Mohon tunggu...
harumazizah
harumazizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa aktif sastra indonesia

Hobi membaca

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Analisis Cerpen Semar dan Guru Melalui Pendekatan Postkolonialiesme Karya Putu Wijaya

10 Desember 2024   12:12 Diperbarui: 10 Desember 2024   14:30 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Putu Wijaya adalah seorang seorang sastrawan, penulis, dan tokoh teater Indonesia yang lahir pada 11 April 1944 di Tabanan, Bali. Nama lengkapnya adalah Gusti Ngurah Putu Wijaya. Beliau dikenal serba bisa, dengan karya yang mencakup drama, novel, cerpen, esai, skenario film dan sinetron. Putu Wijaya juga dikenal sebagai pemimpin Teater Mandiri, sebuah kelompok teater yang didirikan pada tahun 1971. Selain itu, ia telah menerima banyak penghargaan atas karya-karyanya, termasuk dua kali Piala Citra di Festival Film Indonesia untuk film "Perawan Desa" (1980) dan "Kembang Kertas" (1985). Putu wijaya sudah menghasilkan banyak karya salah satunya adalah cerpen "semar" yang dirilis tahun 2023 dan cerpen "guru" yang dirilis tahun 2022. Cerpen "Semar" mengisahkan tentang seorang penguasa yang memutuskan untuk menghentikan perang yang hampir pasti akan dimenangkan oleh pasukannya. Baginda, sang penguasa, menyadari bahwa meskipun perang akan memberikan kemenangan bagi pemimpin, perang tersebut hanya akan membawa kesengsaraan bagi rakyatnya. Oleh karena itu, Baginda memilih jalan perdamaian dengan menjodohkan putranya dengan putri musuh mereka. Keputusan ini diambil untuk memastikan kesejahteraan rakyat dan menghindari kehancuran akibat perang. Meskipun keputusan ini tampak kuno dan mendapat kritik, Baginda percaya bahwa menjaga keselamatan dan kenyamanan seluruh rakyat adalah hal yang paling penting. Cerpen ini mengeksplorasi tema-tema tentang kekuasaan, kebijaksanaan, dan perdamaian. Isu dari cerpen semar adalah baginda dan prajuritnya sedang berperang dengan musuh bebuyutannya, kemudian saat akan menang baginda mengatakan "stop" baginda lebih memilih dengan cara damai agar para rakyatnya tidakk sengsara dengan cara putra baginda dan putri sang musuh bertunangan.

 Teori poskolonial yang dapat diterapkan untuk menganalisis cerpen "Semar" karya Putu Wijaya biasanya merujuk pada teori-teori yang dikembangkan oleh para pemikir poskolonial terkemuka seperti Homi K. Bhabha. Berikut adalah analisis cerpen "semar" menggunkan teori postkolonial oleh Homi K. Bhaba memiliki beberapa aspek yaitu:

*Hibriditas: Hibriditas menggambarkan campuran budaya yang muncul akibat interaksi antara dua kelompok yang berbeda. Dalam cerpen ini, kita melihat hibriditas dalam cara Baginda memilih perdamaian melalui pernikahan politik antara putranya dan putri musuh. Keputusan ini mencerminkan perpaduan dua entitas yang berbeda (musuh dan sekutu) untuk menciptakan sesuatu yang baru, yaitu perdamaian yang didasarkan pada hubungan keluarga.

*Ambivalensi: Ambivalensi dalam hubungan kolonial menggambarkan ketegangan. Baginda menunjukkan ambivalensi dalam memutuskan antara perang yang akan membawa kemuliaan bagi dirinya dan penderitaan bagi rakyatnya, atau perdamaian yang dapat dianggap kuno namun membawa kebahagiaan bagi banyak orang.

*Mimikri: Mimikri adalah tindakan meniru yang mengandung unsur ironi atau subversi. Baginda, dalam memilih perdamaian, seolah-olah meniru diplomasi kuno melalui pernikahan politik. Namun, ini adalah strategi untuk menjaga keselamatan rakyat dan mencegah keruntuhan yang lebih besar akibat perang.

Cerpen "Semar" karya Putu Wijaya, melalui lensa teori poskolonial Homi K. Bhabha, menunjukkan kompleksitas hubungan kekuasaan, identitas, dan strategi diplomasi dalam konteks postkolonial. Baginda menggunakan strategi hibriditas dan mimikri untuk menciptakan perdamaian, sementara ambivalensi muncul dalam keputusan untuk menghentikan perang demi kemaslahatan rakyat. Ini semua mencerminkan dinamika kekuasaan dan identitas yang selalu berubah dalam konteks postkolonial.

Selain cerpen "semar" ada lagi salah satu cerpen karya Putu wijaya yang cocok untuk dianalisis menggunakan teori postkolonial oleh Homi K. Bhaba, yaiti cerpen yang berjudul "guru", Cerpen ini menceritakan tentang seorang Profesor yang telah mendapatkan berbagai penghargaan. Meskipun telah mencapai puncak kariernya, ia merasa kecewa karena tidak bisa menemukan seorang guru yang bisa mengajarinya lebih banyak. Setelah pencarian selama lima tahun yang sia-sia, ia akhirnya memasang iklan untuk mencari guru yang dapat memberikannya pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya. Iklan tersebut menjadi viral ribuan orang mendaftar, tetapi tidak ada yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Profesor. Profesor mulai merasa frustrasi dan marah karena tidak menemukan seseorang yang layak menjadi gurunya. Istrinya, yang memperhatikan kondisinya, menegur Profesor dan memberinya pemikiran baru tentang makna sebenarnya dari seorang guru. Istrinya mengatakan bahwa seorang guru tidak selalu orang yang lebih pintar atau berpendidikan tinggi, tetapi bisa berupa siapa saja yang memberikan pencerahan dan membuka pikiran. Dia mengajarkan bahwa pengalaman hidup, orang-orang di sekitar, dan bahkan tantangan serta penderitaan bisa menjadi guru yang berharga jika kita siap untuk belajar dari mereka. Akhirnya, Profesor menyadari bahwa kebijaksanaan sejati datang dari pengakuan terhadap keterbatasan diri sendiri dan keterbukaan untuk belajar dari segala sesuatu di sekitarnya.

Cerpen ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan bisa datang dari berbagai sumber yang mungkin tidak kita duga sebelumnya, dan pentingnya tetap rendah hati dan terbuka untuk belajar sepanjang hidup. Berikut adalah analisis cerpen "semar" menggunkan teori postkolonial oleh Homi K. Bhaba memiliki beberapa aspek yaitu:

*Hibriditas: Hibriditas menggambarkan percampuran atau penggabungan dua budaya yang berbeda akibat interaksi antara dua kelompok yang berbeda. Dalam cerpen ini, hibriditas terlihat pada pencarian Profesor akan kebijaksanaan yang tidak hanya berasal dari sumber formal (seperti guru-guru terkenal dan para ahli), tetapi juga dari pengalaman hidup dan orang-orang terdekatnya, termasuk istrinya. Ini mencerminkan perpaduan antara pengetahuan formal dan informal yang menciptakan makna baru.

*Ambivalensi: Ambivalensi dalam hubungan kolonial menggambarkan ketegangan dan kontradiksi yang ada. Dalam cerpen ini, Profesor mengalami ambivalensi dalam usahanya mencari kebijaksanaan. Di satu sisi, ia merasa dirinya sudah sangat berpengetahuan, namun di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang kurang dan terus mencari guru yang bisa mengajarkan sesuatu yang baru kepadanya.

*Mimikri: Mimikri adalah fenomena di mana orang yang terjajah meniru budaya atau perilaku kolonial, tetapi dengan cara yang mengandung unsur ironi atau subversi. Dalam cerpen ini, mimikri terlihat ketika Profesor mencari guru yang bisa mengajarkan sesuatu yang dia tidak tahu, tetapi akhirnya menemukan bahwa kebijaksanaan sejati datang dari pengakuan keterbatasan dirinya sendiri dan belajar dari orang-orang di sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun