Munir Said Thalib, 8 Desember 1965 – 7 September 2004.
Hanya pernah sekali bertemu muka untuk sebuah wawancara, tentu saja bukan berarti saya mengenal Munir. Begitu pula saya hanya pernah sekali diajak Mas Andy Soebijakto, teman aktivis, mengantar Mbak Suci, istri Munir, pulang ke rumahnya di kawasan Bekasi, menjelang larut malam seusai acara mengenang Munir di Taman Ismail Marzuki. Munir dan Mbak Suci barangkali bahkan lupa pernah sekali bertemu muka dan berbincang dengan saya. Tapi saya tak pernah lupa dan mengenal betul nyali, keteguhan hati, keberanian, sepak terjang dan barangkali bahkan kenekatan Munir membela orang-orang yang ketika itu tidak ada seorangpun peduli dan apalagi berani melakukannya! Tentu saja saya juga mengenal kegigihan Mbak Suci yang berupaya sangat keras mengungkap tragedi pembunuhan terhadap suaminya, Pejuang Hak Asasi Manusia. Saya mengagumi dan menaruh hormat yang tinggi kepada (alm) Munir dan Mbak Suci.
Ketika mendengar Munir wafat di dalam pesawat Garuda dalam perjalanan ke Belanda, 7 September 2004, rasa kagum dan hormat itu menimbulkan perasaan emosional yang mendorong saya mengibarkan bendera merah putih setengah tiang di depan rumah. Istri dan tetangga tentu saja merasa heran karena tidak ada anjuran dari RT atau kelurahan untuk memasang Sang Saka setengah tiang. Apa pun kata orang, saya tetap mengibarkan bendera merah putih setengah tiang selama tiga hari. Ternyata saya tidak sendirian. Ketika mampir di kantor Mas Arswendo Atmowiloto, saya lihat di halaman kantornya bendera merah putih juga berkibar setengah tiang.
Sampai tahun 2009, setiap tanggal 7 September, di depan rumah saya Sang Saka selalu berkibar setengah tiang. Tapi, sejak tahun 2010 “ritual kecil” itu terabaikan oleh bermacam kesibukan dan baru teringat ketika Sabtu, Minggu dan Senin, 1-2-3/12/2012, di kota Batu, Malang, Jawa Timur, sejumlah seniman dan tokoh nasional mengadakan “gerakan budaya melawan lupa” untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan Munir.
Munir, pria keturunan Arab itu, adalah pemberani sejati. Tubuhnya yang kecil dan tampak rapuh itu sungguh tak sebanding dengan nyalinya yang besar dan tidak kenal gentar. Berikut ini saya kutip dari Wikipedia, sepak terjang Munir di zaman Orde Baru, sebuah zaman ketika nyawa manusia tiba-tiba bisa hilang tak tentu rimbanya.
Penasehat Hukum dan anggota Tim Investigasi Kasus Fernando_Araujo dkk, di Denpasar yang dituduh merencanakan pemberontakan melawan pemerintah secara diam-diam untuk memisahkan Timor-Timur" ari Indonesia; 1992
Penasehat Hukum Kasus Antonio_De_Jesus_Das_Neves(Samalarua) di Malang, dengan tuduhan melawan pemerintah untuk memisahkan Timor Timur dari Indonesia; 1994
Penasehat Hukum Kasus "Marsinah" dan para buruh PT. CPS melawan KODAM_V_Brawijaya atas tindak kekerasan dan pembunuhan Marsinah, aktifis buruh; 1994
Penasehat Hukum masyarakat "Nipah", Madura, dalam kasus permintaan pertanggungjawaban militer atas pembunuhan tiga petani Nipah Madura, Jawa Timur; 1993
Penasehat Hukum Sri_Bintang_Pamungkas(Ketua Umum PUDI) dalam kasus subversi dan perkara hukum PTUN untuk pemecatannya sebagai dosen, Jakarta; 1997
Penasehat Hukum Muchtar_Pakpahan (Ketua Umum SBSI) dalam kasus subversi, Jakarta; 1997
Penasehat Hukum Dita_Indah_Sari, Coen_Husen_Pontoh, Sholeh (Ketua PPBI dan anggota PRD) dalam kasus subversi, Surabaya;1996
Penasehat Hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan dalam kasus perburuhan PT. Chief Samsung; 1995
Penasehat Hukum bagi 22 pekerja PT. Maspion dalam kasus pemogokan di Sidoarjo, Jawa Timur; 1993
Penasehat Hukum DR. George_Junus_Aditjondro" (Dosen Universitas_Kristen_Satyawacana Salatiga) dalam kasus penghinaan terhadap pemerintah, Yogyakarta; 1994
Penasehat hukum Muhadi (seorang sopir yang dituduh telah menembak polisi ketika terjadi bentrokan antara polisi dengan anggota TNI AU) di Madura, Jawa Timur; 1994
Penasehat Hukum dalam kasus Penculikan_aktivis_1997/1998 hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta; 1997-1998
Penasehat Hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Peristiwa_Tanjung_Priok" Tanjung Priok 1984; sejak 1998
Penasehat Hukum kasus penembakan mahasiswa di Semanggi, Tragedi_Semanggi I dan II; 1998-1999
Anggota Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timor Timur; 1999
Penggagas Komisi Perdamaian dan Rekonsiliasi di Maluku
Penasehat Hukum dan Koordinator Advokat HAM dalam kasus-kasus di Aceh dan Papua (bersama KontraS)
Munir Said Thalib, lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 – wafat di pesawat Garuda, 40.000 kaki di atas bumi Rumania, dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, 7 September 2004, dalam usia 38 tahun. Jabatan terakhir aktivis HAM Indonesia ini adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial. Saat menjabat Dewan Kontrasnamanya melambung sebagai seorang pejuang bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawardari Kopassus. Setelah Soehartojatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen Kopassus Prabowo Subiantodan diadilinya para anggota tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Kota Batu.
Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAMlainnya terus menuntut pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini.
Munir, sekali lagi, adalah pemberani dan pejuang sejati.
Maka orang-orang yang di era reformasi ini mendadak bermunculan lantaran di-backing tentara, polisi, politisi dan menyamar jadi pemberani sambil mengaku pejuang ini itu, hendaknya tahu diri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H