Akan tetapi, sebelum berpikir terlalu jauh, saya sarankan Pak Menteri Nadiem membaca buku-buku pelajaran Matematika dan Bahasa yang ada saat ini yang menggunakan model kurikulum K-13 dan bandingkan dengan buku-buku numerik dan literasi di sekolah-sekolah internasional. Saya sudah membaca buku-buku itu dan membandingkannya, menurut saya, kurikulum K-13 sudah ke arah sana.
Akan timbul pertanyaan, mengapa profil dan kompetensi literasi dan numerik anak-anak Indonesia tetap tertinggal meskipun sudah menggunakan kurikulum K-13? Terus terang saya belum paham masalahnya di mana, bisa jadi ada di infrastruktur sekolah atau malah di kompetensi guru, entahlah. Namun jika ada kesimpulan yang menyatakan itu karena UN, maka saya lebih tidak paham lagi logikanya.
Terlepas dari keempat hal tersebut di atas, saya sependapat bahwa model UN memang tidak sempurna dan mungkin saja benar sudah ketinggalan zaman. Namun serta-merta membuat kebijakan besar seperti penghapusan UN hanya dalam hitungan bulan setelah Bapak dilantik bisa jadi tidak bijak karena banyaknya hal yang harus dipertimbangkan menjadi terlewatkan.
Benar bahwa sekolah-sekolah di Singapura mulai tahun ini menghapus ujian dari sekolah-sekolah mereka, namun jangan lupa, keputusan ini diambil setelah melalui proses transisi selama 4-5 tahun. Dan jangan lupa juga, bahkan sebelum mereka menghapus ujian dan sistem ranking di sekolah-sekolah mereka, sistem pendidikan di Singapura sudah menjadi salah satu yang terbaik di dunia.
Dalam ketidaksempurnaannya UN memiliki beberapa kelebihan dalam konteks Indonesia:
1. Sebagai alat evaluasi berbasis angka, setidaknya itu satu-satunya kebijakan evaluasi pendidikan yang sudah melalui proses dialektika yang panjang yang kita punya saat ini. Kebijakan UN bukan kebijakan "kebut semalam" bin grusa-grusu
2. Nilai UN selama ini memudahkan kita untuk seleksi siswa (PPDB) ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, SD ke SMP dan SMP ke SMA. Hal ini memberikan kepastian bagi siswa dan orang tua dalam merencanakan masa depannya. Proses seleksi relatif dapat dilakukan secara objektif dan transparan serta memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk mengejar sekolah impiannya. Seleksi PPDB berbasis nilai UN cukup menyulitkan para setan gundul untuk melakukan praktik-praktik korup ala kleptokrat untuk mengintervensi sistem seleksi.
Terakhir, sejak awal saya termasuk yang mendukung suatu saat UN untuk dihapus, tapi apa iya proses perumusan kebijakannya begini?!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H