Mohon tunggu...
Matahari Pagi
Matahari Pagi Mohon Tunggu... Administrasi - Rakyat Indonesia

Bloger tanggung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mempermalukan Koruptor, Keluarga dan Mereka yang Ikut Menikmati

2 Juni 2013   19:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:38 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam menangani dua kasus korupsi terakhir yang mendapat perhatian luas publik, yaitu kasus pengadaan simulator SIM yang diduga melibatkan pejabat tinggi Polri serta kasus impor daging sapi yang diduga melibatkan petinggi sebuah partai besar, KPK menelusuri aliran dana yang diduga dari hasil korupsi, hasilnya sengaja disampaikan ke publik secara luas, baik berupa uang, rumah, mobil dan harta benda lainnya. Tidak hanya sampai di situ, KPK melakukan langkah baru dengan mengungkap profil pihak-pihak yang (diduga) ikut menikmati aliran dana dari hasil korupsi tersebut kepada publik. Langkah ini menuai protes beberapa pihak yang menganggap bahwa hal tersebut tidak pantas dilakukan karena dinilai dapat mempermalukan pihak-pihak yang terpublikasikan profilnya, banyak yang menganggap bahwa langkah ini tidak ada dasarnya.

Tekanan dan Rasionalisasi

Seorang ahli pemberantasan korupsi, Donald Cressey (1919-1987), pernah menjabat sebagai Presiden The Institute for Financial Crime Prevention. Sumbangan terbesarnya dalam upaya pemberantasan korupsi adalah model yang dikenal dengan Fraud Triangle. Dalam model ini, Donald Cressey menjelaskan bahwa ada tiga faktor yang selalu muncul dalam setiap tindakan korupsi, yaitu: Tekanan (pressure), rasionalisasi (rationalization), dan kesempatan (opportunity). Dalam kesempatan ini akan dijelaskan mengenai tekanan dan rasionalisasi.
Tekanan merupakan segala sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan korupsi, misalnya kebutuhan akibat terlilit utang, biaya sekolah anak dan gaya hidup. Jika kita amati dari berbagai pemberitaan kasus korupsi di Indonesia, jelas terlihat bahwa para pelaku korupsi tersebut bukanlah orang yang miskin atau kekurangan secara ekonomi. Dibutuhkan penelitian yang mendalam untuk mengetahui tekanan utama yang mendorong para pelaku ini melakukan korupsi, namun setidaknya secara kasat mata kita dapat melihat bahwa mereka rata-rata hidup bergelimang harta dan mempertontonkan kekayaan yang dimilikinya secara terang-terangan di lingkungan pergaulan mereka yang juga gemerlap. Perilaku ini tidak jarang juga ditunjukkan oleh keluarga dan atau kelompok terdekat mereka.
Rasionalisasi adalah pola pikir (mindset) dari para pelaku korupsi untuk mengesahkan tindakannya, misalnya karena merasa digaji tidak layak seorang PNS merasa sah untuk mengkorupsi dana APBN/APBD atau anggota DPR merasa sah untuk menerima gratifikasi karena telah memperjuangkan aspirasi konstituennya sementara untuk menjadi anggota DPR dia telah menggunakan dana pribadinya. Pola pikir masyarakat (termasuk keluarga) yang mengangap seseorang sukses dan terhormat selama dia memiliki harta berlimpah dan mau berbagi juga merupakan contoh lain dari faktor ini. Pola pikir ini menjadi tertanam kuat dalam pikiran dan benak keluarga para koruptor atau orang dekat mereka karena mereka ikut menikmati hasil korupsi ini dan mengidentifikasikan “kesuksesan” dan “kehormatan” yang dimiliki oleh para koruptor tersebut sebagai bagian (milik) dari mereka.

Terapi (Kejut) Sosial

Korupsi di Indonesia sudah menjalar di segala lini, saking gawatnya, masyarakat kita semakin bingung membedakan mana tindakan yang tergolong korupsi dan mana yang tidak, sebuah gejala nyata bahwa korupsi sudah membudaya, mematikan nurani kita. Jika kita ingin memberantas korupsi secara masif dan mendasar, maka fenomena korupsi tidak cukup dipahami dengan melihat dari cara para pelaku melakukan korupsi (modus korupsi), tapi juga harus dipahami berbagai relasi sosial dan budaya yang pasti ada dalam setiap aksi-aksi korupsi seperti yang dijelaskan dalam model Fraud Triangle di atas.
Keluarga atau orang dekat pelaku korupsi sangat besar kemungkinannya merupakan bagian dari yang menciptakan tekanan dan rasionalisasi sehingga terjadinya tindakan korupsi. Hanya dengan menekan faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindakan korupsi maka korupsi dapat diberantas secara mendasar dan luas, karena sejatinya korupsi bukan merupakan fenomena ekonomi tapi merupakan fenomena sosial. Efek jera secara sosial merupakan tujuan utama mempertontonkan para pelaku dan pihak-pihak yang ikut menikmati hasil korupsi kepada masyarakat umum secara luas.
(Disclaimer: Tulisan merupakan opini pribadi, tidak terkait dengan institusi atau lembaga mana pun)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun