Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kapan Presiden Jokowi Nyatakan Indonesia Darurat Korupsi?

18 Januari 2015   21:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:52 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seusai ikut kerja bakti RT, sepanjang pagi saya menyimak koran dan media on-line, membaca berita seputar pelaksanaan eksekusi enam terpidana mati narkoba.Sejak semalam sampai siang ini, sedetik pun saya tidak nonton televisi. Entah kenapa saya merasa ngeri. Barangkali karena, konon, semalam ada satu stasiun televisi yang secara ekslusif menyiarkan langsung pelaksanaan eksekusi. Untuk memenuhi rasa ingin tahu tentang peristiwa itu, saya memilih membacanya di koran dan media on-line.

Proses eksekusi dinyatakan berjalan lancar. Lima terpidana dieksekusi di Nusa Kambangan, satu di Boyolali. Di Nusakambangan dieksekusi pada pukul 00.30 WIB, dan dinyatakan meninggal pada pukul 00.40 WIB. Sedangkan di Boyolali dilaksanakan pada pukul 00.46 WIB, di tengah hujan deras, dan dipastikan meninggal 10 menit setelah eksekusi. Demikianlah pernyataan Jaksa Agung Prasetyo kepada Metrotvnews.com

(Apakah itu berarti dalam rentang waktu 10 menit sejak dieksekusi sampai dinyatakan meninggal, para terpidana mati tersebut masih hidup dan sedang meregang nyawa? Mungkin pertanyaan naïf dan tidak berguna. Sebab, apa pun jawabannya toh tidak akan mengubah yang sudah terjadi.)

Selain pelaksanaan eksekusi, saya juga menyisir berita seputar Rani Andriani, perempuan asli Cianjur, salah satu terpidana mati yang dieksekusi. Kenapa hanya Rani? Mungkin karena kedekatan emosional dan dorongan empati sebagai sesama orang Indonesia. Lagipula bukankah kelima WNA terpidana mati lainnya sudah disupport pemerintahnya masing-masing? Bahkan tak kurang dari Wakil Presiden Uni Eropa, Federica Mogherini, memprotes pengumuman eksekusi enam terpidana mati—terutama karena salah satunya, Ang Kiem Soei , adalah warganegara Belanda.

Rakyat Kecil Biasa

Dalam kenangan warga desa kelahirannya, Rani yang oleh aparat dan media disebut “gembong narkoba’ itu adalah perempuan desa yang lahir dari keluarga baik-baik, yang tak seorangpun menyangka hidupnya akan berakhir tragis seperti itu. Tak heran jika pada Sabtu malam menjelang eksekusi, para tetangga Rani di RT 3/3 Gang Edi II, Kampung Cikidang, Kelurahan Sayang, Kecamatan Cianjur, menggelar doa bersama sebagai bentuk belasungkawa atas eksekusi mati yang akan dijalaninya.

Para tetangga dan jamaah pengajian terlihat khusuk dan tulus saat memanjatkan doa. Suasana semakin haru,ketika sejumlah anggota jemaah pengajian meneteskan air mata kala membacakan doa. "Kami semua di sini hanya bisa mendoakan, semoga amal dan ibadah saudari Rani diterima Allah. Biar bagaimanapun, Rani adalah warga kami. Dia tinggal dan besar di sini. Ini cara kami berbelasungkawa kepada Rani dan keluarganya," kata Jujun Junaedi, Ketua RT 3 setempat, Sabtu malam, 17/01/2015. (Kompas.com)

Pada hari Sabtu itu pula warga secara suka rela bergotong royong mendirikan tenda dan menggali makam Rani di Desa Ciranjang—di sisi makam Ibundanya. Selain itu, sebagian besar warga desa juga sudah menyatakan akan menghadiri pemakaman Rani.

Di mata saya, Rani hanyalah rakyat kecil biasa. Rakyat kecil yang seringkali terpaksa atau tergoda melakukan apa saja lantaran terlalu lama digencet kemiskinan. Oleh karena itu, kendatipun disebut sebagai "gembong narkoba", jenasah Rani diterima dengan duka dan doa--tidak ditolak seperti jenasah teroris, misalnya.  Ketulusan warga Kampung Cikidang mendoakan Rani, kesuka-relaan bergotong royong memberikan yang terbaik kepada Rani, di mata saya terbaca sebagai empati dan solidaritas sesama rakyat kecil yang dipersatukan oleh nasib serta penderitaan yang sama.

Darurat Korupsi

Eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba, tidak terlepas dari pernyataan tegas Presiden Jokowi bahwa pihaknya tidak akan memberikan pengampunan kepada satu pun terpidana mati yang terjerat kasus narkoba jika mengajukan grasi. Alasannya, Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat narkoba (Kompas, 16 Januari 2015).

Maklum, saat ini sekitar lima juta warga Indonesia terjerat narkoba. Setiap hari sekitar 50 nyawa melayang akibat penyalahgunaan narkoba. Danjumlah tersebut diprediksi akan terus meningkat. Eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba, dengan demikian, merupakan tumpuan harapan untuk menghentikan atau setidaknya menghambat laju peredaran narkoba di Indonesia.

Tapi, di sisi lain, ratusan wakilrakyat, puluhan bupati/walikota, sejumlah menteri, gubernur, ketua partai, pejabat, pengusaha, aparat hukum bahkan jenderal polisi, meringkuk di penjara lantaran tertangkap tangan dan atau terbukti korupsi. Jumlah para koruptor pun dipercaya masih akan terus bertambah. Dan korupsi yang menggurita tersebut membuat puluhan juta rakyat Indonesia terpaksa hidup dalam kemiskinan.

Realitas tersebut kiranya cukup memadai untuk membuat saya bertanya: kapan Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia dalam kondisi darurat korupsi?

Saya tidak berharap pertanyaan tersebut dalam waktu dekat akan terjawab. Maklum, langkah tegas mengeksekusi terpidana mati narkoba untuk menegakkan hukum berdasar dalih darurat narkoba, hanya berhadapan dengan bajingan kriminal biasa—bahkan sekadar rakyat kecil seperti Rani yang terbilang baru belajar jadi penjahat. Sedangkan penegakan hukum berdasar alasan darurat korupsi tentu akan berhadapan dengan ‘mbahnya’ bajingan yang memiliki intelektualitas, uang milyaran, beking politik, barisan pengacara dan lain sebagainya.

Maka tidak mengherankan jika Presiden Jokowibisa “kecolongan” memilih Calon Kapolri yang mendadak jadi tersangka KPK. Bahkan dengan Keppres 29-12-2015 menetapkan Hasban Ritonga menjadi Sekretaris DaerahSumatera Utara. Berdasar Keppres tersebut Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho pada 14-1-2015 melantik Hasban jadi Sekda. Padahal, jauh hari sebelum Keppres terbit, Kejaksaan Tinggi Sumut sudah menetapkan Hasban Ritonga sebagai terdakwa dalam kasus sengketa lahan di Medan.

Tapi, kalaupun kelak Presiden Jokowi menyatakan Indonesia dalam kondisi darurat korupsi, saya tidak akan pernah setuju jika para koruptor dieksekusi mati. Itu bukan karena rasa kemanusiaan atau belas kasih berlebihan, melainkan lantaran saya sependapat dengan Albert Camus bahwa, “Hukum yang haus darah hanya akan melahirkan kebiasaan yang haus darah pula.” ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun