Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Foke Mestinya (Masih) Bisa Menang (2)

22 Agustus 2012   13:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:27 625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagian 2

Sebagai laporan jurnaslitik (tahun 2010), NatGeo Megacities-Jakarta cukup obyektif dalam menyampaikan blue-print perencanaan program Jakarta di masa depan. Bukan sekadar menyampaikan secara menarik, melainkan juga dapat menggambarkan secara konkret keadaan Jakarta di masa depan. Data teknis, angka-angka statistik dan tahapan rencana pembangunan yang rumit, divisualkan dengan grafis 3D sehingga penonton mendapatkan gambaran konkret seperti apa kelak Jakarta di masa depan.

Dalam konteks mendapatkan informasi tentang “wujud” Jakarta di masa depan itulah warga Jakarta perlu menonton NatGeo Megacities-Jakarta. Sebab, hanya dengan mengetahui program pembangunan yang sedang dikerjakan dan yang akan dilaksanakan pemerintah, maka warga Jakarta dapat “mengontrol” kinerja Gubernur Jakarta—siapapun yang nanti memenangi Pilgub DKI 20 September mendatang.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa pergantian kepala daerah seringkali juga berarti pergantian seluruh program kepala daerah sebelumnya. Pada kasus DKI Jakarta, Fauzi Bowo yang menggantikan Sutiyoso entah kenapa tidak melanjutkan program monorel yang diwariskan Bang Yos. Akibatnya, tiang-tiang beton yang sudah terlanjur dibangun dibiarkan melapuk dan kerap diolok-olok sebagai paku bumi penangkal petir. Kalausaja warga Jakarta mengetahui informasi yang cukup tentang program pembangunan monorel yang digagas Bang Yos, tentu dapat dijadikan “landasan” untuk mempertanyakan kelanjutannya kepada Fauzi Bowo.

Berbagai alasan membuat kepala daerah terpilih enggan melanjutkan kebijakan kepala daerah yang digantikannya.Selain menciptakan proyek-proyek baru untuk membalas budi donatur pendukungnya, kepala daerah baru lazimnya tidak ingin disebut sekadar menjadi bayang-bayangpemimpin sebelumnya. Padahal, program yang dirancang kepala daerah yang baru belum tentu sebaik program kepala daerah sebelumnya.

Gubernur Jakarta, mestinya belajar kepada Ali Sadikin, Gubernur Jakarta yang legendaris dan benar-benar Gubernur sebuah Ibu Kota. Tahun 1966, Bang Ali ditunjuk Bung Karno menjadi Gubernur Jakarta. Tiga tahun kemudian, 1969, Bang Ali mencanangkan program perbaikan kampung yang diberi nama Program Muhammad Husni Thamrin (MHT) yang berlangsung dengan sukses sampai 1999. Paradigma terhadap kampung yang semula dianggap bermasalah, akhirnya memiliki jalan keluar, sebuah pendekatan yang melibatkan komunitas, sehingga model pembangunan ini dikenal sebagai pembangunan partisipatif.

Program MHT meraih sejumlah penghargaan dunia, antara lain dari Yayasan Aga Khan. Pada Pelita III, model pendekatan ini diangkat pemerintah pusat sebagai kebijakan nasional dalam menangani perumahan dan permukiman perkotaan. Meskipun demikian, itu tidak membuat Bang Ali menepuk dada dan menyebut Program MHT sebagai gagasannya. Alih-alih mendaku sebagai idenya, Bang Ali malah berterus terang bahwa Program MHT tersebut didasarkan pada program pemerintah Belanda yang dinamakan kampoengverbetering yang dilaksanakan di Batavia sejak tahun 1934. (Selengkapnya bisa dibaca di etikemik.wordpress.com)

Memang agak aneh kenapa Fauzi Bowo yang a cucu Muhammad Husni Thamrin tidak mengekspose Program MHT di masa kepemimpinannya. Hal itu akan kita perbincangkan di bagian yang lain.

Kembali pada NatGeo Megacities-Jakarta, menurut hemat saya juga perlu ditonton oleh para pembuat TV-program sejenis—terutama oleh penulis naskah. Narasi NatGeo Megacities-Jakarta sejak awal hingga akhir tidak sekadar menjelaskan suatu gambar. Dengan pemilihan kata yang “bertenaga” dan ekonomi kata yang ringkas jelas, dengan penggunaan metafora yang tidak terjebak di lingkaran kalimat berbunga-bunga, narasi NatGeo Megacities-Jakarta berhasil menciptakan imajinasi tersendiri yang terkadang lebih kuat dibanding realitas yang divisualkan.

Kita simak narasi pembukanya:

“Located in the South Pacific on the island of Java, there is a big city Jakarta. This capital city of Indonesia and the area's third largest city in the world. Jakarta and the surrounding area is home to 24 million people. The annual floods, the daily traffic jams, and the sea of ​​people, Jakarta has big plans. Massive infrastructure program under way to carve a path into the future and update the city. Jakarta is a city renewal.”

Pada edisi Indonesia disertai teks sbb:

Terletak di Pasifik Selatan di Pulau Jawa terdapat kota besar Jakata. Ini ibukota Indonesia dan area kota terbesar ketiga di dunia. Jakarta dan area sekitarnya adalah rumah bagi 24 juta orang. Menghadapi banjir tahunan, kemacetan harian, dan lautan manusia, Jakarta memiliki rencana besar. Program infrastruktur raksasa tengah berlangsung untuk mengukir jalan ke masa depan dan memperbarui kota. Jakarta adalah kota pembaruan.”

Kalau pun NatGeo Megacities-Jakarta dijadikan sebagai alat kampanye oleh Timses atau Tim Media Foke, saya pikir masih lebih bermanfaat daripada menebar isyu SARA dan sejenisnya. Tapi, berharap NatGeo Megacities-Jakarta bisa ditonton sebagian besar warga Jakarta adalah omong kosong selama Humas PemprovDKI, Timses dan Tim Media Foke tetap berkutat pada pola pikir juragan.

Pola pikir juragan, kita tahu, cenderung mengandalkan uang, bukan kreativitas. Kaum juragan lazimnya juga hanya mahir berkomunikasi dengan saudagar dan kelompok elitis, dan gagap ketika menghadapi rakyat jelata.

Juragan yang kaya raya memang bisa memastikan sebuah iklan mahal bisa dibikin, bisa memastikan iklan tersebut ditayangkan sekian kali di tv nasional. Tapi, memastikan sebuah iklan bisa dibikin dan bisa tayang di tv sungguh berbeda dengan memastikan iklan tersebut pasti ditonton banyak orang. Memastikan suatu iklan bisa dibikin dan bisa ditayang tv hanya membutuhkan uang, sedangkan memastikan iklan tersebut ditonton banyak orang membutuhkan kreativitas.

Mengorganisir kelompok-kelompok tingkat RT untuik nonton bareng NatGeo Megacities-Jakarta adalah kreativitas. Mengemas NatGeo Megacities-Jakarta menjadi pertunjukan layar tancap di kampung-kampung adalah kreativitas. Membawa NatGeo Megacities-Jakarta di forum-forum diskusi yang melibatkan kandidat pesaing, ilmuwan, tokoh masyarakat, adalah “kreativitas tingkat tinggi” (hehehe…) dan merupakan kegiatan kampanye yang lebih bermanfaat bagi khalayak ramai daripada menyaksikan Timses dan Tim Media Foke yang bergairah menggelar konferensi pers sekadarmenangkis tagline Jakarta Berkumis atau menyampaikan tetek-bengek informasi dalam “bahasa humas” yang lebay dan klise.

Pada bagian lain, kita akan coba perbincangkan Program MHT, juga tentang kenapa Foke dianggap keras kepala dan arogan—padahal menurut saya nggak gitu-gitu amat. (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun