Mohon tunggu...
Hartono
Hartono Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa PPG Prajabatan Gelombang 2 Tahun 2023, Prodi PPG Sekolah Pascasarjana UM

Saya memiliki ketertarikan pada bidang sejarah, sosial, politik, pemerintahan, hukum dan pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Perjalanan Panjang Seni Perfilman di Nusantara

20 Juni 2024   06:01 Diperbarui: 20 Juni 2024   06:27 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejarah Masuknya Seni Perfilman di Nusantara

Sejarah masuknya film di Indonesia tidak lepas kaitannya dengan pengaruh masa penjajahan Belanda. Karena Film berasal dari daratan Eropa. Sehingga, bisa dibawa masuk oleh para pedagang dari Belanda. Ada sumber yang mengatakan bahwa harian Bintang Betawi pada akhir November 1900 menaruh iklan bioskop di halamannya, yang mana ini dianggap menunjukkan bahwa saat itu sudah ada film masuk di Indonesia. Sehingga para pakar film menyimpulkan bahwa seni film masuk di Indonesia pada awal abad 20 atau kisaran tahun 1900-an. Film mengkombinasikan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Film adalah media elektronik tertua dibandingkan dengan media elektronik lainnya. Keberadaan film sangat fenomenal karena mampu memperlihatkan gambar hidup dalam layar.

Film sendiri merupakan sebuah seni yang lahir terakhir tepatnya pada tanggal 28 Desember 1895 yang ditandai dengan peluncuran film pertama di Prancis, tepatnya di cafe D’Paris. Film atau “gambar idoep” pertama di Indonesia tayang pada hari Rabu 5 Desember 1900. Pada masa itu ditayangkan di bioskop yang terbagi menjadi tiga golongan kelas, yaitu bioskop khusus kelas I untuk orang Eropa, bioskop kelas II untuk orang berstatus menengah ke atas, dan bioskop kelas III untuk orang-orang berstatus bawah, dan bioskop pertama yang digunakan untuk pemutaran film pertama adalah bioskop Tanah Abang Kebondjae yang kemudian dikenal dengan nama The Roijal Bioscope. Proses masuknya Film di Indonesia termasuk paling awal karena selang atau berjarak 5 tahun setelah peluncurannya di Paris, Prancis, Film sudah masuk dan berada di Indonesia. 

Perkembangan Seni Perfilman di Nusantara 

1900-1920 (Awal masuknya Film di Indonesia)

Film dikenal dengan nama Gambar Hidoep di masa penjajahan Belanda. Pada awal kehadiran film di Indonesia mulai tahu 1900 hingga tahun 1920 belum menjadi hiburan yang popular di kalangan orang-orang Eropa dan Indis. Penikmat film pada awalnya adalah para masyarakat yang rindu akan eskapisme setelah seharian bekerja. Tiket bioskop bisa dibeli dengan harga 2 gulden untuk kelas I, 1 gulden untuk kelas II, dan 0,5 gulden untuk kelas III. Pada 20 tahun awal kehadirannya bioskop selalu berpindah-pindah dan tidak memiliki tempat tetap. Seperti pindah dari Tanah Abang ke Mangga Besar, Glodok Petamburan, dan lain-lain.

1926-1931 (Produksi Film Pertama Indonesia hingga Inovasi Film)

Mulai pada awal tahun 1925 dunia bisnis perbioskopan dan perfilman mulai dikuasai opleh para pebisnis China, sehingga dunia perfilman menjadi ajang lahan bisnis baru bagi para pebisnis China. Pada tahun 1926 Film pertama yang dibuat di Indonesia adalah Loetoeng Kasarung yang diproduksi oleh dua orang Belanda, L. Heuveldorp dan G. Kruger, dan merupakan film yang diangkat dari legenda Masyarakat Sunda. Film ini dibuat setelah Heuveldorp dan Kruger membuat perusahaan film yang diberi nama Java Film Coy di Bandung, Jawa Barat. Produksi film di Indonesia kemudian berlanjut dengan dibuatnya film Eulis Atjih yang menceritakan kisah seorang istri yang disia-siakan suaminya dan tayang di tahun berikutnya yaitu 1927.

Film kemudian berkembang dengan munculnya berbagai bioskop yang dibangun oleh para pedagang China sekitar tahun 1930-an, dimana mereka juga membuat perusahaan seperti Halimun Film. Pada masa itu, produksi film Indonesia masih hanya menampilkan gambar yang bergerak tanpa didukung audio atau suara. Film produksi tanah air dengan dukungan audio baru bisa dibuat pada tahun 1931 oleh Tans Film Company dan Kruegers Film Bedrif yang membuat film berjudul Atna de Vischer. Produksi film di Indonesia terus mengalami perkembangan pesat dari masa ke masa, ditandai dengan banyaknya jumlah film yang diproduksi dan juga jumlah bioskop yang didirikan. Pada tahun 1926 hingga 1931 saja, tercatat ada 21 judul film yang diproduksi oleh rumah produksi yang ada di Indonesia dan munculnya total 227 bioskop di seluruh Indonesia. 

1955 (Pembentukan FFI)

Karena perkembangan pesat yang terjadi dalam kurun waktu tahun 1925-1931 inilah, para tokoh di bidang perfilman yang dipelopori oleh Djamaludin Malik menggagas untuk membentuk Festifal Film Indonesia atau FFI. FFI dibuat dengan tujuan lebih mempopulerkan film Indonesia dan memberikan penghargaan pada insan kreatif yang berkecimpung di dunia sinematografi. FFI pertama kali diadakan pada tanggal 30 Maret sampai 5 April 1955 sebagai hasil dari pembentukan Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) pada 30 Agustus 1954. Film yang mendapatkan penghargaan terbaik di FFI pertama itu adalah film karya Usmar Ismail yang berjudul Jam Malam, dimana film ini berisi kritik sosial tentang mantan pejuang pasca kemerdekaan Indonesia.

1960 – 1970-an (Kelesuan dan Kebangkitan Kembali Perfilman Indonesia) 

Dunia perfilman Indonesia mulai mengalami kelesuan dan kemunduran di era 1960-an, dimana kondisi politik saat itu sangat memanas dan membuat terbatasnya ruang gerak seniman film. Pada saat itu bukan saja dunia perfilman yang mengalami kelesuan, namun hampir semua bidang seni dan budaya mengalami hambatan untuk menunjukkan kreativitas mereka. Kondisi politik dan ekonomi yang cukup menekan dan menahan para seniman untuk mengekspresikan seni pada masa itu, dimana salah-salah mereka malah dituduh membelot pemerintah.

Keadaan yang suram di era 1960-an mendorong protes dari berbagai tokoh seni & budaya pada pemerintah dan membuat dikeluarkannya peraturan dari Menteri Penerangan pada masa itu, Budiharjo, mengenai kebebasan berekspresi dalam seni. Setelah dikeluarkannya kebijakan tersebut, produksi film di Indonesia kembali mengalami perkembangan, bahkan meningkat pesat dengan adanya dukungan modal yang didapat dari sumber film asing. Pada masa itu, film asing yang ingin tayang di Indonesia harus menyerahkan dana sebagai bentuk kewajiban dalam mendukung perkembangan film lokal.

Perkembangan dan peningkatan dalam dunia perfilman nasional ini tentunya tak lepas dari peranan para tokoh dan sutradar ternama yang berperan penting, seperti Asrul Sani, C. Noer, Wahyu Sihombing Arifin, dan lain sebagainya. Kebijakan baru dari menteri penerangan kala itu memang memberikan angin segar bagi dunia perfilman Indonesia, meski tentunya ada sisi negatif yang harus diterima. Misalnya saja karena meningkatnya produksi film secara kuantitas, kualitas film jadi agak berkurang karena kekurangan kru yang menyebabkan terjadinya overlapping dalam pengerjaan tugas.

1980 – 1990-an (Munculnya Persaingan dengan Film Asing dan Sinetron Televisi)

Peningkatan film Indonesia ternyata selaras juga dengan masuknya banyak film asing ke dalam negeri, yang kemudian mulai mendominasi bioskop-bioskop di era 1980-an. Masyarakat pun mulai lebih berkecenderungan untuk menonton film buatan luar negeri karena dianggap lebih bagus dan menarik, terlebih lagi lama-kelamaan film lokal semakin monoton dan kualitasnya berkurang. Bahkan bioskop ternama pada era tersebut, Bioskop 21, hanya menayangkan film-film buatan luar negeri dan mengesampingkan film lokal untuk ditayangkan di bioskop pinggiran.

Keadaan ini semakin diperparah dengan mulai bermunculannya stasiun televisi swasta pada era 1990-an yang menayangkan drama televisi atau sinema elektronik, yang biasa disebut dengan sinetron. Masyarakat lebih menikmati menonton televisi dari rumah dan bisa dilihat setiap hari daripada harus ke bioskop. Meski begitu, ada juga beberapa film berkualitas pada masa itu yang cukup mengangkat nama Indonesia di kancah festival film sepeti Cinta dalam Sepotong Roti dan Daun diatas Bantal

2000-an (Kebangkitan Kembali Dunia Perfilman Indonesia)

Setelah mengalami pasang surut pada sejarahnya, perfilman Indonesia akhirnya mengalami kebangkitan di era 2000-am. Anda tentu masih ingat dengan film fenomelan Ada Apa dengan Cinta, Nagabonar, atau Pertualangan Sherina yang mencuri hati banyak penonton di Indonesia. Kualitas film lokal semakin diasah dan ditingkatkan sehingga tercipta sebuah film yang bagus dan bukan saja mengejar keuntungan materi belaka

Film lokal pun semakin banyak menyuguhkan genre dan variasi yang beragam sehingga tidak monoton dan membosankan, dari kisah asmara hingga action. Sebut saja film The Raid yang sukses menyabet berbagai penghargaan hingga ke kancah internasional dan membuat nama Indonesia bersinar di dunia perfilman global. Bahkan kini sudah diproduksi beberapa film animasi yang berkualitas, yang mana tentunya akan menambah keragaman dunia perfilman Indonesia.

DAFTAR RUJUKAN

Biran, M.Y. 2009. Sejarah Film 1900-1950: Bikin Film di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.

Arief, M.S. 2009. Politik Film di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu

Amura. 1989. Perfilman di Indonesia. Jakarta: LKMI

Said, S. 1989. Profil Dunia Film Indonesia. Jakarta: Grafika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun