Mohon tunggu...
Harumi Puspaharini
Harumi Puspaharini Mohon Tunggu... lainnya -

sahaya manusia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Maling!

15 Mei 2011   07:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:40 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“nama”

“suyud”

“umur?”

“36”

Lelaki gemuk berseragam itu menutup buku, semacam buku untuk mencatat identitas. Bangkit dari duduknya, menggeser-geser sabuk dan mengangkat celananya naik, mungkin celananya terlalu longgar.

“gus, mana kantongnya? Sarungkan!” lelaki itu memberi perintah pada seorang lelaki kurus, dari kulit yang tak terbungkus pakaian, lelaki itu berpenyakit kulit. Lelaki kurus itu menghampiriku, menyarungkan kain hitam ke kepalaku. Sebelum pergi dia menyempatkan diri menginjak jempol kakiku dengan sepatunya yang berat dan tajam itu. Aku hanya meringis. Lelaki kurus itu mungkin berharap aku akan menjerit, tahu hatinya tak puas, dia menendang sisi kananku. Aku hanya dapat mengatur nafas untuk sedikit meredakan sakitnya.

Aku digelandang keluar dari rumah itu, kaki-kakiku yang telanjang dapat merasakan basah tanahnya.

“dihabisi saja pak?” lelaki kurus itu bertanya pada lelaki gemuk.

“wong cuma maling. Nanti laporannya dia tertembak saat berusaha melarikan diri”

Lelaki kurus hanya manggut-manggut, paham akan situasi.

“eksekusi jangan lebih dari 5 menit”

***

Anak laki-laki itu berlari terburu, dasinya bergerak kekanan-kekiri. Sesekali membetulkan topinya yang miring. Atau sekedar berhenti untuk menghirup oksigen dalam-dalam. Warung kopi itu sudah terlihat matanya, sengaja dia menghentikan larinya dan mulai berjalan, mengatur nafas, merapikan seragam merah putihnya.

“Bang Mail, Bang Suyud mana?”

“semalem ditangkep”

“belum pulang?sama siapa?polisi?”

“kalau di tangkep polisi sih mending, ketauan mau nyarinya dimana, lah ini pake baju preman, mana tau si Suyud dibawa kemana”

Anak laki-laki itu duduk, menyadari kakinya tidak cukup kuat menahan badannya yang gemetar. Bahkan dirinya pun tidak sanggup menahan beban hidup yang akrab sejak dia lahir.

“udah, si Suyud ga bakal balik, di doain aja”

Anak laki-laki itu berjalan, menengadah, memandang gedung bertingkat yang mewah. Bertanya dalam hati “siapa yang akan membiayai sekolahku? Mereka yang berbaju preman itu?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun