Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

(1) Pilgub DKI dan Komentar Ganjil Tokoh Nasional

12 September 2012   16:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:33 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PILGUB DKI dipercaya merepresentasikan peta kekuatan partai politik (parpol) memenangi Pilpres 2014. Kalau Foke-Nara menang, tahun 2014 Demokrat masih berjaya. Kalau Jokowi-Ahok menang, PDIP tahun 2014 kembali berjaya. Partai yang lain, apa boleh buat, hanya embel-embel penggembira—terkecuali mungkin Gerindra yang sejak awal konsisten berkoalisi dengan PDIP. Setidaknya itulah yang saya simpulkan dari sekian kali ‘diskusi informal’ dengan aktivis, pengurus parpol dan sejumlah teman yang secara kebetulan bertemu di suatu tempat.

Kesimpulan yang sama juga saya peroleh dari membaca berita maupun komentar para tokoh nasional, kandidat Cagub-Cawagub berikut timsesnya, juga petinggi parpol yang terkesan memberi perhatian khusus pada Pilgub DKI 2012. Bahkan sebagai bonus, sejumlah media on-line dan sosial media melengkapinya dengan pendapat ganjil para tokoh yang terlibat maupun melibatkan diri dengan Pilgub DKI 2012. Di bawah ini beberapa pendapat ganjil yang saya petik sebagai misal.

Tapi, sebelumnya saya ingin mengutip Rendra, yang mengatakan, “Memandang matahari dari satu sisi, memandang manusia dari segala penjuru.” Dengan demikian, perbedaan sudut pandang dapat diterima karena diperlukan untuk saling melengkapi.

Kita awali dengan, “Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Pencalonan KPU DKI Jakarta, Jamaluddin F. Hasyim, mengakui masalah pemilih golput merupakan persoalan yang kompleks….(dst)….secara langsung masa depan Jakarta ada di tangan pemilih, dan derajat legitimasi pasangan calon itu akan sangat tergantung kepada tingkat golput.

"Memang sulit sih kalau kita datang ke restoran tapi menu yang ditawarkan tidak sesuai. Tapi ya sudah pilih saja yang ada, daripada tidak makan," katanya.
(vivanews.com 10/9).

Penghargaan yang tulus terhadap golput, tapi menjadi ganjil ketika ditabrakkan dengan analogi restoran. Setidaknya malah menimbulkan pertanyaan: apakah pengidap berat kolesterol harus menyantap sate kambing jika hanya itu menu yang disuguhkan restoran? Itu belum menyangkut makanan yang halal dan haram. Meskipun kompleks, alasan yang sering saya dengar dari mereka yang memilih untuk tidak memilih sederhana saja. Di era Orde Baru, pemerintah menghapus hak politik sejumlah besar rakyat Indonesia dengan alasan ‘tidak bersih lingkungan’, mendukung ‘Petisi 50’ dan sebab lainnya.Karena ‘golput Orde Baru’ selain tidak berdaya juga dianggap tidak ada, maka wajar jika Pak Harto mendapat legitimasi 100% untuk menjabat Presiden RI selama 32 tahun. Di era reformasi, di luar mereka yang terpaksa golput karena alasan administrasi, ‘sisibaik’ golput antara lain meminimalkan terjadinya derajat legitimasi absolut yang hanya akan melahirkan pemimpin tiran dan korup.

Berikutnya, Amien Rais mengomentari penghargaan Best City Award yang diterima Jokowi dalam Konferensi Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia di Bangkok, awal Agustus silam. Mantan Ketua Umum PAN yang gagal meraih kursi presiden itu bilang, Saya bangga bila ada orang Solo bisa memimpin Jakarta. Tapi selama memimpin Solo, justru angka kemiskinan di kota Solo semakin meningkat. Bagaimana memimpin Jakarta yang angkanya lima hingga enam kali lebih tinggi dibandingkan Solo? Jadi, predikat salah satu Wali Kota terbaik di dunia terlalu berlebihan dan menyesatkan."….(dst)…. dibandingkan kota-kota lainnya di Benua Amerika, Eropa, Asia, Kota Solo masih banyak daerah kumuh. Selain itu tingkat kedisplinan, ketertiban, dan kepatuhan berlalu lintas sangat rendah.
 
"Saya sudah berkeliling ke negara-negara Amerika, Eropa, Asia dan Timur Tengah, di sana jauh lebih indah, lebih tertib dan lebih disiplin serta tidak ada daerah kumuhnya. Sedangkan Solo, banyak daerah kumuhnya. Gilingan, Nusukan, Ngemplak, itu daerah kumuh dan gagal dientaskan Jokowi," paparnya. (jogja.okezone.com, 21/8)

Tiga pekan kemudian, 10 September 2012, Ketua DPR RI Marzuki Alie yang gagal meraih kursi Ketua Umum Partai Demokrat, menilai, Ada enam kegagalan Joko Widodo yang akrab disapai Jokowi dalam memimpin Kota Solo yang berpenduduk 559.000 jiwa.

Pertama, kata Marzuki, Jokowi dinilai gagal mengatasi masalah banjir karena setiap tahun kota Solo dilanda banjir.

"Kota Solo setiap tahun mengalami banjir, bahkan rumah walikota sendiri ikut terkena kebanjiran," kata Marzuki kepada ANTARA News.

Kedua, kata Ketua DPR RI itu, Joko belum bisa mengatasi kepadatan dan kemacetan yang disebutnya terjadi di kota Solo. "Kota Solo menjadi kota macet, ternyata Jokowi tak punya konsep transportasi. Jadi bagaimana mau menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta?" kata Marzuki.

Ketiga, Marzuki menuduh Joko terlilit kasus dugaan manipulasi perjalanan dinas pemerintah kota Solo.

Keempat, pembangunan Gapura Makutha di Kota Solo tak kunjung selesai dan terbengkalai selama 1,5 tahun. "Pembangunan gapura belum selesai. Sangat susah membayangkan bagaimana mau bangun underpass, flyover atau bahkan MRT atau subway."…dst…(bisnis.com, 10/9)

Jauh hari sebelumnya, 23 Febuari 2012, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang pernah gagal meraih kursi presiden, “Mengkritik Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, sebagai kepala daerah yang gagal membangun Jakarta menjadi lebih baik seperti yang diharapkan warga Jakarta sewaktu ia terpilih. Kegagalan itu salah satunya adalah masalah kemacetan di Jakarta yang tak kunjung diminimalisir hingga saat ini. Oleh karena itu, saran Kalla, Fauzi yang akrab dipanggil Foke itu tak usah mencalonkan diri lagi menjadi Gubernur Jakarta. "Dulu pilih Pak Foke karena harapan kita bisa mengatasi masalah di Jakarta, ternyata tidak bisa. Masa masih mau coba-coba lagi. Ibukota jangan dijadikan coba-coba.. Kalau sudah gagal sudahlah jangan dibikin menderita," ujar Kalla. (Kompas.com, Kamis (23/2/2012).

Walau PKS mendukung Foke, politikus PKSdan mantan anggota DPR RI Misbakhun. “Akan terus menyuarakan agar kader PKS memilih Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, daripada Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli….dst…"Jokowi sudah membuktikan bagaimana Solo dan dia dihargai banyak orang. Lebih merakyat, programnya lebih masuk akal. Kalau Foke, Jakarta semakin semrawut dan daya saing Jakarta sebagia kota besar makin menurun," tambahnya. (tribunnews.com 30/7).Sekalipun MA telah mengabulkan PK-nya, Misbhakun tak otomatis jadi anggota DPR RI lagi. Sebab, dulu Misbakhun mengundurkan diri sebagai anggota DPR RI, bukan diberhentikan oleh Badan Kehormatan DPR RI.

"Yang kami pahami, Misbakhun mengundurkan diri. Dari awal tidak ada pemberhentian," kata Ketua Fraksi PKS DPR RI, Mustafa Kamal (rmol.co, Sabtu, 28/7).

BARANGSIAPA gagal meraih kursi kekuasaan yang diinginkan, tampaknya memang lebih cermat menemukan kegagalan orang lain—termasuk kegagalan Jokowi dan Fauzi Bowo. Barangkali karena pengalaman adalah guru terbaik pengetahuan. Tapi, menafikan keberhasilan Jokowi memimpin Solo maupun keberhasilan Fauzi Bowo memimpin Jakarta, tentu tidak bisa disebut sebagai pengetahuan dari guru terbaik bernama pengalaman. Tentu ada fakta yang disembunyikan di balik maksud tersembunyi mengumbar kegagalan si A si B.

Lagipula apa pentingnya tokoh-tokoh nasional sekelas Amin Rais, Marzuki Alie, dan JK repot-repot menilai masalah-masalah “teknis dan lokal” yang dikerjakan dan memang menjadi pekerjaan gubernur dan walikota? Bukankah disebut tokoh nasional antara lain karena (diharapkan) mampu memikirkan (syukur mewujudkan) hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh gubernur atau walikota?

Sebagai tokoh nasional, memikirkan negara agraris seperti Indonesia yang setiap tahun “kehilangan” 3,1 juta petani mestinya jauh lebih penting dari sekadar nggedabus ngomongin kemacetan di Solo dan Jakarta. Apalagi bukan hilang karena berhasil jadi dokter atau alih profesi yang lebih sejahtera, melainkan akibat secuil sawahnya terpaksaterjual padahal pekerjaan sebagai buruh tani juga tiada. Cobalah sempatkan,“Membaca data BPS yang menyebutkan bahwa sekitar 60% atau 120 juta penduduk Indonesia tinggal di pedesaan dan 70% di antaranya hidup dari pertanian. Setengah dari jumlah itu adalah petani gurem atau petani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, bahkan sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan. (suaramerdeka.com, 12/9/2012).

Meski tidak menggunakan istilah miskin, dari data tersebut bisa terbaca bahwa sedikitnya ada 60 juta petani gurem yang hidupnya miskin. Tentu hal yang wajar jika berharap tokoh nasional memikirkan solusi atau setidaknya menjawab pertanyaan mengapa ada begitu banyak petani yang hidup miskin?

Wabil khusus untuk Marzuki Alie, pertanyaan tersebut di atas tidak perlu diajukan. Sebab, Soal kemiskinan, Ketua DPR RI dan Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat Marzuki Alie lebih menilai kondisi seperti itu terjadi karena orang miskinnya sendiri. “Jadi bukan salah siapapun kalau ada orang miskin. Itu salahnya sendiri, karena dia malas. Kalau mau usaha pasti tidak miskin,” ucapnya menjawab pertanyaan saat menjadi narasumber seminar yang digelar Kongres BEM PTNU se-Indonesia di Unipdu Rejoso, Jombang. (suryaonline.com, Minggu (8/7/2012).

Sekalipun sangat lapar, kalau menunya seperti itu apakah tidak boleh memilih puasa?

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun