Mohon tunggu...
Angiola Harry
Angiola Harry Mohon Tunggu... Freelancer - Common Profile

Seorang jurnalis biasa

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Koperasi Nelayan Berbasis Arisan, Solusi Keterbatasan Akses Perbankan di Maluku

22 Agustus 2017   09:38 Diperbarui: 22 Agustus 2017   21:32 3150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini mungkin dijalani beberapa nelayan di Indonesia. Sebut saja namanya Abdullah atau barangkali Abbas, agar lebih mewakili. Yang pasti dia menyelesaikan jenjang D3 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (IPB) Institut Pertanian Bogor, pada 2001 lalu. Kemudian dia melanjutkan S1 di Universitas Pattimura, Ambon. Sambil menatap gadget, dia mengomentari artikel ini.

Dia mengkritisi makna tulisan yang seolah men-judge malangnya kehidupan para nelayan di Maluku. Padahal menurutnya tidak juga. Memang, tidak terjangkaunya akses ke perbankan oleh para nelayan, betul terjadi. Namun hal itu, lagi-lagi menurutnya, bukan hal yang menghambat kehidupan bernelayan. Ini sekaligus akan menjelaskan mengapa dia agak menutupi identitas namanya.

Ayahnya adalah warga Pulau Seram, yang menjadi nelayan tradisional di Ambon. Dia belum pernah menjangkau akses keuangan ke perbankan, baik untuk pengembangan kebutuhan hidupnya atau keperluan profesinya. Begitu pun kakak ayahnya alias pamannya Abbas, yang menjadi ketua koperasi pemberdayaan nelayan di sana. Seperti ada kesepahaman tak tertulis di antara para nelayan, bahwa mereka keberatan dengan bunga perbankan yang dianggap riba. Meski tidak semua nelayan di sana memiliki paham seperti ini.

Namun bagi yang memiliki paham tersebut, inilah sebab mengapa para nelayan enggan hirau dengan keterbatasan akses ke perbankan. Kehidupan nelayan di sana memang sudah seperti itu selama puluhan tahun dan mereka pun tidak sepakat bila dibilang kehidupannya terpuruk. Karena Abbas dan saudaranya serta teman-teman di daerah asalnya banyak juga yang bisa menempuh pendidikan tinggi dengan biaya dari orang tua mereka yang berprofesi sebagai nelayan tradisional.

Lalu bagaimana cara nelayan di sana mengatasi kebutuhan profesinya yang telah dijalani bertahun-tahun dengan upaya menghindar dari sistem bunga? Menurut penuturan Abbas, para nelayan memanfaatkan skema arisan yang diterapkan di koperasi nelayan. Skema arisan pada intinya adalah pemenuhan likuiditas keuangan secara bergulir dari para anggotanya, seperti arisan antar RT, tetangga, atau komunitas masyarakat.

Ada ketentuan bagi anggota baru koperasi, bahwa mereka baru bisa memanfaatkan fasilitas pinjaman koperasi setelah tiga bulan menjadi anggota. Kemudian ketika gilirannya mendapat uang yang diputar tersebut, ada kewajiban setor sebesar 5% ke koperasi sebagai simpanan sisa hasil usaha (SHU) yang bisa diambil ketika dia mengundurkan diri dari anggota koperasi.

Lalu dari, misalnya, 20 orang anggota koperasi nelayan, setiap orang diharuskan menyerahkan simpanan wajib koperasi sebesar Rp 50 ribu dan simpanan tidak wajib yang jumlahnya tidak ditentukan besarnya. Simpanan wajib dan tak wajib inilah yang akan digulirkan.

Jumlah maksimal pinjaman koperasi pun sejumlah total uang simpanan wajib yang disetor para anggota dalam sebulan. Misalnya jumlah anggotanya 20 orang, maka maksimal uang yang bisa dipinjam adalah Rp 1 juta, dengan pengembalian enam kali cicilan tanpa bunga. Selama masih dalam kewajiban mencicil, maka si nelayan tidak bisa meminjam di koperasi yang bersangkutan. Karenanya, banyak nelayan yang menjadi anggota koperasi di tempat lain.

Koperasi nelayan juga difungsikan seperti toko yang bisa beli dengan cara utang. Karena salah satu kesepakatannya ialah koperasi tersebut melayani kebutuhan peningkatan profesi nelayan. Tidak ada negosiasi harga jual di koperasi lantaran barang bisa dicicil hingga tiga tahun. Misalnya ketika dulu ayahnya membutuhkan mesin tempel baru untuk kapal ikannya, mengganti yang telah rusak. Si ayah pun membeli mesin baru seharga Rp 3 juta dengan kesepakatan pelunasan dua tahun, tanpa bunga.

Tak dipungkiri, memang perputaran investasi nelayan dengan cara seperti itu tidak bisa membesarkan skala bisnis perikanan di sana. Kondisi perekonomian nelayan pun bisa dibilang stagnan. Namun setidaknya kehidupan tetap berjalan dan permasalahan masih dapat diatasi.

Hingga saat ini, koperasi nelayan di sana berjalan dengan cara seperti itu dan Abbas adalah 'produk' dari profesi ayahnya. Meski bekerja di Jakarta, dia tetap memiliki semacam kewajiban untuk tetap menghidupkan kehidupan nelayan di daerah asalnya. Abbas tetap menyisihkan penghasilannya, menjadi 'investor' koperasi di daerahnya di Ambon dengan harapan kehidupan nelayan tetap berjalan dengan normal. "Aku rasa banyak putra daerah yang melakukan hal yang sama dengan saya," tutupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun