Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kabar Baik dari Admin, Istri dan Butet

2 April 2013   21:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:50 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PERTAMA, terhitung sejak tanggal 1 April 2013, akun saya di Kompasiana sudah terverifikasi. Bagi saya, itu kabar baik yang melegakan. Maklum, sejak mendaftar sekitar enam bulan silam, entah kenapa kok akun saya tidak ‘dicontreng’ tanda terverifikasi. Padahal, saya merasa sudah memenuhi semua persyaratan.

Lantaran penasaran, tgl. 29 Maret saya kirim surel kepada Admin. Saya jelaskan, kesalahannya saya mungkin karena KTP nggak saya scan, tapi saya foto pake hp. Esoknya, surel saya dijawab Admin dengan ramah sambil menanyakan URL saya. Langsung saya surelkan. Sehari kemudian, tgl. 1 April 2013, Admin mengirim surel dan memberitahukan akun saya sudah dicek dan sudah terverifikasi. Selamat ber-Kompasiana, kata Admin. Siyaaap dan terima kasih.

Bisa terverifikasi lewat ‘perjuangan’, bagi saya, merupakan hal yang menurut Mbak Syahrini “sesuatu banget”. Lingkaran hijau yang dicontreng tanda terverifikasi di lembar atas tulisan saya, sesekali membuat saya terkenang “perjuangan” untuk mendapatkannya. Tentu saja termasuk terkenang ketololan saya menghadapi abad gadget. Apapun, kabar baik memang hampir selalu membuat saya dimabuk perasaan lebay, misalnya merasa diistimewakan Tuhan. Ehm!

KEDUA, Senin malam kemarin, kabar baik datang bersama istri saya yang baru pulang Semarang berdua Teguh, adik bungsunya. Sambil menurunkan oleh-oleh dari bagasi taksi sampai masuk rumah, istri saya bercerita,“ Aduh Pak, Pak…, sejak hari Minggu tiket pesawat dan kereta api habis bis bis bis! Untung akhirnya dapet tiket bismalam. Harusnya berangkat Minggu sore, ternyata baru berangkat jam 12 malam. Udah gitu di mana-mana macet lagi. Harusnya sampai Jakarta siang. Gara-gara berangkatnya telat, jam segini baru sampai rumah. Tapi ya alhamdulillah.”

Sebenarnya saya ingin bilang, “Salahmu sendiri. Minggu lalu kan sudah saya bilang, beli tiketnya PP sekalian. Mumpung promo. Tapi kamu bilang ngga usah, karena ingin lihat-lihat Semarang, nggak mau terikat jadwal penerbangan. Ya sudah. Coba kalau nurut omongan saya, nggak kecapekan seharian naik bismalam. Kalau pesawat kan weerrrr satu jam sudah sampai Jakarta.”

Saya buru-buru mencaplok lumpia Semarang yang terkenal itu, supaya tidak keceplosan bicara tentang hal-hal yang sudah lewat. Kalimat seperti yang ingin saya ucapkan di atas tadi, biarlah tersimpan di dalam hati. Anggap saja menabung kebaikan. Apalagi bagi saya tak mungkinlah untuk menabung di bank. Karena ATM dan rekening semuanya atas nama istri saya.

Setelah mencomot wingko babat, saya pamitan menghadap komputer lagi. Maklum, ada tulisan yang harus diberesin malam itu juga. Istri saya mandi, kemudian tidur.

Selasa siang, saya bangun tidur dan melihat jam dinding bilang sudah pukul sebelas. Tidak perlu burtu-buru. Ngopi, baca Koran, lalu mandi.

Rumah kosong dan lengang. Anak bungsu saya yang kelas dua SMA dan cucu laki-laki yang kelas satu SMP belum pulang sekolah. Pembantu sudah mudik sebulan lebih belum balik. Syukurlah punya istri pintar masak. Lihat saja itu di meja makan sudah terhidang tahu tempe goreng, ikan asin goreng, sambal terasi, sayur bening bayam dikasih irisan jagung muda.  Tanpa menunggu disuruh saya langsung makan.  Baru sesuap istri datang membawa sepiring kecil empal daging yang baru digoreng. Wah, tambah nikmat saja hidup ini. Apalagi istri berkenan duduk menemani. Ah, Tuhan kalau lagi baik memang bikin hidup ini menjadi  terang benderang.

“Pak, Pak…,” kata istri saya.

“Yaaa,” sahut saya.

Ciri khas istri saya itu kalau memanggil saya pasti dua kali, “Pak, Pak…” Dulu saya pernah bertanya kenapa kalau manggil saya selalu dua kali. Bukannya menjawab malah balik bertanya, “Memangnya nggak boleh? Memangnya kalau dipanggil dua kali kamu rugi? Wong manggil suami sendiri saja kok dibatasi.”

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa itu memang ciri khas istri. Lagipula saya pikir setiap orang berhak punya ciri khas sendiri-sendiri. Memangnya hanya Pak SBY saja yang boleh punya ciri khas kalau berjalan bahunya tegap dan kalau pidato gerakan tangannya seperti dirigen?

“Kita ini sudah hampir lima tahun kok nggak pernah bertengkar ya?” tanya istri saya.

“Berarti kita ini pasangan harmonis,” jawab saya sambil mengunyah tahu.

“Belum tentu. Jangan-jangan karena kita sudah tua,” katanya.

“Bisa juga begitu,” kata saya membenarkan.

“Kalau begitu wajah saya kelihatan tua ya, Pak?”

Saya perlukan menengok wajahnya barang sebelas detik, lalu makan lagi.

“Kelihatan tua ya?”

“Kelihatan tua sih belum. Cuma memang mulai ada yang sedikit keriput,” kata saya sambil menggigit empal sapi.

“Berarti memang sudah tua, dong?”

“Kelihatan sedikit keriput itu bukan berarti  sudah tua. Ibu-ibu pejabat atau artis yang usianya sudah hampir 70 saja wajahnya masih licin,” kata saya.

“Mereka kan banyak duit. Kulitnya dirawat di salon atau disuntik botox,” kata istri saya.

Syukurlah nasi sepiring akhirnya berhasil masuk perut dan terakhir disusul empal sapi. Istri saya menyodorkan segelas air dingin, lalu memandangi saya meneguknya perlahan.

“Heran juga ya, sudah hampir lima tahun kok nggak pernah bertengkar,” gumam istri saya.

“Apa kamu rindu bertengkar?” tanya saya.

“Ya enggaklah. Rindu kok bertengkar. Kalau saya rindu bertengkar gampang saja. Tiap hari saya ngotot maksa kamu nyari uang satu milyar, paling lama dua minggu ngotot kita pasti bertengkar,” jawabnya.

Syukurlah di halaman terdengar suara Bu Jono, tetangga sebelah, memanggil istri saya. Kabar baik yang dibawa Bu Jono adalah istri saya dapat arisan RT.

KETIGA. Kabar baik datang di sore hari, waktu hape saya berkeloneng akibat BBM dari Butet . Bunyinya: BERHASIL. Transfer no referensi dst. Langsung saya balas: Trims. Biasanya kemarin. Dijawab Butet: Memang sudah kemarin. Saya tanya: Kok nggak ngabari? Butet menjawab: Sengaja. Biar kamu nanya. Ternyata enggak hehe. Saya bilang: Hasyuu!

Tapi, saya lega. Berarti rutinitas masih berjalan normal dan lancar. Kabar buruknya, ATM dan rekening atas nama istri saya. Dulu Butet juga pernah BBM: Kok rekening nama istri? Nggak bisa gini-gitu dong? Saya jawab: Itu bukan nama istri saya. Itu nama samaran saya. Butet balas: Hasyuuu! ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun