Kenyataannya politik itu memang lebih sulit dari matematika. Persoalan yang ada seringkali tidak bisa diselesaikan dengan segera bahkan kadang tidak ada solusi.
Saat berbeda pilihan maka hampir dipastikan kita akan saling berlawanan karena kamu merasa pilihanmu itu benar, sebaliknya akupun merasa bahwa pilihankulah yang benar.
Kamu berteriak takbir, akupun berteriak takbir, bahkan lebih kencang. Kamu memakai dalil agama akupun memakai dalil yang sama, karena yang tahu itu bukan kamu saja, apalagi agama kita sama.
Lain dengan matematika, meskipun sulit dan bisa berbeda cara dalam penyelesaian tetapi menghasilkan solusi yang sama, tidak ada manipulasi di dalam penyelesaiannya, tidak ada manipulasi pembenaran untuk membuktikannya, semua langkah bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam politik apa saja bisa dipolitisasi, dari berita sampah sampai yang benar-benar berita, semua bisa dipolitisasi bahkan seringkali dikait-kaitkan dengan agama.
Dari hal sederhana sampai hal yang rumit juga bisa dipolitisasi, tinggal bagaimana kepandaian kita dalam menyusun kalimat dan argumentasi. Yang salah bisa dibuat seolah benar dan yang benar bisa dibuat seolah salah dalam pandangan publik. Bila kelak fakta dan logika menemukan pembenaran, itu nanti urusannya.
Minyak goreng itu gunanya untuk menggoreng tapi bukan politik namanya kalau tidak bisa menggoreng minyak goreng. Saat langka, saat barang ada tetapi mahal adalah moment yang sangat asyik untuk digoreng. Saling adu argumentasi, satu menyerang, satu menangkis dan seterusnya bak gayung bersambut.
Kehadiran politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bisa kita hindari dan tidak perlu dihindari, tidak bisa kita tolak dan tidak perlu juga menolak.Tidak perlu kemudian membenci, karena tanpa politik negeri ini tidak akan ada.
Biar saja perbedaan antara kita itu ada! Memang mengapa kalau kita berbeda? Dalam satu keluarga saja pilihan bisa berbeda, asal bisa saling menjaga maka perbedaan itu tidak akan menjadi adu tenaga, pandai-pandai saja kita mengendalikan diri.
Perbedaan pandangan/pilihan atau perbedaan dalam hal lainnya itu nyata dan akan selalu ada, tidak dari sekarang, sudah ada sejak dulu, sejak manusia ada di muka bumi, ada di zaman nabi dan tetap ada sampai nanti.
Jadi memangnya mengapa kalau kita berbeda? Kalau tidak mau ada perbedaan silahkan menyendiri di pelosok hutan nan jauh di sana atau di bukit tinggi yang sunyi dan tidak berpenghuni.
Peradaban timbul salah satunya karena ada perbedaan, jadi biar saja perbedaan ini menjadi sesuatu seperti yang sering kita dengar bahwa perbedaan adalah rahmat. Rahmat itu akan kita dapat bila kita bisa saling menghargai, saling menghormati serta tidak memaksakan kehendak, kamu dengan pilihanmu, aku dengan pilihanku.
Beda pilihan jelas berlawanan tapi tidak harus bermusuhan. Bila tidak mau perbedaan menjadi perselisihan yang tajam ya tidak perlu melemparkan isu palsu, tidak perlu saling menyindir karena pasti akan saling berbalas apalagi melakukan fitnah.
Biarkan saja yang lari pagi, biarkan saja yang safari silahturahmi. Hormati saja pilihanku maka akupun akan menghormati pilihanmu. Kalau pilihan kita semua sama, untuk apa juga ada pemilu?
Harapan kita semua, pesta demokrasi nanti berlangsung damai. Lelah sudah kalau situasi kembali seperti yang pernah ada. Masih membekas bagaimana hiruk pikuknya perselisihan antara cebong, kampret, kadrun dan elite politikusnya, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Turut mewarnai kampanye hitam berupa hoax, fitnah, ujaran kebencian, caci maki, sindir menyindir, merasa lebih pintar, merasa lebih benar, merasa lebih suci, merasa lebih agamis dan lain sebagainya.
Bila tidak saling melakukan kampanye hitam seharusnya konflik berat dan luka hati yang berkepanjangan tidak terjadi. Kita tidak sedang melawan kebathilan, tidak sedang berjuang demi agama, tidak sedang berperang dengan bangsa lain, dan seterusnya tapi semua berjuang untuk kepentingan dan kebaikan bangsa dan negara kita sendiri. Bahwa ada terselip kepentingan atau ambisi dari calon, golongan/partai tentu kita tidak naif serta menutup mata. Politik identik dengan peluang, kesempatan dan lain sebagainya yang semuanya berujung pada kekuasaan.
Mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, otak untuk bekerja, hati yg bicara. Literasi yang kurang, kajian sempit hanya akan menunjukkan betapa bodohnya kita, apalagi dengan menampakkan rasa benci.
Sampai bertemu nanti pada pemilihan tahun depan, kamu dengan pilihanmu aku dengan pilihanku, berlawanan tapi tidak bermusuhan. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H