Mohon tunggu...
Muhammad Harun Sukarno
Muhammad Harun Sukarno Mohon Tunggu... Akuntan - NIM 55521120014, Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

UNIVERSITAS MERCU BUANA, PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI, MATA KULIAH PAJAK INTERNASIONAL - P552120005 - Kamis 19:30-22:00 (XC-008) (Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak) UNIVERSITAS MERCU BUANA, PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI PEMERIKSAAN PAJAK - P552120006 - Sabtu 14:30-16:59 (I-404) (Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak)

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

K6_Kritik Sisi Gelap Produk Hukum Patuhh Pajak Dekonstruksi Derrida

11 April 2023   01:03 Diperbarui: 11 April 2023   01:05 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi 

Kepatuhan pajak saat ini tengah menjadi sorotan publik. Mengapa demikian? Karena kepatuhan pajak menimbulkan dimensi permasalahan yang beragam. Berbagai upaya dilakukan oleh akademisi dan otoritas pajak untuk mencari jalan tengah dengan cara diskursus, tapi faktanya belum ada definisi yang ideal tentang kepatuhan pajak yang digaungkan selama ini. Alih-alih menemukan problem solving, ternyata paradigma patuh pajak itu sendiri telah bertransformasi dari masa ke masa. Adagium yang semula "mengapa wajib pajak tidak membayar pajak?", namun sekarang ini justru maknanya semakin mengalami kemunduran menjadi "mengapa wajib pajak diiharuskan untuk membayar pajak?". Secara kontekstual, dapat dimaknai secara implisit bahwa dulu makna harfiah merujuk pada "mengapa wajib pajak tidak patuh pajak?", saat ini menjadi "mengapa wajib pajak diharuskan patuh pajak?".

Bertolak pada pembalikan dan penundaan dalam transformasi makna kepatuhan pajak ini, Derrida secara definitif menolak makna harfiah suatu kepatuhan pajak. Bahkan kritik terhadap teksnya bersifat melawan tatanan kodrat untuk meraih kebebasan. Dalam perspektif ekonomi rasional misalnya, aspek matematis perhitungan pajak hanya pemenuhan ekonomi yang egois. Mengapa demikian? Kepatuhan pajak akan memunculkan biaya atau beban baru bagi wajib pajak dan melakukan upaya untuk menghindari pajak adalah keuntungan bagi wajib pajak. Dalam perspektif Derrida, konsep ini masuk dalam ranah penundaan atau pembedaan yang menggambarkan arah dekonstruksi. Kepatuhan pajak bukan hanya sekedar untung dan rugi saja, melainkan penundaan hubungan antara penanda dan petanda yang membalikkan hirarki logika (oposisi) yang bersifat biner. Untung rugi akan muncul apabila ada teks dan kontekstual yang mengatur didalamnya dan dapat berubah karena adanya perbedaan ruang dan waktu.

Produk hukum kepatuhan pajak yang disahkan oleh pemerintah melalui Kementrian Keuangan dan pemangku kepentingan lainnya telah bertransformasi dari waktu ke waktu. Pembalikan hirarki logika Derrida akan berproses dalam oposisi "mengapa harus direvisi jika bisa menggunakan produk hukum yang lama?". Jawaban pemikiran Derrida akan membentuk premis yang mengatakan bahwa ruang dan waktu yang menyebabkan produk hukum kepatuhan pajak sudah tidak relevan untuk diimplementasikan lagi. Dengan kata lain, produk hukum kepatuhan pajak lama sudah tidak dapat mewadahi berbagai kepentingan wajib pajak dan otoritas pajak dalam melakukan pemungutan pajak. Adanya perbedaan dalam konteks ruang dan waktu berlakunya produk hukum kepatuhan pajak ini telah menyempurnakan makna teks yang tunggal. Sebab perbedaan akan menolak dan melawan makna yang sifatnya absolut. Pemerintah saat ini memiliki produk hukum kepatuhan pajak yang terbaru yaitu UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) UU No.7 Tahun 2021 yang disahkan pada tanggal 29 Oktober 2021. UU HPP tersebut telah mengubah perundangan-undangan perpajakan yang sebelumnya yaitu:

  • UU No. 2 Tahun 2020 tentang Perpu No.1 Tahun 2020 mengenai kebijakan keuangan dalam menghadapi COVID-19 dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional.
  • PERPU No. 1 Tahun 2020 mengenai kebijakan keuangan dalam menghadapi ancaman nasional keuangan.
  • UU No. 42 Tahun 2009 mengenai Perubahan Ketiga terhadap UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPnBM
  • UU No. 16 Tahun 2009 mengenai Perpu No.5 tahun 2008 atas Perubahan Keempat UU No.6 Tahun 1983 KUP dalam bentuk UU.
  • UU No. 36 Tahun 2008 mengenai Perubahan Keempat terhadap UU No.7 Tahun 1983 tentang PPh
  • UU No. 39 Tahun 2007 mengenai Perubahan terhadap UU No.11 Tahun 1995 membahas masalah Cukai
  • UU No. 11 Tahun 1995 mengenai Cukai
  • UU No. 8 Tahun 1983 mengenai PPnBM
  • UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh
  • UU No. 6 Tahun 1983 mengenai KUP.

Sejak tahun 1983 hingga saat ini, produk hukum kepatuhan perpajakan bertransformasi untuk kepentingan nasional Bangsa Indonesia dalam menghimpun pajak rakyat. Begitu pula dengan UU HPP yang baru saja disahkan pada tahun 2021 lalu. Apabila waktu terus berjalan hingga 10 bahkan 30 tahun mendatang, produk hukum kepatuhan pajak UU HPP yang bersifat baru ini akan menjadi produk lama yang akan membuat perbedaan (difference) berdasarkan perspektif Derrida. Jika demikian, tidak ada yang absolut dalam memaknai segala aspek perpajakan di Indonesia? Apabila pembalikan hirarki logika yang digunakan adalah penundaan akan membentuk kesempurnaan.

Jika demikian, mengapa diciptakan produk hukum kepatuhan pajak jika wajib pajak bisa tidak mematuhi pajak?

Sekali lagi dekonstruksi Derrida tengah menyoroti teks yang bersifat literal tetapi sudah dimanifestasikan dalam metafora dan premis-premis logika wajib pajak. Berangkat dari pertanyaan diatas, Dekonstruksi Derrida bukan untuk melawan perundangan yang disahkan negara. Pertanyaan dalam dekonstruksi tersebut justru memberikan pengajaran dan pembelajaran pada wajib pajak untuk merenungkan kembali dasar, praktek, konsep dan nilai yang telah diejawantahkan oleh pikiran. Mungkin sebelumnya wajib pajak tidak memiliki pemikiran untuk patuh pajak, namun setelah ada kontekstual dan slogan yang dibuat pemerintah menjadi patuh pajak. Misalnya slogan "warga negara yang bijak, taat pajak". Setelah adanya beberapa permasalahan yang muncul pada badan dan otoritas pajak, perlahan pemaknaan "bijak dan taat pajak" mulai luntur dan bergeser dalam pemaknaan yang lebih rendah.

Inilah fase pembalikan hirarki logika Derrida yang digambarkan sebagai berikut:

Sumber Gambar : Dokumen Pribadi 
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi 

Dengan perspektiff behavioral cooperation, pernyataan "taat pajak dan bijak" justru meningkatkan kepatuhan pajak dengan adanya peningkatan terhadap layanan pajak dan reformasi pajak yang terjadi dari waktu ke waktu. Namun, tak ayal masalah kepatuhan pajak ini masih terus menjadi diskursus yang paling menarik untuk dibahas dan dicari jalan tengah untuk mengatasi masalahnya.


Resiko 

Membayar pajak dalam persepsi wajib  pajak justru memunculkan dua opsi yang saling bertentangan. Apabila membayar pajak, maka saya akan menjadi warga negara yang baik dan jujur. Dalil negasinya adalah jika tidak membayar pajak, maka akan menjadi warga negara yang tidak baik karena melakukan penghindaran pajak. Resiko dari dua opsi yang muncul ini sangat berbeda, opsi pertama bersifat rendah dan opsi kedua bersifat resiko tinggi karena besar kemungkinan menimbulkan masalah berupa sanksi dan pemeriksaan yang tidak pernah diharapkan oleh wajib pajak.

Multi-agent merupakan sebuah pendekatan yang dapat memotivasi wajib pajak untuk patuh terhadap pajak. Karena didalam aspek perpajakan bukan hanya disokong oleh kepentingan individual melainkan kepentingan nasional dengan cara menanamkan kepatuhan wajib pajak dengan rasa bersalah, malu, moralitas dan altruisme. Pemikiran kelompok turut dalam mempengaruhi kepatuhan pajak karena adanya kepercayaan, tax morale, patriotisme, adat kebiasaan, keadilan dan norma sosial yang sudah dipelihara dari waktu ke waktu. Dengan kata lain, pajak tidak berada dalam ruang hampa. Pajak membutuhkan kerja sama banyak pihak yang bersifat multiple entity dengan mengakomodasikan peran dan interaksi para pihak.

Sisi Gelap Produk Hukum Patuh Pajak Dekonstruksi Derrida

Secara harfiah Dekontruksi Derrida mengacu pada aspek penanda yang diartikan sebagai teks dan petanda yang diartikan sebagai makna. Teks dalam hal ini adalah produk hukum kepatuhan pajak yang sudah bertransformasi dari waktu ke waktu. Perubahan tersebut menyebabkan perbedaan atau difference dalam bentuk jurang pemisah antara aturan dan interprestasi makna yang ditimbulkan. Perbedaan dalam tata bahasa perpajakan dimaknai sebagai tumpang tindihnya aturan pajak sebagai produk hukum dari kepatuhan pajak.

Pemerintah memiliki pekerjaan rumah yang masih sangat banyak untuk membuktikan bahwa pemaknaan setiap pasal yang terus bertransformasi tidak rancu, ambigu dan multitafsir. Dengan demikian, kredibilitas dalam fase pembalikan hirarki logika Derrida pada kesadaran wajib pajak dapat terbentuk dengan baik karena pemerintah berhasil membuktikan distribusi pajak bersifat transparan, akuntabel dan tepat sasaran.

Kakanwil Dirjen Pajak Selatan II Edi Slamet dalam Media Indonesia edisi 13 Juli 2020 mengungkapkan bahwa

"Harus diakui regulasi negara dalam bidang perpajakan yang berlaku saat ini masih harus disempurnakan agar tercipta peraturan perpajakan yang integratif dan tidak rancu. Harus diakui masih terjadi tumpang tindih peraturan perpajakan,"

Teks yang berisi tentang insentif pajak berupa potongan pajak 6% saat COVID-19 dalam UU No. 2 Tahun 2020 diberlakukan bersamaan dengan UU lain yang mengatur tentang hal yang sama. UU tentang insentif yang diberikan untuk kepabeanan dan PPN, justru memunculkan pemaknaan untuk mengeruk keuntungan dengan harga jual alat kesehatan yang masih mahal, padahal pemerintah telah memberikan insentif. Perspektif Derrida menunjukkan bahwa oposisi binner akibat perbedaan dan penundaan ini justru memunculkan penghancuran berupa kemunculan oknum tidak bertanggung jawab sehingga diperlukan penyempurnaan UU.

Contoh lainnya adalah pengisian SPT yang tercantum dalam pasal 8 ayat 4 UU No. 16 tahun 2009 atau UU KUP yang memiliki oposisi binner dengan UU Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.74/2011. Dalam KUP, dalam pengungkapan ketidakbenaran dalam pengisian SPT dapat dilakukan meskipun otoritas pajak telah memeriksa dan syarat Surat Ketetapan Pajak (SKP) belum terbit. Tetapi pada PP 74/2011 menyebutkan bahwa ketidakbenaran dalam pengisian SPT masih dapat dilakukan sepanjang pemeriksaan pajak belum melaporkan SPHP. Dapat dikatakan bahwa kedua UU tersebut memiliki aspek waktu yang berbeda dimana rentang waktu PP 74/2011 jauh lebih pendek dibandingkan dengan UU KUP.  Dalam perspektif Dekonstruksi Derrida, kedua UU tersebut menimbulkan pertentangan atau oposisi binner yang menyebabkan adanya jurang pemisah dan perbedaan.

Sumber Gambar : Dokumen Pribadi 
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi 

Skema teoritik Derrida menunjukkan tiga langkah diantaranya adalah identifikasi hirarki oposisi dalam teks yang dianggap istimewa dan sistematik. Kedua, oposisi saling ketergantungan dan saling berlawanan. Ketiga adalah gagasan yang masih bersifat baru tidak dapat dimasukkan dalam gagasan lama.

Dari sini Derrida nampaknya terus melakukan pengkajian filsafat dengan aspek sistem metafor. Pemikiran Richard Rorty bahwa perspektif Derrida membahas pemilahan yang mirip dengan pemilahan hubungan inferensial antar kalimat di satu pihak dan bersifat asosiatif. Langkah yang dilakukan dengan peletakan makna kunci dalam sebuah kalimat, kemudian peletakan pada satuan kata. Problematika filsafat kontemporer berusaha untuk mendapatkan argumentasi yang dapat memenuhi syarat dasar pemikiran yang bertumpu pada paradoksal dan tantangan dalam filsafat itu sendiri. Kajian filsafat Derrida berupaya untuk menjelaskan rasionalitas dan pluralisme atas konsep kekinian yang berhubungan dengan aspek penggunaan bahasa. Rasionalitas yang berkembang saat ini cenderung bersifat sementara dan konvensional bukan lagi mutlak dan universal. Sama halnya dengan regulasi perpajakan baru dan lama yang saling tumpang tindih dan berlawanan yang memunculkan metafor dalam bentuk sengketa pajak, penggelapan pajak, penghindaran pajak dan upaya mencari keuntungan dari lubang besar yang menganga dari celah kekopongan regulasi perpajakan yang saling bertentangan. Tendensi yang muncul berupa pembayaran pajak dengan dua opsi seperti membayar pajak dengan jujur atau membayar pajak dengan opportunis.

Mengatasi Sisi Gelap Produk Kepatuhan Pajak

Antitesis terhadap zona abu-abu atau jurang pemisah antara penanda dan petanda tersebut dalam hal berhubungan dengan regulasi perpajakan adalah sebagai berikut:

  • Membuat perundang-undangan yang mempertimbangkan pada komponen filosofis, sosioologgis dan yuridis dengan berpedoman pada UU No.12 tahun 2011 yang membahas tentang proses pembentukan UU. Apabila berbicara unsur yuridis, perundangan harus memiliki kedudukan yang tidak menimbulkan pertentangan dengan UU sebelumnya. Tentu hal ini berlandaskan pada asas lex superiori derogate legi inferior. Yuridis mengisi celah kekosongan legitimasi hukum dengan memperhatikan berbagai perundangan yang telah ada tanpa melampaui kapasitas kewenangan yang berlu. Komponen filosofis sangat pentinf untuuk menentukan pandangan hidup dan ideologi perpajakan yang ideal. Komponen sosiologis dengan mempertimbangkan kepentingan publik dalam penyusunan aturan UU.
  • Sistem perpajakan dengan mempertimbangkan tiga prinsip yaitu pengelolaan kebijakan dalam bentuk hukum perpajakan, implikasi jangka panjang dan pendek, memberikan hak perlindungan pada wajib pajak. Prinsip ini dapat memberikan kepastian hukum dan mengurangi benturan peraturan, tumpang tindihnya regulasi perpajakan, ambiguitas, multitafsir regulasi perpajakan.
  • Merumuskan kebijakan secara partisipatif agar mengetahui tingkat kebutuhan dan kesesuaian aturan (antara teks dan makna) dengan menghimpun berbagai aspirasi untuk langkah solutif.
  • Merancang produk hukum kepatuhan pajak dengan memperhatikan aspek ekonomi dan pajak yang berlandaskan pada yuridiksi. Aspek kelembagaan dalam perpajakan harus disusun dengan koordinatif melalui UU turunan sebagai kepastian hukum.

Besar kecilnya penerimaan pajak akan ditentukan oleh seberapa besar tingkat kepatuhan pajak masyarakat dan tingkat kepatuhan fiskus. Tingkat kepatuhan pajak masyarakat yang tinggi mencerminkan kesediaan seseorang untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Demikian pula tingkat kepatuhan fiskus yang tinggi menyiratkan tindakan fiskus yang menghargai wajib pajak ( respect ) dan yang tidak sewenang-wenang memperlakukan wajib pajak secara otoriter. Pajak yang dibayarkan dianggap sebagai sebuah pengeluaran yang mesti dilakukan karena hasil pembangunan yang terjadi pada akhirnya bermanfaat demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Sebaliknya tingkat kepatuhan pajak yang rendah, mencerminkan adanya ketidakrelaan masyarakat dan fiskus dalam melaksanakan kewajiban dan aturan perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada akhirnya akan berimbas pada rendahnya penerimaan pajak pusat dan transfer dana perimbangan daerah. Dengan demikian kepatuhan pajak memiliki peran sentral yang sangat signifikan dalam rangka pencapaian kesejahteraan hidup masyarakat. Adanya kepatuhan pajak yang tinggi, akan dapat meningkatkan penerimaan negara. Kondisi ini pada akhirnya dapat berdampak pada kenaikan anggaran negara yang akan dialokasikan ke berbagai sektor dan pemerintahan di bawahnya. Melalui mekanisme penganggaran baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, kepatuhan pajak pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi kita semua untuk mengupayakan agar tingkat kepatuhan pajak masyarakat dan fiskus terhadap pajak tetap tinggi. Selain itu pula perlu dibangun sebuah pemahaman yang benar bahwa pajak itu dari masyarakat, untuk masyarakat dan oleh masyarakat. Dekonstruksi Derrida dalam produk hukum kepatuhan pajak menjadi metode dalam menyelesaikan permasalahan pajak yang berlarut-larut dan pelik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun