Memang, sudah katakan semula, bahwa kita tidak usah memaksakan diri untuk bersabar sekuat mungkin. Engkau juga tak akan tahan, jika sesak memang sudah benar-benar menyelimuti. Ibarat gelap dan tebalnya kabut yang menutupi sebuah jalan, lalu sebuah kendaraan melewati jalan tersebut – kendaraan itu ibarat dirimu. Jika semakin memaksakan diri untuk melewatinya, kelak, lambat-laun engkau malah akan tertabrak. Dan semuanya hanya tinggal sisa-sisa belaka. Namun terlepas dari semua ibarat itu, tanpa kau sadari sedikitpun, air mata kesedihan itu pada hakikatnya adalah sebuah tak terbatasnya kesabaran.
Engkau menangis, itu bagus. Bagus sekali. Tak salah memang menagismu itu. Lagi pula, menangislah, menangislah sesukamu. Menangislah dengan apa-apa saja yang membuatmu sesak. Se-sa-ak. Menangislah, bila perlu teriakan sekeras-keras mungkin sesakmu itu. Namun, jangan sampai orang-orang tau, pada sebenarnya kau sedang sesak tak terkira. Yang kumaksud diatas, soal ruang hati. Menangislah, menangislah sesukamu, di dalam hati. Menangislah dengan apa-apa yang kamu sesakkan, di dalam hati. Menangislah, bila perlu teriakan sekeras-keras mungkin sesakmu itu, di dalam hati. Sebab, Hati, selalu mempunyai ruang tersendiri bagimu dan orang-orang yang berarti bagimu.
Dengan menangis, engkau akan lebih tegar, lebih dari tegarnya karang di bibir-bibir pantai. Dengan menangis, engkau akan lebih gagah, lebih dari gagahnya sang singa terhadap hewan lainnya. Dengan menangis pula, engkau akan lebih merana, lebih dari merananya seekor penyu yang selalu mengerutu terhadap hidup yang ia jalani.
Tulisan ini juga bisa dilihat di blog "www.haroemsoedah.wordpress.com"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H