harga barang dan jasa atau yang biasa disebut dengan inflasi, telah menjadi perhatian utama dalam beberapa tahun terakhir. Dari bahan makanan pokok hingga kebutuhan sekunder, lonjakan harga ini tidak hanya memengaruhi daya beli masyarakat tetapi juga stabilitas ekonomi secara keseluruhan. Fenomena ini tidak hanya memengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai negara, tetapi juga menunjukkan dinamika kompleks dalam ekonomi global. Lalu kira-kira mengapa harga barang terus melonjak? Apakah ini hanya sekadar inflasi rutin, atau ada faktor lain yang memengaruhinya? Artikel ini akan mengulas penyebab utama inflasi berdasarkan data dan kajian terkini, serta memberikan analisis kritis tentang faktor-faktor yang mendasarinya.Â
KenaikanApa Itu Inflasi?
Inflasi sering disebut sebagai "biang keladi" dari kenaikan harga barang. Inflasi adalah kondisi di mana harga barang dan jasa secara umum meningkat dalam jangka waktu tertentu, sehingga daya beli uang menurun. Secara sederhana, uang yang kita miliki hari ini tidak bisa membeli barang sebanyak yang bisa kita beli tahun lalu. Inflasi sering diukur menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK), yang mencerminkan perubahan harga rata-rata dari barang-barang tertentu yang digunakan masyarakat sehari-hari. Menurut laporan Bank Dunia, tingkat inflasi global melonjak tajam pada 2022, dengan rata-rata mencapai 7,4%, yang merupakan angka tertinggi dalam lebih dari 20 tahun terakhir.Â
Mengapa Harga Barang Terus Melonjak?
1. Permintaan yang Melebihi Pasokan (Demand-Pull Inflation).
Peningkatan permintaan yang tajam, terutama selama pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19, menjadi salah satu pemicu utama. Ketika pembatasan dilonggarkan, pemerintah di banyak negara memberikan stimulus ekonomi berupa bantuan tunai langsung untuk menjaga daya beli masyarakat. Akhirnya masyarakat pun mulai membelanjakan lebih banyak uang untuk barang dan jasa. Namun peningkatan permintaan ini tidak diimbangi dengan ketersediaan barang, sehingga harga naik. Hal ini menciptakan tekanan inflasi dari sisi permintaan. Contohnya kenaikan harga mobil bekas di Amerika Serikat. Selama 2021, permintaan meningkat tajam karena kelangkaan mobil baru akibat krisis semikonduktor. Akibatnya, harga mobil bekas naik hingga 37% dalam setahun.Â
2. Gangguan Rantai Pasok Global.
Pandemi COVID-19 membawa dampak besar terhadap rantai pasok global. Penutupan pabrik, pembatasan ekspor-impor dan kekurangan tenaga kerja membuat pasokan barang menjadi terbatas. Disrupsi rantai pasok global selama pandemi memperburuk kondisi ekonomi global. Laporan dari St. Louis Federal Reserve menunjukkan bahwa keterlambatan pengiriman dan kelangkaan bahan baku meningkatkan biaya produksi di berbagai sektor. Misalnya, harga semikonduktor yang naik drastis menyebabkan lonjakan harga barang elektronik dan kendaraan.Â
3. Kenaikan Biaya Energi dan Komoditas (Cost-Push Inflation).
Terjadi ketika biaya produksi naik, sehingga harga barang yang dijual ke konsumen ikut meningkat. Contohnya kenaikan harga bahan baku, upah tenaga kerja, atau krisis energi, seperti perang Rusia-Ukraina, yang berdampak signifikan pada harga energi dan pangan. Rusia adalah eksportir utama gas alam dan pupuk, sementara Ukraina adalah penghasil gandum global. Konflik ini menyebabkan kenaikan tajam harga energi hingga 80% pada 2022 dan melonjaknya harga pangan global hingga 28%. Lonjakan harga minyak dunia akibat konflik geopolitik, seperti perang Rusia-Ukraina ini, memberikan efek domino terhadap perekonomian global. Harga bahan bakar yang naik membuat biaya transportasi dan logistik melonjak. Akibatnya, harga barang di tingkat konsumen ikut terdongkrak.Â
4. Kebijakan Fiskal dan Moneter yang Longgar.
Selama pandemi, banyak negara menerapkan kebijakan moneter ekspansif, seperti penurunan suku bunga dan pelonggaran kuantitatif. Meskipun bertujuan untuk mendorong konsumsi, kebijakan ini juga memperbesar tekanan inflasi ketika suplai barang tidak mampu mengikuti lonjakan permintaan.Â
5. Ketergantungan pada Impor.
Sebagai negara yang masih mengimpor berbagai kebutuhan pokok, seperti bahan pangan dan energi, Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga global. Ketika nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat, biaya impor meningkat, sehingga harga barang di pasar domestik ikut naik.Â
Bagaimana Pengaruhnya terhadap Kehidupan Masyarakat?
1. Penurunan Daya Beli.
Ketika harga barang naik lebih cepat daripada pendapatan, daya beli masyarakat menurun. Sebuah studi IMF menyatakan bahwa inflasi 10% dapat menyebabkan penurunan konsumsi rumah tangga hingga 6%. Dengan pendapatan yang tetap, masyarakat harus mengeluarkan lebih banyak uang untuk memenuhi kebutuhan pokok. Akibatnya, alokasi dana untuk kebutuhan lain, seperti pendidikan atau hiburan, menjadi berkurang.Â
2. Ketimpangan Ekonomi dan Sosial.
Kenaikan harga barang tidak hanya menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan menengah ke bawah, tetapi hal ini cenderung lebih berdampak pada masyarakat miskin, yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan pokok. Hal ini dapat memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi dari berbagai sektor kehidupan.Â
3. Tekanan terhadap Pelaku Usaha.
Inflasi yang tinggi sering kali memicu ketidakpastian di kalangan investor dan pelaku usaha. Hal ini dapat menghambat investasi jangka panjang dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Bagi pelaku usaha, terutama UMKM, kenaikan harga bahan baku dan energi menjadi tantangan besar. Banyak pelaku usaha terpaksa menaikkan harga produk atau bahkan mengurangi jumlah produksi untuk menghindari kerugian.Â
Siapa yang Harus Menangani Masalah Ini?
1. Pemerintah.
Untuk mengatasi kenaikan harga barang, pemerintah biasanya mengambil beberapa langkah strategis, seperti:Â
a. Kebijakan Moneter yang Ketat.
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter dapat menaikkan suku bunga acuan untuk mengendalikan inflasi. Namun, langkah ini harus dilakukan secara bertahap agar tidak memicu resesi. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat dan menekan permintaan.Â
b. Subsidi dan Bantuan Sosial.
Pemerintah juga memberikan subsidi untuk menjaga harga barang tertentu tetap terjangkau, seperti bahan bakar, listrik, atau kebutuhan pokok. Selain itu, bantuan sosial diberikan kepada kelompok rentan untuk membantu mereka memenuhi kebutuhan sehari-hari.Â
c. Diversifikasi Rantai Pasok Ekonomi.
Mengurangi ketergantungan pada satu wilayah atau bahan baku tertentu, sehingga dapat meningkatkan resiliensi ekonomi terhadap disrupsi global. Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, pemerintah mendorong penguatan sektor produksi dalam negeri, seperti sektor pertanian, manufaktur, dan energi terbarukan. Negara perlu berinvestasi dalam energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil yang rentan terhadap fluktuasi harga global. Langkah ini tidak hanya meningkatkan ketahanan ekonomi tetapi juga menciptakan lapangan kerja.Â
2. Masyarakat.
Sebagai masyarakat, kita juga dapat berkontribusi untuk menghadapi tantangan ini. Berikut beberapa langkah yang bisa dilakukan:Â
- Meningkatkan literasi keuangan dengan memahami pengelolaan keuangan, seperti menabung dan berinvestasi. Sehingga masyarakat dapat lebih bijak dalam mengelola pendapatan dan pengeluaran.Â
- Mendukung produk lokal dengan membeli produk lokal dan mempromosikannya ke media sosial, sehingga dapat membantu perekonomian dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada barang impor.Â
- Mengurangi konsumsi yang tidak perlu dengan fokus pada kebutuhan utama dan mulai berhemat, sehingga dapat membantu mengelola dampak kenaikan harga barang.Â
KesimpulanÂ
Kenaikan harga barang adalah fenomena yang kompleks dari berbagai faktor yang saling berkaitan, baik dari faktor domestik maupun global. Sebagai mahasiswa Universitas Airlangga, Program Studi D4 Manajemen Perkantoran Digital, saya memiliki minat pada isu-isu ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Saya percaya bahwa pemahaman mendalam tentang dinamika ekonomi dapat membantu kita menjadi bagian dari solusi. Dengan berkontribusi melalui literasi, inovasi, dan kolaborasi, kita dapat menghadapi tantangan ini bersama-sama dan menciptakan masa depan ekonomi yang lebih stabil dan berkeadilan.Â
Referensi
Santacreu, A. M., & LaBelle, J. (2022). Global Supply Chain Disruptions and Inflation. St. Louis Federal Reserve.Â
International Monetary Fund. (2022). World Economic Outlook: Managing Inflation.Â
Bank Dunia. (2022). Global Inflation Report.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H