Terus meningkatnya popularitas Gubernur DKI Joko Widodo (Jokowi) sebagai kandidat Presiden mengingatkan kita dengan beberapa peristiwa yang terkait dengan Pemilu 1999, saat itu PDIP menang secara fenomenal pada pemilu legislatif, meski tertunda jadi Presiden karena dikalahkan Gus Dur pada Sidang Umum MPR 1999, Megawati akhirnya dilantik juga jadi Presiden RI ke-5 pada Sidang Istimewa MPR 2001. Dalam alam Jawa, seseorang yang sudah mendapat wahyu kedaton untuk menjadi raja, maka tidak ada kekuatan yang dapat menghalanginya, mereka yang begitu keras menjadi lawan pun, tiba-tiba dapat berubah haluan menjadi pendukung. Lawan-lawan politik Megawati yang pada tahun 1999 menyerang Megawati dengan bermacam isu, mulai dari isu gender, SARA sampai dengan pendidikan, entah bagaimana caranya dapat menemukan alasan pada tahun 2001, dengan menggunakan isu yang serupa untuk memperkuat figur Megawati agar dianggap layak untuk menjadi Presiden, dan rakyatpun akhirnya mengamini.
Teringat saya akan pengalaman saat masih di kampus, saat itu ada seorang adik kelas yang tergolong rupawan sehingga menjadi incaran banyak laki-laki di kampus, para teman yangdikenal mapan sebagai playboy berlomba merebut hatinya, namun semuanya gagal total. Masyarakat kampuskupun akhirnya menjadi gempar ketika menyaksikan ternyata Si Rupawan telah mendapat gandengan, tentu saja seorang laki-laki, sebutlah namanya S, yang kebetulan dia adalah teman satu angkatanku, seorang laki-laki yang sangat biasa (biasanya kebangetan) dalam hal apapun, sehingga banyak komentar miring para pecundang melihat keberhasilan S menaklukan Si Rupawan, mulai dari main dukun sampai “jangan-jangan S anak orang kaya ya…?”, bla,bla,bla..., apapun komentar miring yang beredar, dua sejoli ini jalan terus dan awet, alhamdulillah sampai sekarang. Dasar jomblo yang sok ilmiah, saya pun penasaran untuk mengetahui, tentu bukan untuk mengetahui motivasi S mengapa dia tertarik menaklukan hati Si Rupawan, tapi alasan mengapa Si Rupawan memilih S yang biasanya itu kebangetan, saya tidak berhasil menemukan jawabannya saat itu.
Kita hidup di zaman di mana materialisme mencengkeram begitu kuat dalam setiap sendi kehidupan kita, bahkan seandainya saat ini bukan kapitalisme yang mendominasi setelahsosialisme tumbang dalam perang dingin, kita tetap akan tercengkeram oleh materialisme, bukankah kaum Marxis pun berpaham bahwa semua pencapaian dalam bentuk apapun harus diukur dengan materi? Makanya mereka gagal memahami bagaimana seorang santri atau abdi yang begitu patuh kepada seorang kyai atau majikannya meski mereka harus hidup dalam kekurangan materi, sementara junjungan mereka hidup dengan materi yang berlimpah. Kaum Marxis kekeuh menuduh para junjungan menggunakan berbagai ilusi untuk melegitimasi dan melestarikan sistem sosial ekonomi yang menguntungkan para junjungan, “agama itu candu” merupakan jargon sahih yang membuktikan kegagalan mereka untuk paham.
Materialisme boleh mencengkeram, bahkan sampai ke kakus di terminal, namun materialisme tetap bukan manusia atau semesta kehidupan itu sendiri, dia hanya bagian kecil yang melengkapi manusia atau kehidupan. Banyak kejadian nyata dalam hidup ini yang menunjukkan bagaimana peristiwa di dunia ini digerakkan oleh hal-hal di luar nalar materialisme, betapa banyak orang yang anti-Amerika terharu bahkan sampai meneteskan air mata saat menyaksikan bagaimana para hero dalam film-film Amerika melakukan adegan-adegan heroik. Bagaimana materialisme akan menjelaskan tindakan para fans sepakbola yang lebih mendukung tim nasional negara lain daripada tim nasional negaranya sendiri karena di tim nasional negara lawan tersebut ada pemain dari klub pujaannya?
Manusia dan kehidupan ini memang terlalu kompleks untuk disederhanakan hanya dalam konteks “Kamu mau kasih apa, kalian dapat apa dan apa bagian saya”. Namun yang jelas manusia sangat berkepentingan untuk menjadikan dirinya bahagia dan harmoni kehidupan ini untuk kenyamanan batinnya, entah itu dengan cara berteriak demonstrasi, bersimpati memberi sumbangan, tertawa ringan sambil menikmat hobi atau menangis khusuk dibalik dinding rumah-rumah ibadah. Jelas lawan-lawan politik Jokowi akan gagal jika menuduh Jokowi seperti tuduhan mereka terhadap Megawati dulu, tidak intelek karena tidak sekolah sampai sarjana karena dia seorang Insinyur, kurang Islami karena bukan dari kalangan santri seperti Mahfud MD atau Hidayat Nurwahid karena setidaknya Jokowi mampu menunjukkan bahwa dia rajin beribadah dan isterinya pun tidak canggung untuk memakai busana muslim atau dituduh karbitan karena keturunan darah biru atau mendompleng nama bapaknya. Basis dukungan untuk Jokowi akan datang dari Suku Jawa yang sudah terlanjur percaya dengan sadar atau tidak bahwa Jokowi telah mendapat wahyu kedaton dan mereka yang sudah lama tidak bahagia melihat para elit politik berpidato tentang kerakyatan dan keadilan dengan wajah yang dibuat-buat menderita dan tidak mampu menunjukkan ketulusan dan empati yang sebenarnya mesti itu sudah dipoles dengan berbagai iklan mahal di TV atau baliho-baliho congkak di pinggir-pinggir jalan protokol. Mungkin Jokowi penampilannya tidak akan bisa segagah dan seheroik Prabowo atau seintelek Gita Wityawan dan Anies Baswedan, namun para calon pemilih itu sudah terlanjur nyaman dengan apa yang dimiliki Jokowi, dan bagi mereka mungkin itu sudah cukup untuk melanjutkan hidup ini, mengapa bisa begitu? Itulah manusia dan kehidupan, begitu kompleks, tapi realitasnya bisa dipahami dengan hanya menerima kenyataan tanpa butuh teori yang njelimet yang sudah terlanjur terkooptasi oleh materialisme. Si Rupawan itupun bahagia dan nyaman dengan memilih S sebagai teman hidupnya, “begitulah...”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H