Mohon tunggu...
Hartono Raharjo
Hartono Raharjo Mohon Tunggu... lainnya -

Sedang belajar menyelami kehidupan dari waktu ke waktu

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hidup Prihatin Tidak Berarti Harus Kandas (2)

23 September 2013   13:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:31 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13799172991348843166

HIDUP PRIHATIN TIDAK BERARTI HARUS KANDAS (2)

Kembali dengan cerita masa kecilku, pada era tahun 1960an. Sebagai anak pensiuan pegawai negeri, dengan 7 anak yang umurnya berdekatan, kami semua hidup cukup prihatin. Hidup sekedar tidak lapar dan tidak sakit. Walaupun kami sepertinya hidup dengan asupan yang kurang gizi, tetapi kami ternyata hidup tanpa pernah sakit. Setelah saya cermati mengapa kami jarang atau boleh dikata tidak pernah sakit adalah karena makanan yang kami makan adalah makanan sehat. Yaitu makanan penuh vitamin B 1 sampai 12 yang berasal dari bekatul dan jagung juga tentunya sayur mayur yang tidak pernah tertinggal seharipun.

Bapak mendidik anak-anaknya dengan keras dan sedikit komunikasi. Saya kurang tahu apakah rata-rata orang tua jaman dulu mendidik anak-anaknya seperti bapakku, atau hanya bapakku saja yang bersikap seperti itu. Saya sendiri juga tidak bisa bermanja-manja dengan bapak karena sikap bapak yang memang jarang menegor. Bapak hanya akan berbicara pada saat malam hari, yaitu saat kita semua belajar. Nah waktu itulah yang menakutkan bagi kita semua, karena satu persatu, anak-anaknya akan ditanya, apa ada pekerjaan rumah dari sekolah, apakah sudah dikerjakan, dan kemudian bapak juga mampu memberikan pekerjaan tambahan untuk dikerjakan. Kalau kita tidak mampu mengerjakan, maka yang terjadi adalah pukulan dengan penggaris akan siap menimpa pantat kita atau tangan kita.

Bapak mendidik kita semua dengan sedikit keras dan komunikasi satu arah. Kalau sudah begini ya kita semua bisanya hanya menangis. Tidak yang laki, yang perempuanpun juga diperlakukan sama. Hanya yang lebih besar, kelihatannya lebih longgar, tidak seperti yang masih SR atau SLTP. Begitulah kehidupanku waktu itu, dari hari kehari. Nampaknya memang susah, tetapi kami tidak sendiri, hampir rata-rata seperti itu.

Kerja Bakti Setiap Hari Minggu

Sahabat kompasianer, sejak kecil sampai dengan dewasa, kami semua sudah berbagi tugas untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga di rumah kami. Kami dari kecil sampai besar tidak pernah mengenal pembantu rumah tangga. Semuanya dikerjakan sendiri.

Kami semua telah mempunyai tugas, baik yang sifatnya individu ataupun pekerjaan untuk keperluan bersama yang akan dikerjakan secara bergilir. Pekerjaan yang bersifat individu misalnya, setiap bangun dari tidur masing-masing anak harus merapikan tempat tidur, setiap habis mandi harus mengisi kembali bak kamar mandi sampai penuh, masing-masing harus mencuci pakaian sendiri termasuk seterikanya. Sedang pekerjaan yang sifatnya untuk keperluan bersama akan dibagi dan pengerjaanya dilakukan secara bergantian setiap minggunya. Misalnya pekerjaan menyapu lantai, menyapu halaman rumah, mengepel lantai, menguras bak kamar mandi termasuk membersihkan lantai kamar mandi, menyiram tanaman dan halaman, membersihkan perabot rumah tangga, memasak, atau membeli kebutuhan dapur.

Jadi mulai dari bangun tidur, kami semua sudah tahu apa tugas masing-masing yang bersifat individu dan apa tugas bersama yang menjadi kewajiban kita minggu ini. Nah, khusus hari minggu, kami melaksanakan kerja bakti yang dilaksanakan di rumah. Saya nggak mengerti kebiasaan kerja bakti di hari minggu ini merupakan kebiasaan nenek moyang atau mencontoh orang-orang belanda.

Setiap minggunya ada saja yang dikerjakan untuk dibersihkan, mulai dari membersihkan perabot seperti meja kursi, kasur, tempat tidur atau peralatan lain. Khusus untuk perabot rumah memang harus mendapat perhatian khusus karena pada jaman dulu entah karena apa, hampir di setiap rumah diserang hama tungau. Orang jawa menyebutnya tinggi. Wah, tinggi ini paling suka bersembunyi pada kursi yang menggunakan ayaman rotan sebagai tempat dudukan atau sandaran. Nah kalau sudah menggigit, pantat atau punggung kita bisa bentol-bentol.

Selain urusan dengan perabot rumah tangga, pekerjaan lain yang akan menyusul adalah memelihara tanaman sayuran dan buah yang memang sengaja ditanam di sekitar rumah. Selain itu juga mengecat pagar bambu, mengecat tembok, membetulkan genteng, atau melicinkan tegel rumah dengan ampas kelapa yang sudah diambil santannya, supaya tegel nampak mengkilap.

Kerja bakti pada hari minggu ini membuat kakak saya yang perempuan selalu sewot. Mereka tentunya wajar saja sewot, lha wong temannya laki yang datang ke rumah tidak bisa masuk ke rumah. Bagaimana mau masuk kalau semua perabotan rumah sedang dijemur di bawah terik matahari ....hehehe. Masuk rumah nggak bisa, bermain di luarpun juga nggak bisa, karena kami juga sedang kerja bakti di luar. Jadinya kakak perempuan yang sudah dewasa, bisanya cuma nggerundel saja...hehehehe, mau nangis juga nggak bisa.

Berkebun dan Berternak Untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup

Pensiun ayah sebagai pegawai negeri nampaknya sangat kecil. Sepertinya tidak cukup untuk membiayai makan selama 1 bulan, apalagi dengan 7 orang anak. Nah, guna mencukupi kebutuhan sehari-hari, selain harus hidup super sederhana, perlu dicari alternatif guna menutupi kekurangan biaya hidup. Yang dilakukan bapak adalah dengan memanfaatkan halaman rumah untuk berkebun sayur dan buah. Tidak ada tanah sejengkalpun yang tersisa.

Rumah perumahan rakyat yang dibeli bapak pada tahun 1960 mempunyai luas tanah 200 meter persegi dengan bangunan rumah sekitar 60 meter persegi. Nah di atas tanah itulah kami berkebun sayur seperti bayam, cabai, terung, kenikir, kemangi, kangkung, beluntas, kacang panjang, kacang koro, singkong rambat, ketela, gambas dan masih banyak yang lain. Untuk tanaman buahnya kami menanam pisang, pepaya, mangga, sirsak, mulwo dan jeruk nipis.

Dengan adanya kebun dihalaman rumah, maka kami tidak pernah atau jarang belanja untuk kebutuhan makan sehari-hari. Semuanya diambil dari kebun sendiri. Yang masih harus dibeli seingat saya cuma tempe, tahu, lempeng, kecap dan garam atau gula.

Agar kami mampu membeli tempe atau tahu, maka hasil kebun yang berupa buah kami jual ke tetangga atau ke pasar. Buah pisang yang kami miliki sangat besar-besar, ada pisang raja, pisang susu atau pisang kepok. Pisang itu menjadi besar-besar karena tumbuh subur pada tanah bekas urugan sampah organik. Tapi kami jarang menikmati. Kami harus merelakan pisang tersebut untuk kami jual untuk kemudian hasilnya kami belikan tahu atau tempe. Demikian juga dengan buah pepaya, buah sirsak atau buah mangga. Kami hanya menikmati warnanya, bahunya dan indahnya, rasanya bukan buah tetapi tempe atau tahu.

Selain itu, kami juga berternak ayam dan bebek. Kami memiliki ayam kampung sekitar 30 ekor dan bebek kurang lebih 6 ekor. Setiap hari ayam dan bebek tersebut di lepas, mencari makan dari sekitar rumah. Setiap harinya mereka bertelor sekitar 8 sampai 12 butir. Telor-telor itupun tidak sempat kami cicipi, karena harus segera kami jual untuk dapat membeli beras, jagung atau gaplek. Karena kebun dan unggas tersebutlah kami masih bisa bertahan hidup dan mampu bersekolah, walaupun kondisinya ya sangat pas-pasan.

Senang Kalau Ada Slametan Ataupun Hajatan

Pada periode itu menyelenggarakan acara slametan atau hajatan sepertinya agak sering. Setiap ada orang meninggal, biasanya ada slametan untuk tahlilan selama 7 hari, kemudian peringatan 40 hari, peringatan 100 hari, dan peringatan 1000 hari. Demikian pula kalau ada acara pernikahan, biasanya para tetangga dilibatkan untuk bantu-bantu.

Acara-acara seperti itulah yang selalu ditunggu oleh kami ber tujuh. Kami menunggu datangnya bapak yang biasanya pulangnya membawa sisa nasi kenduri yang tidak dihabiskan oleh bapak. Mungkin bapak sengaja tidak makan, karena ingat anaknya di rumah, sehingga makanan kenduri tersebut dibawa pulang oleh bapak. Sesampai di rumah, makanan slametan tersebut langsung diserbu oleh kami bertujuh. Dimakan beramai-ramai secara bersamaan dengan menggunakan tangan. Bila ada telor atau daging, maka kakak yang tertua akan membagi lebih dulu telor atau daging itu. Bila telornya separo, maka yang separo itu diiris tipis-tipis menjadi tujuh. Demikian pula dengan daging sapi atau daging ayam. Kalau ada satu potong, maka daging tersebut di sayat-sayat dulu menjadi tujuh bagian, baru kemudian kami makan ramai-ramai. Akhirnya nasi hasil slametan itupun habis, tandas, dan masing-masing anak mendapat 3 atau 4 suapan. Alhamdulillah, uenak tenan, baru merasakan nikmatnya telor atau daging kalau ada orang slametan atau hajatan. Walau hanya sak suwir.

Antri Minyak Tanah dan Bulgur

Hampir sebagian besar rumah tangga pada saat itu sepertinya masih menggunakan kayu bakar untuk kegiatan masak memasak. Kompor minyak tanah sudah ada, bahkan banyak, namun baru dipergunakan dalam kondisi darurat, misalnya malam hari kalau ada tamu, sehingga harus bikin air panas. Pada waktu itu keberadaan minyak tanah sangat langka, meskipun kami sangat tergantung pada keberadaan minyak tanah tersebut. Minyak tanah sangat kami perlukan untuk bahan bakar lampu teplok sebagai alat penerangan pada malam hari.

Pada saat itu, setiap keluarga mendapat jatah minyak tanah setiap minggunya sebanyak 2 liter dengan harga yang sudah ditentukan pemerintah. Jatah tersebutdiambil melalui proses antrian yang sangat panjang. Biasanya sebelum mobil tangki minyak tanah datang, kami sudah antri lebih dulu 2 atau 3 jam sebelumnya. Nah bagi keluarga kami yang punya anak banyak, selalu mencoba keberuntungan untuk mendapat lebih banyak minyak tanah. Kami kakak adik biasanya antri agak berjauhan untuk mendapatkan jatah minyak 4 liter dari 2 anak. Tapi langkah kami sering-sering ketahuan Ibu atau Bapak pembagi jatah minyak tanah yang kebetulan juga tetangga kami. Wah, kalau tertangkap tangan jadi malu...Hayo, tadi kakaknya sudah antri, tidak boleh ambil jatah lagi.....hehehehe.

Selain minyak tanah, keluarga prasejahtera juga mendapatkan jatah bulgur yang harus dibeli dengan harga yang telah ditentukan pemerintah. Bulgur adalah biji-bijian sejenis beras yang biasa untuk makanan ternak di Australia atau Amerika. Saya ndak tahu bulgur diperoleh dari membeli secara import atau merupakan bantuan pangan dari negara pendonor. Jatah bulgur untuk satu keluarga kalau tidak salah sekitar 20 kilogram. Kalau harga bulgur lebih mahal dari harga jagung biasanya bapak ndak mengambil, tetapi bila harganya lebih murah, maka jatah tersebut diambil dengan mengantri cukup panjang. Rasa nasi bulgur, tidak beda jauh dengan nasi beras, hanya ini lebih kasar, seret dan tidak ada gurih manisnya sama sekali. Sepo kata orang jawa...hahahaha. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun