NAIK pangkat, apalagi melejit jadi pejabat, resikonya sungguh sering berat. Gaji memang jadi lebih besar, fasilitas makin banyak, martabat meningkat. Semuanya itu tak hanya mengakibatkan perubahan status sosial ekonomi, tapi juga perilaku dan gaya hidup si pejabat baru plus istrinya.
Demikian dikatakan Mas Dar dalam kalimat tertib, serius dan hati-hati, seperti lazimnya bila pejabat pidato. Itulah suatu gaya bicara yang mesti dibiasakan siapapun sejak jadi cape (calon pejabat) dan apalagi setelah jadi peres (pejabat resmi), dalam rangka mencari wibawa. Dan Mas Dar tampaknya cukup berhasil. Bahkan perubahan pada Mas Dar itu terjadi dalam tempo singkat, karena pengangkatannya sebagai pejabat juga secara tiba-tiba. Dari kepala bagian, mendadak saja boss mengangkatnya jadi direktur.
Ketika itu terjadi, banyak yang tercengang atau iri. Maklum, di kantor, prestasi Mas Dar terbilang biasa-biasa saja. Tapi, mungkin justru karena biasa-biasa saja itulah yang membuat Mas Dar diangkat jadi direktur. Atau mungkin karena ia sedang beruntung. Apa pun penyebab pengangkatannya, pada akhirnya tak ada yang berani menggugat.
Saya saja, yang mantan teman akrabnya saat di SLTA, bila di depan umum tak lagi berani memanggil dengan sebutan Mas Dar. Tanpa diminta, saya menyebutnya Bapak, atau Pak Dar.
Segalanya, termasuk istri Pak Dar, mendadak ikut berubah. Memang, tak semua perubahan berlangsung secara wajar. Ada juga yang alot, lantaran kebiasaan lama terlanjur mendarah daging. Istri Pak Dar, misalnya, termasuk sulit mengubah kebiasaan lama yang sudah menjadi bagian dari kepribadiaannya.
“Saya sering merasa malu akibat perilaku lama istri saya, yang tidak cocok lagi dengan frekuensi pergaulan sosial saya,” kata Pak Dar.
Saya dengan khidmat mendengarkan. Sebagai teman SLTA, saya tahu persis Pak Dar punya hobi mengutak-atik radio. Tak mengherankan apabila idiom semacam frekuensi, stereo, FM, AM, volume dan istilah keradioan lain sering dijadikan padanan untuk mengungkapkan sesuatu.
“Sudah berkali-kali saya menyarankan agar kalau bicara, volumenya jangan terlalu keras. Tapi, hasilnya nihil! Bahkan saat dinner bersama pasangan pejabat lain, volume istri saya mengalahkan suara penyanyi yang menghibur kami. Mending kalau suaranya stereo…”
Dugaan saya ternyata benar. Sebetulnya saya ingin mengingatkan bahwa ia juga belum mengubah kebiasaan lamanya, yakni gemar mengutip istilah keradioan. Tapi, apakah tak kurangajar mengingatkan kesalahan atasan?
“Yang paling memalukan adalah kebiasaan lama istri saya, yang memanfaatkan pertemuan-pertemuan untuk berdagang secara cash maupun kredit. Dulu, sebelum saya jadi direktur, hal itu memang sangat membantu perekonomian rumah tangga kami. Jika ada arisan atau pertemuan keluarga karyawan, saya bahkan ikut membawakan contoh barang dagangan. Tapi, sekarang ini situasinya kan jauh berbeda,” lanjut Pak Dar, dengan wajah dan suara muram.
Saya hanya diam, mendengarkan.
Syukurlah, tiada sesuatu yang abadi. Begitu juga yang terjadi pada istri Pak Dar, sebulan setelah ia berkeluh-kesah.
“Istri saya sudah berubah,” kata Pak Dar dengan nada ceria dan wajah berseri cerah.
Saya mengangguk, ikut merasa lega.
Lalu, Pak Dar bercerita bahwa perubahan itu terjadi setelah istrinya ikut kursus di sebuah lembaga pendidikan kepribadian yang dipimpin artis sekaligus pengusaha ternama. Di lembaga itu, lanjut Pak Dar, istrinya diberi pelajaran bagaimana caranya berjalan, berbicara, berbusana, berdandan, termasuk cara memegang sendok garpu dan lain sebagainya agar terkesan berwibawa, santun dan anggun.
“Seperti disulap, dalam tempo sebulan istri saya sudah mampu melompat dari gelombang AM yang mono ke frekuensi FM yang stereo,” kata Pak Dar mengutip istilah keradioan—suatu hobi yang melekat sejak SLTA.
Kenyataannya memang begitu. Istri Pak Dar memang berubah. Kini, ia tak lagi canggung tampil di depan umum. Busana dan dandanannya sungguh serasi, banyak senyum lagi pandai berpidato.
Menyaksikan penampilan istri Pak Dar di berbagai kesempatan, saya jadi iri. Bahkan saya sering bermimpi dan berandai-andai. Seumpama saya tiba-tiba beruntung diangkat jadi salah satu direktur, kehidupan saya tentu akan berubah seperti Pak Dar. Jika itu terjadi, istri saya tentu juga akan saya suruh kursus kepribadian seperti istrinya Pak Dar. Alangkah eloknya...
Tapi, saya merasa heran tatkala Pak Dar datang dengan wajah lesu dan berkeluh-kesah lagi.
“Kebahagiaan rumah tangga saya terancam bahaya,” katanya.
Selanjutnya, Pak Dar menceritakan bahwa perubahan perilaku serta kepribadian istrinya agar sesuai dengan gaya hidup kaum elite, membuat rumah tangganya tak lagi harmonis. Kini, istrinya sering menghadiri kegiatan sosial, dinner party, pembukaan pameran lukisan dan lain sebagainya dan seterusnya.
“Busana, dandanan, penampilan, senyuman, ucapan yang ramah tamah…, semua yang ia miliki..., kini lebih diperuntukkan bagi publik. Dengan kata lain, perubahan yang terjadi pada kepribadian istri saya itu membuatnya seakan-akan bukan lagi istri saya pribadi,” kata Pak Dar, terdengar risau dan sedih.
Saya hanya diam mendengarkan, sebab tahu hak dan kewajiban untuk tidak berkomentar. Padahal, saya tidak begitu paham makna ucapannya—terutama yang menyangkut hubungan antara kepribadian istri dan istri pribadi.
“Ibarat punya kendaraan umum, sekarang ini saya hanya memegang BPKB-nya saja, sementara mobilnya mondar-mandir melayani penumpang,” lanjut Pak Dar menjelaskan, karena paham melihat saya tak begitu maklum dengan kata-katanya.
Terus terang saja, saya merasa aneh mendengar istilah permobilan yang diucapkan Pak Dar sebagai pengganti idiom keradioan. Diam-diam saya menduga, perubahan istilah itu tentu berhubungan dengan mobil dinas baru Pak Dar, plus beberapa mobil pribadi yang dibelinya sejak menjabat direktur.
“Memang benar. Sekarang saya memang punya hobi baru,” kata Pak Dar bagaikan mampu meneropong apa yang ada di benak saya.
“Ngebrik ya?” tebak saya, mengingat ngebrik itu masih ada hubungannya dengan keradioan.
“Ngebrik? Bukanlah. Hobi baru saya sekarang adalah beli mobil. Makanya sore nanti saya akan beli mobil lagi,” katanya sambil senyum.
“Beli mobil lagi? Bukankah mobil Bapak sudah banyak?” tanya saya bernada kagum.
“Iya. Saya, istri, dan ketiga anak saya masing-masing memang sudah punya mobil sendiri<" kata Pak Dar.
"Lha kok masih beli mobil lagi?" tanya saya semakin kagum, dan terus terang agak iri.
"Iyalah. Kan Wina belum punya mobil,” jawab Pak Dar kalem.
“Wina?”
“Iya. Wina. Wina istri pribadi saya," kata Pak Dar berbisik.
"Oo...."
"Wina itu ibarat mobil pribadi. Bukan mobil dinas, apalagi kendaraan umum,” kata Pak Dar dalam senyum.
"Oo..."
"Sekarang ini Wina memang belum punya mobil. Tapi nanti sore Wina sudah punya mobil baru," kata Pak Dar semakin senyam-senyum.
"Tapi kalau Wina ibarat mobil pribadi..., berarti mobil naik mobil, dong?" entah kenapa saya bertanya begitu.
"Ho'oh..., ho'oh..., yes..., nanti malem saya juga naik mobil dunk...," jawab Pak Dar mirip anak kecil.
Melihat tingkahnya yang kekanak-kanakan itu, saya pikir Pak Dar lebih cocok naik odong-odong. ***
* Cerpen ini pernah dimuat di tabloid Bintang Indonesia dan buku Suami Istri Sadarlah. Rencana akan diterbitkan ulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H