Mohon tunggu...
Hartmantyo
Hartmantyo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

SDK 1 YSKI, SMPK YSKI, SMAN 2 Semarang,sosiologi UGM 2011.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kritik Teori Modernisasi

29 Oktober 2013   23:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:51 6508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya, teori modernisasi berangkat dengan gagasan awal yaitu mengenai perubahan sosial. Yang dimaksud dengan perubahan sosial adalah perubahan dari tradisional ke modern, yang mencakup perubahan di sebagian besar sektor vital dalam masyarakat, terutama sektor ekonomi. Kemudian, perubahan sosial tersebut diwujudkan dalam suatu konstruksi modern dalam bentuk industrialisasi sesuai konsep barat.

Dalam tahap pelaksanaannya, teori modernisasi ini masuk ke negara dunia ketiga dengan berbagai jalur, salah satunya dan paling mudah adalah lewat jalur akademik. Dalam dunia akademik, di konstruksikan bahwa sebuah ke-tradisional-an merupakan suatu masalah yang erat kaitannya dengan keterbelakangan. Kemudian negara-negara yang masih tradisional dan terbelakang di “haruskan” di bangun agar “maju” layaknya negara barat. Untuk menjadi “maju” sesuai negara barat, maka perlu adanya suatu pembangunan, salah satunya pembangunan bidang ekonomi. Pembangunan yang dimaksud adalah pembangunan di bidang ekonomi dengan landasan teori-teori modernisasi ciptaan negara barat yang dikenalkan lewat bidang akademik.

Untuk memuluskan pengimplementasian teori-teori modernisasinya, para ilmuwan barat tersebut memulainya dengan konsep utama mengenai “pertumbuhan & pemerataan”. Pertumbuhan & pemerataan dapat diartikan dalam suatu definisi, yaitu negara-negara yang diimpikan nantinya merupakan negara yang bertumbuh ke arah modern yang didominasi oleh industrialisasi dengan neraca keuangan yang “positif” dan hal tersebut terjadi “rata” di berbagai negara di belahan dunia. Tentu, gagasan tersebut membuat beberapa negara dunia ketiga terpikat, dan dengan segera mengimplementasikan teori-teori modernisasi atau yang di dunia akademik dikenal dengan sebutan teori-teori pembangunan.

Namun pada penerapannya, teori-teori modernisasi tadi tidak berjalan seperti apa yang diinginkan. Banyak sekali kegagalan yang terjadi akibat teori-teori tersebut, dan bukannya mensejahterakan, justru semakin menambah pelik permasalahan negara-negara yang menggunakan teori-teori tersebut. Seperti, bertambahnya pengangguran, pertumbuhan yang tidak merata, bertambahnya kemiskinan dan lainnya. Maka, kita perlu kembali mengidentifikasi teori-teori modernisasi tersebut. Berikut adalah sedikit identifikasi dari saya yang berupa kritik terhadap beberapa teori modernisasi.

Pertama adalah teori pertumbuhan ekonomi milik W.W.Rostow. Teori ini terkenal dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi atau yang dikenal dengan nama five-stage scheme. Kelima tahapan tersebut adalah, dimulai dari masyarakat tradisional, kemudian pra-kondisi tinggal landas, lalu masyarakat tinggal landas, dilanjutkan dengan pematangan pertumbuhan, dan puncaknya adalah masyarakat konsumsi masa tinggi. Tentu,tahap masyarakat konsumsi tinggi merupakan puncak pencapaian yang diinginkan Rostow. Maka, untuk mencapai tahapan puncak tersebut, Rostow memberikan syarat, yaitu berupa ketersediaan modal. Untuk mendapatkani ketersediaan modal guna menjalankan pembangunan diperlukan beberapa cara, salah satunya melalui penarikan investasi modal asing.

Saran Rostow mengenai penarikan investasi modal asing inilah yang menurut hemat saya merupakan titik kelemahan teori pertumbuhan ekonominya. Hal tersebut dikarenakan untuk mendapatkan modal yang besar tentu suatu negara “diharuskan” mengijinkan investor-investor asing untuk masuk dan menanamkan modal kenegaranya-seperti dalam bentuk perusahaan. Sehingga nantinya pemerintah negara tersebut mendapatkan keuntungan dari kerjasama dengan para investor tersebut untuk melaksanakan pembangunan. Pada kerjasama tersebut, biasanya para perusahaan asing memberikan janji mengenai pemberian lowongan kerja dengan upah layak bagi masyarakat di daerah sekitar lokasi perusahaan tersebut.

Kenyataan dilapangan, perusahaan-perusahaan/investor asing pada awalnya memang memberikan pekerjaan bagi masyarakat sekitar, namun di balik semua itu, ada perusahaan yang mengeksploitasi dan memberi upah yang tidak layak bagi para pekerja yang berasal dari dalam negara tersebut. Sehingga bukannya menciptakan kesejahteraan, justru malah menciptakan mala petaka bagi rakyat negara tersebut. Di sisi lain, hal ini memunculkan suatu bentuk kapitalis, yaitu adalah pemerintah negara yang mendapatkan keuntungan dari hasil kerja sama dengan investor asing tadi, mereka akan tetap membangun dan menganggap permasalahan tenaga kerja sudah beres. Artinya, pemerintah negara tersebut tidak mempermasalahkan pengeksploitasian rakyatnya, yang penting tugas pembangunan terlaksana. Sama saja dengan mereka mengorbankan dan menindas rakyatnya sendiri demi keuntungan materi semata.

Kemudian setelah hal ini terungkap, masyarakat banyak yang kecewa dengan pembangunan yang berasaskan teori dari Rostow ini. Lalu menggantinya dengan landasan teori-teori lainnya yang lebih relevan dan memungkinkan lagi untuk menjalankan pembangunan yang diingikan.

Yang kedua adalah teori penciptaan tenaga kerja. Teori ini berasumsi bahwa pembangunan tidak serta merta menyelesaikan masalah pengangguran. Maka, pembangunan haruslah diorientasikan pada penyerapan tenaga kerja juga. Dalam pelaksanaannya, teori ini berhasil memberikan dampaknya atas penyerapan tenaga kerja yang mereka arahkan ke sektor informal.

Namun menurut saya, pelaksana teori penciptaan tenaga kerja ingin terus melanggengkan eksistensi dari sebagian besar pekerja di sektor informal. Yang berarti, hal ini akan menimbulkan kesenjangan, antara para pekerja di sektor formal dan informal. Di karenakan para pekerja sektor formal sebagian besar, pendapatannya jauh di atas para pekerja sektor informal. Tentu, hal ini akan menimbulkan kelas-kelas dalam masyarakat jika di ukur dari pendapatannya. Pastinya ini bukan sesuatu yang baik, karena dapat memicu konflik dalam tubuh masyarakat sendiri. Sehingga teori penciptaan tenaga kerja menurut saya masih kurang relevan jika diterapkan secara murni, walaupun nantinya dapt menyerap tenaga kerja dengan baik, namun belum dapat menyelesaikan masalah kesenjangan yang dapat timbul di masyarakat itu sendiri.

Yang ketiga, sekaligus terakhir adalah teori Motif Prestasi (N’Ach) dan Pertumbuhan Ekonomi milik McClelland. Inti dari teori ini adalah pertumbuhan ekonomi terjadi bukan karena faktor “eksternal” melainkan faktor “internal”. Jadi, seseorang memiliki keinginan untuk sukses bukan karena pengaruh lingkungan, melainkan pengaruh dari dalam dirinya sendiri. Dorongan untuk sukses, bekerja secara baik, bekerja demi kepuasaan batin tersebut dinamakan dengan the need for achievement (N’ach). Sehingga, seseorang yang memiliki (N’ach) tinggi akan mampu meraih kesuksesan dan kesuksesan tersebut, secara tidak langsung dapat membantu negara dalam peningkatan kesejahteraan.

Teori McClelland tentang N’ach dapat dimentahkan oleh psikologi sosial milik George Herbert Mead. Dimana bagi McClelland yang lebih menekankan bahwa perilaku (dalam konteks ini adalah N’ach) terbentuk karena motivasi dari dalam atau internal, namun bagi Mead, perilaku terbentuk karena pengaruh dari eksternal atau masyarakat. Jadi, bagi Mead keseluruhan kehidupan sosial mendahului pikiran individu secara logis maupun temporer.

Menurut saya, saya lebih setuju pada psikologi sosial milik Mead  ketimbang McClelland. Dalam realitas yang saya temui, sebagian besar sifat-sifat individu muncul dikarenakan pengaruh dari luar, atau dari masyarakat. Kesimpulannya, menurut saya, N’ach itupun terjadi atau terbentuk juga karena pengaruh dari luar. Bahwa seseorang memotivasi dirinya sendiri atau orang lain karena dia mengetahui dan ingin menjadi orang yang sukses sama seperti yang di lihat di waktu sebelumnya, dan bukan murni berasal dari dirinya sendiri. Bahkan penulis mengatakan bahwa jika ideologi achievement-oriented berakibat terhadap pertumbuhan ekonomi, maka ideologi ini akan disebarluaskan. Jika pernyebarluasan ini benar-benar terjadi, teori tentang pembentukan perilaku N’ach yang berasal faktor internal, justru benar-benar dapat dimentahkan dengan telak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun