Mohon tunggu...
Hartati B. Bangsa
Hartati B. Bangsa Mohon Tunggu... Dokter - Health Educator

Yakin usaha sampai & all is well @tati.bangsa, Facebook@tatibangsa

Selanjutnya

Tutup

Book

[Bagian 1] Kolegium Dokter Indonesia

14 Desember 2022   00:40 Diperbarui: 14 Desember 2022   00:45 3939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source Pict: Facebook Kolegium Dokter Indonesia

BAGIAN I#KOLEGIUM DOKTER INDONESIA

Book: Menegakkan Martabat Profesi Dokter Umum (Sejarah, etik dan Romansa Perjuangan PDUI)


Kolegium adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu, yang bertugas mengampu cabang disiplin ilmu tersebut. Ada perbedaan soal pembentukan kolegium di beberapa negara dan Indonesia.
Di beberapa negara lain, kolegium lebih dulu terbentuk sebelum terbentuknya asosiasi profesi.  Jadi, kolegium terpisah dari asosiasi profesi kedokteran. Di Indonesia, kolegium justru dibentuk oleh asosiasi dokter spesialis di lingkungan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Prof. DR. Dr. Syarifuddin Wahid (Ketua Kolegium Dokter Indonesia periode 2018-2021), dalam sebuah wawancara menjelaskan soal pentingnya uji kompetensi bagi dokter Indonesia, "Kolegium merupakan kumpulan organisasi yang bertanggung jawab dalam mengawal Pendidikan kedokteran.  Sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, bahwa setiap dokter harus melampirkan sertifikat kompetensi sebagai salah satu syarat untuk mengurus registrasi di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Kewajiban itu juga harus dipenuhi oleh dokter yang baru lulus dari FK/PSPD yang juga harus melakukan registrasi di KKI. 

Sertifikat kompetensi diperoleh melalui uji kompetensi yang diatur oleh Kolegium ilmu masing-masing. Setiap peserta harus bisa mendapat standar kompetensi yang telah ditetapkan. Kalau tidak lulus ya harus mengulang lagi sampai lulus. Ukurannya ada dua, yaitu ukuran keilmuan dan ukuran keterampilan. Setelah lulus Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) akan mendapat sertifikat kompetensi dari KDI (Kolegium Dokter Indonesia), dan sertifikat itulah yang kemudian digunakan untuk mendapatkan surat registrasi dokter yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI) digunakan sebagai tolok ukur dan barometer kerja bagi seorang dokter, dan sertifikat kompetensi merupakan dokumen yang menandai bahwa pemiliknya sudah kompeten untuk melaksanakan praktik dokter umum.  

Uji Kompetensi dimaksudkan untuk menjamin mutu pelayanan (dokter). Dilakukan melalui dua cara di antaranya adalah ujian tertulis dan OSCE (Objective Structured Clinical Examination).Tujuannya adalah untuk memberikan informasi berkenaan dengan kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari para lulusan dokter umum secara komprehensif, kepada pemegang kewenangan dalam pemberian sertifikat kompetensi sebagai bagian dari persyaratan registrasi, sebelum kemudian seorang dokter bisa mengurus pengajuan surat ijin praktik (SIP). Pentingnya uji kompetensi adalah untuk menjamin agar semua dokter yang bekerja itu memenuhi standar yang dibuat, yang menjadi kurikulum di Fakultas Kedokteran. Kalau Undang-undang Praktik Kedokteran Tahun 2004 adalah tentang uji kompetensi bagi mahasiswa yang telah tamat kuliahnya, sedangkan Undang-undang Kedokteran Tahun 2012 adalah Undang-undang Pendidikan Kedokteran yang meminta uji kompetensi sebelum mahasiswa tamat kuliahnya. Sekarang sudah ada kesepakatan antara organisasi profesi (IDI) dengan Pemerintah, untuk two in one. yakni, mahasiswa FK mengikuti uji kompetensi sebelum tamat, dan kalau dia lulus di situ maka dia tidak perlu diuji kompetensi lagi. Meski undang-undangnya meminta dua kali uji kompetensi, tapi organisasi (IDI) melakukan negosiasi antara FK-FK dan dengan profesi-profesi agar satu kali uji kompetensi sudah bisa diakui -- dan bisa mendapat dua sertifikat kompetensi sekaligus (satu sertifikat profesi dan satu lagi sertifikat kompetensi). Bagi lulusan  Fakultas Kedokteran di luar negeri, untuk bisa berpraktik di Indonesia ada syarat khusus yang harus dipenuhi. Yang pertama adalah, harus mengikuti program adaptasi selama satu tahun (dia mengadaptasi ilmu kedokteran yang diperoleh dari FK di luar negeri dengan ilmu kedokteran yang ada di Indonesia). Karena ada beberapa materi perkuliahan yang tidak sama antara FK di luar negeri dengan FK di Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan di FK-FK Universitas negeri yang terakreditasi A dan lamanya bisa 1 sampai 2 tahun. Setelah itu, dia harus melakukan uji kompetensi yang materinya juga berbeda dengan para lulusan FK di Indonesia.

 Dia  diuji kompetensinya berdasarkan undang-undang praktik kedokteran, bukan berdasarkan undang-undang pendidikan dokter. Makanya dia tidak ikut di UKMPPD (Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter). Untuk mereka dibuatkan sendiri yang Namanya UKDI (Uji Kompetensi Dokter Indonesia)."  
Dengan adanya uji kompetensi, dokter dituntut untuk senantiasa mengetahui hal-hal terbaru dalam dunia kedokteran. Selain itu, kualitas keprofesian dokter akan selalu bisa diawasi karena setiap dokter yang ada di Indonesia telah disamakan standarnya. Uji kompetensi juga menjadi sebuah simbol kemapanan dunia kedokteran karena mengikuti standar internasional di mana setiap profesi memiliki kualifikasi negara.


Sayangnya, di balik hal-hal positif di atas, ternyata uji kompetensi juga menyertakan kekurangan yang prinsipil. Hal yang paling utama adalah masalah dana dan waktu yang berlarut-larut. Sejak sistem ini diberlakukan, dokter dan lulusan dokter menjadi "pengangguran" karena tidak bisa berpraktik tanpa surat tanda registrasi dan izin praktik.
Menurut Dr. Bram, dinamika internal kolegium ini setidak-tidaknya sudah berlangsung sekitar 5 tahun terakhir. Dimulai dengan munculnya dualisme uji kompetensi. Tadinya uji kompetensi hanya dilakukan oleh profesi, tapi kemudian muncul dualisme (pemerintah mau juga ikut ambil bagian dalam hal pengelolaannya). Itu sebabnya lantas dibentuklah Komite Bersama Uji Kompetensi Dokter Indonesia. Artinya, unsur profesi dan Dirjen Dikti (yang sekarang disebut Kemenristek Dikti) ikut menjadi pengelola --  dalam hal ini diwakilkan ke Asosiasi Institusi Pendidikan kedokteran Indonesia (AIPKI) untuk melakukan Uji Kompetensi Dokter Indonesia. Prahara kemudian terjadi saat menangani kasus retaker  peserta UKDI.  Waktu itu, ada peserta yang sampai lebih dari tiga kali bahkan ada juga yang sampai 12 kali ikut ujian kompetensi tidak lulus-lulus.


Di satu sisi, profesi ingin melakukan pembinaan secara khusus dalam bentuk pemberian modul sebelum diuji. Jadi mereka belajar dari modul-moduo yang diujikan. Sementara, kelompok AIPKI tidak setuju dengan modul-modul tersebut. Mereka menginginkan modulnya harus sesuai dengan standar kompetensi (SKDI -- Standar Kompetensi Dokter Indoensia) -- tahun 2012. Padahal, SKDI secara rutin direvisi setiap lima tahun sekali.
Kontroversi terakhir adalah perkara kompetensi kedokteran itu sendiri. Pendidikan kedokteran, baik kurikulum lama dan kurikulum berbasis kompetensi, terbagi dalam dua fase klinik dan preklinik yang mengharuskan mahasiswanya untuk lulus dan kompeten. Terutama untuk fase klinik, mahasiswa diharuskan untuk lulus ujian masing-masing departemen sehingga argumen ini menjadi dasar penentangan terhadap UKDI. Memang keadaan fakultas kedokteran di Indonesia tidak semuanya sama standarnya sehingga ada anggapan diperlukan suatu standarisasi. Namun lagi-lagi hal ini menjadi rancu karena jika memang standar yang disorot, maka sudah menjadi tanggung jawab negara untuk merangsang perkembangan kurikulum kedokteran sehingga ada kejelasan standar pendidikan kedokteran.


Melihat fenomena ini, tak dapat dipungkiri lagi standar pendidikan dokter sangat diperlukan. Standar ini harus disusun oleh lembaga-lembaga yang mengurusi pendidikan kedokteran dan disesuaikan pada kurikulum pendidikan dokter serta permasalahan kesehatan di masyarakat. Selanjutnya standar pendidikan kedokteran ini dijadikan acuan oleh setiap fakultas kedokteran di Indonesia tanpa terkecuali, dan setiap fakultas kedokteran wajib memastikan lulusannya memiliki kompetensi yang telah distandarkan. Bila hal ini telah dilakukan, maka kompetensi lulusan dokter tidak harus diuji lagi dalam bentuk ujian tertulis yang berpotensi menguras anggaran. Sebagai alternatif, dokter dapat diharuskan untuk mengikuti seminar atau pelatihan tertentu dalam kurun waktu tertentu serta wajib memenuhi batasan tertentu pula sehingga dianggap berkompeten, misalnya dalam bentuk mengumpulkan sejumlah SKP dalam 5 tahun.


Sistem ujian tertulis memang bukan suatu bentuk solusi jangka panjang. Tetap diperlukan suatu usaha untuk menguji kompetensi dokter secara kontinyu sehingga kompetensi dokter Indonesia semakin terasah dan UKDI adalah uji kompetensi yang harus ditempuh oleh dokter yang baru lulus Fakultas Kedokteran atau Program Studi Pendidikan Dokter, atau habis masa berlaku registrasinya sebagai salah satu syarat untuk mengurus registrasi di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Masih membincang soal kolegium, tim redaksi juga mewawancarai Dr. H. N. Nazar Sp.B yang menjabat sebagai Wakil Ketua Panel Ahli Kolegium Dokter Indonesia, dan Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota). "Kolegium tugasnya adalah melakukan uji kompetensi, agar secara otomatis mutu  dokter (umum) terjamin sekaligus terlindungi. Dengan dasar itu kemudian dikeluarkan sertifikat registrasi dan juga sertifikat kompetensi. Nah itu sudah jaminan mutu untuk dia menjalankan profesinya di dunia kedokteran. Dan hal itu tidak terhalang oleh batas negara. Itulah kelebihan Kolegium kita yang juga bisa mengakui lulusan luar negeri karena kita meng-apreciate apa yang dihasilkan Kolegiumnya di sana.

Keberadaan PDUI, selain untuk memberi jaminan dari segi mutu, juga bersama-sama dengan kolegium memberikan perlindungan bagi dokter-dokter. Sehingga, selain terjamin standar mutunya dia juga terlindungi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan profesinya. Kolegium memang tidak menjamin kesejahteraan. Organisasi (PDUI) lah yang menjamin kesejahteraan mereka. Kalau soal kesejahteraan dan status sosial profesi adalah bagian kerjanya organisasi -- bukan Kolegium. Tapi kalau dari sisi keilmuan dan standar pelayanan, yang menjamin dan melindungi adalah Kolegium.

Saat ini kita sedang memperbaiki cara-cara, dalam hal membuat dan memperbaiki materi-materi uji kompetensi.  Sehingga, menjadi sangat penting bagi PDUI untuk lebih memperkenalkan dan  mensosialisasikan kedudukan KDI (Kolegium Dokter Indonesia) kepada institusi-institusi terkait.  Agar, keberadaan KDI bisa dipahami dan dimaknai positif. Karena, saya tidak mau kolegium ini hanya bermakna bagi organisasi dan adik-adik dokter umum saja. Tidak hanya itu. Kalau hanya sebatas itu, berarti KDI tidak lebih dari sebuah institusi seperti halnya institusi lain yang bersifat otoritas. Tapi kalau misalnya Dirjen DIKTI yang punya sarana pendidikan, dan dia juga khusus menangani pendidikan otonomi, berarti dia juga  harus menempatkan KDI sesuai dengan fungsi yang sesungguhnya (sebagai partner).Saya masih melihat bahwa, keberadaan KDI belum terapresiasi dengan baik oleh Dikti. Dan itulah tugas kita (di PDUI), yakni mencari cara agar orang lebih mengapresiasi. Caranya bagaimana? Tentu dengan menunjukkan mutu dan kinerja yang baik. Dalam beberapa tahun ini di lingkup internal KDI sudah semakin ter-upgrade, sehingga dengan berjalannya waktu orang juga akan semakin mengapresiasi dan menjadi sadar gunanya KDI.


Di luar negeri, walaupun masih banyak kedudukan dokter yang university base,  meski sekarang  kebanyakan hospital base, justru malah yang dominan  kolegiumnya. Kolegium dalam masalah keilmuan, dalam masalah uji kompetensi, dan dalam masalah mempertahankan mutu. Kemudian, karena kolegium ini adalah kepunyaan organisasi, maka organisasilah yang mem-back up anggotanya dalam masalah status kesejahteraannya (status social financial-nya).
Keberadaan PDUI dan Kolegium saling berkaitan. Keduanya dibutuhkan oleh dokter umum.  Setelah dia dijamin mutunya, punya wibawa, dan  mendapat kesejahteraan yang baik, maka dokter tersebut jadi punya nilai tawar tinggi. Setelah itu, PDUI boleh menunjukkan pada khalayak luas bahwa dia punya dokter-dokter umum yang bermutu baik, dan bisa menawarkan kepada pihak pemberi kerja dengan standar gaji yang tinggi -- 50 juta/bulan misalnya. Standar gajinya memang harus tinggi, karena PDUI menjamin mutunya. Kalau tidak digaji tinggi, PDUI tidak akan memberikan anggotanya bekerja di situ. Profesi lain seperti Pilot sudah lama punya standar gaji. Sebentar lagi  kawan-kawan pengacara punya standar, dan kawan-kawan arsitek juga. Sarjana farmasi saja sekarang sudah begitu -- dia menentukan standar. Lebih dulu sarjana farmasi menentukan standar, daripada dokter."

Berikut ini adalah penjelasan tentang arti dan fungsi kolegium, juga tentang perlunya satu perhimpunan satu kolegium, yang disampaikan oleh Prof. DR. Dr. David S. Perdanakusuma, Sp.BP lewat email yang dikirim ke redaksi. "Satu perhimpunan satu kolegium adalah semangat yang patut dihargai sebagai suatu pernyataan hasil muktamar IDI, namun perlu disikapi dengan kehati-hatian karena ada pernyataan susulan yang (perlu) diikutkan untuk melengkapi pernyataan ini.

Kolegium adalah pengampu keilmuan, sehingga usulan pembentukan kolegium diperlukan penilaian body of knowledge dari kolegium tersebut. Setiap perhimpunan dapat mengusulkan pembentukan kolegium,  namun bila bidang ilmu yang diampu sama atau banyak samanya, maka seyogyanya bergabung saja dengan kolegium yang sudah ada. Satu perhimpunan satu kolegium bila mempunyai bidang ilmu yang berbeda, itu adalah pernyataan yang tepat. Untuk dokter umum  sudah ada KDI, sehingga bila ada perhimpunan pada tingkat dokter umum yang lain selain PDUI tidak dapat lagi membuat kolegium lagi selain KDI.


Kolegium merupakah bagian yang tidak terpisahkan dari organisasi profesi dan merupakan produk dari muktamar/kongres organisasi profesi tersebut. Saya mendukung semangat upaya mengawal, memelihara, dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam bidang kedokteran, yang mana hal itu ada di PDUI dan KDI.
PDKI semula adalah organisasi profesi di tingkat dokter umum di layanan primer, yang berada di bawah naungan KDI bersama PDUI. Namun saat ada keinginan membuat kolegium sendiri ada kesulitan, karena mungkin ada dua kolegium dengan body of knowledge yang hampir sama.
Dengan pertimbangan ada kespesifikan dan ada unsur pembeda dalam prosesnya, disepakati kolegium yang dibentuk berpindah dari tatanan dokter umum menjadi dokter spesialis. Sehingga terbentuklah kolegium spresialis dengan nama KIKKI (Kolegium Ilmu Kedokteran Keluarga Indonesia, dan PDKI berproses menjadi organisasi spesialis.


Cikal bakal UKDI adalah adanya proyek Bench Marking yang diadakan oleh DIKTI untuk menilai keberhasilan institusi kedokteran dan peningkatan mutu Fakultas Kedokteran (FK). Pada awalnya proyek ini diujicobakan di empat fakultas kedokteran yaitu di FK UI, FK UNPAD, FK UGM, dan FK UNDIP, dengan FK UNPAD sebagai kordinator. Kemudian diikuti oleh FK-FK lain yaitu FK USU, FK Atmajaya, FK Unhas, FK Unair yang kemudian menjadi tim dalam pembuatan Bench Marking tersebut. Aspek Bench Marking merupakan upaya pengembangan kapasitas dalam ujian dan merupakan penelitian selama kurang lebih 3 tahun untuk melihat pengetahuan dokter.
Tes Bench Marking merupakan suatu pilihan yang dapat diikuti ataupun tidak oleh suatu institusi kedokteran, intinya bukan merupakan suatu keharusan. Dari hasil Bench Marking tersebut, ditemukan adanya ketidakmerataan hasil yang diperoleh. Ada dokter-dokter yang dapat mengerjakan ujian dengan sangat baik, ada yang sedang-sedang saja, bahkan ada yang berada di bawah standar. Dengan hasil tersebut, ke depannya dianggap perlu ada ujian nasional untuk menjadi jaminan mutu dan akuntabilitas publik terhadap seorang dokter. Yang mana, jika seorang dokter telah lulus melewati ujian kompetensi berskala nasional tersebut, dokter yang bersangkutan dianggap terjamin untuk melakukan praktik kedokteran di seluruh wilayah  di Indonesia. Soal-soal yang dimasukkan dalam ujian tersebut juga harus soal-soal yang berskala nasional. Sehingga lahirlah UKDI.


Seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan masalah kesehatan, UKDI dianggap merupakan langkah yang sangat baik dalam mengembangkan pengetahuan seorang dokter. Seorang dokter dituntut untuk terus meng-update ilmu pengetahuannya. Hal ini dianggap mampu menjamin kualitas seorang dokter dalam pengabdiannya kepada masyarakat. Menurut Prof. Dr. Irawan, Ph.D sebagai ketua AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia) periode 2013-2015, uji kompetensi dokter diselenggarakan untuk menilai kompetensi seorang dokter apakah layak atau tidak. Tujuannya untuk menstandarisasi  kompetensi setiap dokter lulusan berbagai fakultas kedokteran di seluruh Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kualitas dokter-dokter serta penerapan long life learning.  
Kebutuhan atas dokter saat ini baik dari segi kuantitas maupun kualitas makin meningkat. Paradigma pengelolaan pendidikan kedokteran pada saat ini semakin menuntut adanya standarisasi, akuntabilitas, inovasi/pengembangan, serta penjaminan kualitas proses dan lulusan pendidikan kedokteran di Indonesia. Berkenaan dengan hal itu,  ada upaya penataan praktik kedokteran di Indonesia.
Saat ini telah diberlakukan beberapa peraturan mulai dari Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, Permenkes Nomor 1419 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 tentang registrasi dokter dan dokter gigi, yang mana dinyatakan bahwa izin praktik dapat diberikan  kepada seorang dokter setelah mendapatkan sertifikat lulus uji kompetensi.


Dengan demikian saat ini dibutuhkan suatu perangkat uji kompetensi dokter sebagai upaya dari aktualisasi berbagai peraturan praktik kedokteran tersebut dalam rangka peningkatan dan standarisasi kualitas  dokter Indonesia. Menindaklanjuti pemberlakuan peraturan-peraturan di atas, AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia) berupaya untuk berperan aktif dalam upaya pengembangan dan implementasi uji kompetensi tersebut dengan harapan bahwa hal tersebut dapat mengurangi kesenjangan kualitas pendidikan kedokteran di Indonesia. Mereka juga mengajak PDKI (Persatuan Dokter Keluarga Indonesia) untuk merealisasikan hal tersebut, karena dokter keluarga sendiri masih dianggap sebagai dokter umum. Tiga stakeholder tersebut (Kolegium Dokter Indonesia, AIPKI, dan PDKI) menjadi komite bersama dalam perwujudan UKDI. Adapun Undang-undang Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004 yang menyangkut Uji Kompetensi Dokter Indonesia, Surat Tanda Registrasi dan Surat Ijin Praktik antara lain: Pasal 29 ayat 1: menyangkut persyaratan melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), pasal 29 ayat 3: persyaratan memperoleh STR termasuk di dalamnya memiliki sertifikat kompetensi yang didapat dari UKDI.
Pada konsep kurikulum berbasis kompetensi, penilaian kompetensi seseorang dilihat dari tiga aspek yakni, kognitif, psikomotorik, dan afektif. Sedangkan uji kompetensi dokter ini hanya menilai aspek kognitif saja. Lalu bagaimana dengan aspek-aspek lainnya? Dr. Abdullah Kadir, Sp. THT mengungkapkan aspek yang dinilai dalam UKDI hanya pengetahuan dokter, sedangkan masalah praktik dinilai saat ini masih sangat sulit untuk dilaksanakan.


Kualitas pelayanan kedokteran yang baik adalah pelayanan kedokteran yang memenuhi unsur kompetensi, hubungan yang baik antara dokter-pasien dan antar sejawat, serta ketaatan pada etika profesi. Kompetensi adalah kemampuan minimal dalam bidang pengetahuan, ketrampilan, serta sikap dan perilaku profesional untuk dapat melakukan kegiatan di masyarakat secara mandiri. Dalam melaksanakan profesinya dokter harus selalu mempertahankan dan meningkatkan kompetensinya.
                                                                                                                                                  ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun