Mohon tunggu...
Suharti
Suharti Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pedagang Pasar/Ibu Rumah Tangga

Menulis apapun selama kau mampu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hey, Yakinkah Kita Mampu Naik Haji?

31 Desember 2018   21:44 Diperbarui: 31 Desember 2018   22:28 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terus, sebenarnya permasalahannya bagi saya adalah kalau mereka bisa ber-haji, kenapa saya tidak bisa mengumpulkan biaya berhaji itu juga? Kan sama-sama berdagang, apa saya kurang rajin kali bekerja? Padahal niat berhaji sudah menyala sejak dahulu.

Ah rasa penasaran itu akhirnya terjawab di ujung obrolan itu. Mbak Siti, pada saat itu menggadaikan rumah orang tuanya lewat Bank untuk mendapatkan dana awal yang disetorkan Pendaftaran Haji. Dan mencicilnya setiap bulan dari pinjaman tadi di Bank. Sedangkan Mbak Rohmah, sudah menjual sebidang tanah warisan yang ditinggalkan orang tua mereka.

 "Duh beruntungnya mereka ya?, berharap saja siapa tahu nanti, saya juga bisa dapat undian berhaji," Batinku.

Definisi 'me-mampukan diri' berhaji memang selalu ber-liku-liku dan berbeda pada setiap orang-kan? Dua pengalaman dari mbak Siti dan mbak Rohmah, bisa saja menjadi sample proses me-mampukan diri ber-haji, dan sering kita jumpai pada masyarakat umumnya.

Tapi, ya kembai lagi, menilai definisi yang tepat untuk meng-aplikasikan istilah 'mampu' berhaji yang kita lakukan, ya hanya Allah SWT saja yang tahu! Dan meluluskan kita sebagai haji mabrur nantinya ketika di sana.

Mampukah Saya Berhaji?

Sama seperti lainnya, saya dan suami saya juga pernah, menyalakan niat berhaji di awal pernikahan itu dahulu, meski hanya di dalam hati. Namun perjalanan hidup yang juga memerlukan ongkos besar.  Macam, membangun rumah mandiri dan membiayai anak-anak kami, 'terpaksa'  masih selalu menjadi prioritas utama.

Profesi sebagai pedagang sayuran pada masa itu, menjadikan realitas, mengapa lamban meraup keuntungan, untuk segera ditabung. Belum lagi  kebutuhan, lantas keinginan dan cobaan yang selalu saja menggerus dana yang sudah terkumpul atas niat suci itu.

Akhirnya,  di tahun 2006, keinginan berhaji malah buyar. Tatkala suami saya sakit. Biaya berobat  di RS langsung menjadi prioritas, kerja keras berdagang jua sulit mengembalikan niat tadi atas biaya haji yang diminta.

Dan akhirnya suami saya wafat di pertengahan 2006 lalu, akibat penyakit ginjal. Ya sudahlah niatan itu kini hanya menyala redup di dalam hati saja, ya sambil berdoa, siapa tahu bisa menyala terang kembali suatu saat ya.

Dahulu bisa saja saya menyimpan Rp 20 ribu sehari di tabungan pribadi buat dana haji, sehingga kalau dihitung dari tahun 1998, awal kami berdagang di pasar. Seharusnya tahun 2005 dana yang siap mencapai Rp 50 jutaan. Itu bisa saja menjadi awal setoran mendaftar haji. Dan sudah bisa ber-haji saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun