Hidup bukanlah apa yang kita bayangkan, ketika Anda telah memilih. Lakukanlah yang terbaik
Â
Pada tanggal 17 Juli 2009, tersiar kabar tragedi bom di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton Jakarta. Seluruh media televisi Nasional beramai-ramai menyiarkan kabar memilukan dengan tampilan gambar yang mengenaskan. Kaca-kaca jendela yang pecah, bertebaran dimana-mana. Sprinkler yang masih menyala, menyebabkan seisi ruangan basah. Kepulan asap yang tebal. Orang-orang yang berlarian menyelamatkan diri. Serta penggalan tubuh manusia yang juga turut tersiar dalam berita tersebut. Teringat jelas setiap bagian beritanya dalam memori saya. Tangan saya gemetar kala itu, keringat dingin mulai bermunculan, hati makin gusar. Bagaimana dengan Bapak?
Ya, Ayah saya bekerja di wilayah yang sama dengan lokasi kejadian sebagai karyawan swasta bagian pertamanan di stadion utama miliki negara dan waktu itu sering mondar-madir komunikasi untuk mempersiapkan klub ternama di Liga Inggris yang dilatih oleh Sir Alex Ferguson, yakni Manchester United. Saat melihat berita, saya hanya terpikirkan nasib Ayah saya. Apakah ikut berdampak? Apakah sampai ke lokasi kerjanya? Dengan sigap saya menelpon beliau untuk mengetahui kabarnya. Alhamdulillah, Ayah saya selamat.
Bagi Sebagian orang, berita itu hanya tentang bom bunuh diri yang menewaskan 9 orang dan melukai sekitar 53 orang WNI dan WNA. Namun, bagi saya peristiwa tersebut menjadi titik penentu kisah perjalanan hidup. Peristiwa itulah yang membuat impian saya mempelajari komunikasi dan multimedia pupus. Tragedi bom Mega Kuningan, Â terjadi 9 hari setelah Pemilu Presiden dan 2 hari sebelum kedatangan tim sepak bola Manchester United (MU) ke Indonesia untuk bertanding dengan tim Indonesia All Star. Saat itu, saya duduk di bangku kelas 3 SMA. Saya memiliki impian untuk bisa masuk perguruan tinggi ternama pada jurusan Komunikasi dan Multimedia. Harapan saya sangat tinggi bisa belajar tentang itu, bahkan bayangan-bayangan saya kuliah di bidang tersebut juga sudah tergambar jelas di angan saya. Akan tetapi, nyatanya tragedi bom tersebut membuat cita-cita saya ikut meledak, hancur bak Gedung hotel JW Marriot.
Ayah saya bekerja di tempat penyelenggara acara pertandingan antara MU dan Indonesia All Star. Seluruh persiapan telah dimatangkan, uang juga telah digelontorkan untuk keberlangsungan acara tersebut dari promosi sampai akomodasi. Namun, tragedi bom mengurungkan MU hadir demi menjaga keselamatan anggota tim. Acara pertandingan batal dilaksanakan, tapi penyelenggara tidak bisa menerima uangnya kembali. Penyelenggara rugi besar, dan kondisi tersebut juga berdampak pada pekerjaan Ayah saya.
Memang tidak sampai diberhentikan dari pekerjaan, tapi secara finansial menjadi tidak stabil. Akibat kejadian tersebut bahkan si merah, motor kesayangan saya harus berpindah tangan ke pembeli. Belum sampai disitu, "Bang, kayanya harus pindah tempat pilihan kuliah. Bapak ga mampu kalo Abang kuliah disana, mahal. Bapak ga punya uang buat bayarnya". Kalimat yang disampaikan Ayah saya tersebut bak sambaran petir di siang bolong.
Lemes, kecewa, putus asa, sedih, dan marah semua bercampur jadi satu. Angan saya hancur, bayangan cita-cita saya lenyap. Saya seperti orang linglung karena kehilangan cita-cita. Kala itu, rasanya saya ingin berteriak kencang menyalahkan pelaku bom. Ingin rasanya saya memaki, bahkan ingin rasanya menyalahkan Tuhan. Tapi, saya memilih untuk diam. Diam dalam sedih menerima kenyataan pahit yang harus saya terima.
Hari berganti hari, saya masih kehilangan arah dan tidak tahu masa depan saya. Saya masih belum memutuskan keberlanjutan studi saya. Saya belum bisa mencari solusi lain dari masalah saya, karena saya tidak pernah berharap ini terjadi. Dengan hati yang masih bimbang, sedih dan marah yang masih berkecamuk, saya melangkah menuju rumah Nenek saya, niat hati ingin melarikan diri sejenak dari kenyataan. Rodiah, itulah nama Nenek saya. Nenek yang penyayang dan menaruh harapan besar pada cucunya. Sekaligus Nenek yang mengispirasi hidup saya dan menempatkan saya ada disini. "Gapapa Run, ga jadi masuk sana. Kalo boleh pesen. Nenek pengen punya cucu guru. Biar enak hidupnya, berkah. Inshaa Allah lebih tenang banyak pahala".
Singkat dan padat, namun kalimat itulah yang membangkitkan semangat saya. Angan mulai muncul. Harapan kembali berdatangan. Mungkin memang ini jalan saya, menjadi seorang guru. Saya mulai berpikir, jika saya bisa menjadi guru, mungkin saya bisa memberikan dampak yang lebih besar pada bangsa dan negara. Jika saya jadi guru, saya bertekad mengajarkan nilai-nilai baik bagi murid, tidak seperti guru yang mengajarkan muridnya untuk melakukan bom bunuh diri di JW Marriot dan Rizt Cartlon.
Rencana kiat mantap, sayapun mendaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Swasta yang ada di Jakarta. Menjalani kehidupan sebagai mahasiswa keguruan, mempelajari berbagai macam hal tentang kependidikan dan Alhamdulillah tepat 4 tahun, saya lulus dan menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S. Pd.). Bangga dan haru, senang rasanya bisa mewujudkan doa Nenek saya yang kini telah wafat. Namun saya bertekad akan tetap menjalani kehidupan ini dan berdampak lebih besar bagi orang-orang sekitar saya sebagai seorang guru.
Dengan adanya Program Guru Penggerak, saya memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan diri sebagai guru pengajar praktik. Saya menjadi memiliki kesempatan untuk mendampingi guru-guru dalam mendidik, mengajar dan memberikan kebermaknaan proses pembelajaran agar peserta didik dapat mengikuti kodrat zaman dan menjadi manusia yang merdeka tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai Bangsa Indonesia.
Membangun relasi dan mendapatkan kesempatan untuk bisa mengenal guru-guru terbaik yang telah terpilih dari ribuan peserta juga menjadi sebuah kebanggaan bagi saya. Guru-guru terbaik yang saya mentori antara lain Ibu Ade Siti Chodidjah (SDN Ceger 02), Ibu Ema Setianingsih (SDN Gedong 10), Ibu Halimatus Sadiyah (SDN Malaka 08), Ibu Hope Tetiana (SDN Munjul 01), Ibu Ramai Florensi (SDN Cipayung 04), Ibu Wahyu Kresnaningsih (SMPN 208 Jakarta). Beliau-beliau adalah Guru-guru terbaik yang siap menjadi garda terdepan dalam membangun Pendidikan di Indonesia. Melalui kolaborasi serta menguatkan komunitas praktisi bersama guru penggerak, kami berupaya membangun elite force dalam prakasa perubahan untuk Pendidikan di Indonesia yang lebih baik lagi.
Akhir kata, tragedi bom bunuh diri di Mega Kuningan memang memilukan, memang menghancurkan. Tapi dengan kejadian tersebut, saya bisa berada di tempat saya sekarang dan bisa memberikan manfaat yang lebih bermakna bagi banyak orang. Dari kisah ini kita bisa belajar bahwa hidup tidak selamanya berjalan seperti apa yang kita inginkan, namun kita selalu punya kesempatan untuk bisa menentukan pilihan dan ketika telah memilih, maka jadilah yang terbaik. Sebab hidup belum berhenti, maka teruslah cari peluang untuk bisa jadi lebih berarti. Saya Harun Al Rasyid, siap bersinergi membangun bangsa untuk Indonesia yang lebih baik lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI