari media massa ketika media lebih mengedepankan keuntungan melalui moment tertentu daripada moment yang kita lakukan (tuntutan kebijakan). Mungkin inilah bagian gerakan radikal mahasiswa untuk mendapatkan dukungan dari publik melalui media, mereka tak segan-segan untuk melakukan chaos. Karena dengan adanya chaos secara tak langsung media akan berbondong-bondong meliput dan menyebarkan kepublik karena pada dasarnya media memang senang dengan berita yang spektakuler. Dan tentu berikut dengan tuntutannya seperti kasus penting bagi masyarakat yang dulu terkesampingkan bisa diangkat kembali. Satu hal yang menarik yang perlu dibahas disini adalah peristiwa pelolosan hak angket DPR pada tanggal 24 Juni 2008 yang mana atas tekanandari ekstra parlementer melalui gerakan anarkis sangat dominan. Itu bisa kita lihat dari awal ketika itu mayoritas fraksi tidak menyetujui hak angket tetapi setelah terjadinya anarkis dan tekanan dari luar mereka dengan gampang menyetujui hak angket. Dari sini bisa dilihat betapa bobroknya moral para wakil rakyat kita. Peristiwa itu telah membuka kesadaran kita bahwa kontrol sosial yang dilakukan para aktivis jalanan memang sangat diperlukan dikala keadaan sosial kemasyarakatan membutuhkannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun