Setelah selama sekitar empat tahun menerapkan fixed rate tender (FRT) pada metode lelangnya, Bank Indonesia menerapkan variable rate tender (VRT) di sistem lelang instrumen operasi pasar terbuka. VRT atau istilah awamnya, peserta lelanglah yang mengajukan tingkat diskonto, mulai diterapkan BI per Senin, 6 Februari 2017.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia Doddy Zulverdi di hadapan para wartawan menerangkan, penerapan VRT ini untuk memperkuat efektivitas operasi moneter yang dibuat Bank Indonesia. Pada penerapan FRT yang lalu, Bank Indonesia sendiri yang menentukan tingkat diskonto atau potongan suku bunga yang harus dibayar peserta lelang.
Namun Bank Indonesia menekankan bahwa penerapan VRT bukan merupakan langkah kebijakan untuk menentukan suku bunga. Melalui VRT ini, Bank Indonesia hanya mengumumkan berapa banyak volume yang diserap, sesuai kondisi likuiditas bank-bank.
Dengan begitu, Bank Indonesia tidak dapat melihat mana saja peserta lelang yang sedang mengalami kekurangan atau kelebihan likuiditas (uang kontan). Karena pada musim-musim tertentu, ada bank-bank yang membutuhkan likuiditas tinggi, sehingga mereka ketat dalam menerapkan kebijakan likuidasinya.
Seperti pada saat jatuh tempo pembayaran pajak, pada saat hari besar keagamaan, dan sebagainya. "Artinya, apakah perbankan yang ikut dalam lelang surat berharga negara itu sedang kurang likuiditas atau sedang berlebih, kita tidak tahu. Tapi dengan VRT, kita bisa lihat kondisi likuiditas bank-bank tersebut," ungkap Doddy.
Pada hakikatnya, Bank Indonesia ingin menyerap dana di luar sana, dengan tingkat suku bunga yang sesuai pada gambaran likuiditas mereka. Mengapa Bank Indonesia perlu menyerap dana (reverse) yang ada di luar? Hal ini mengacu pada target pertumbuhan ekonomi. Secara sederhana, tentu uang yang ditabung tidak lebih baik dari uang yang diputar untuk berbisnis.
Bank Indonesia menyerap dana yang ada di luar dengan cara melakukan lelang terbuka surat-surat berharga negara seperti SBI, SUN, SBI, dan lainnya. Peserta lelang adalah bank-bank yang kelebihan likuiditas atau perbankan yang memang ingin ikut lelang sesuai kebutuhan mereka. Nantinya, dana yang didapat dari lelang tersebut akan dipinjamkan kembali kepada perbankan yang akan memutar uangnya.
Adapun suku bunga pinjamannya, sesuai acuan BI 7 Day RR. Selanjutnya terjadilah kegiatan pasar uang; bank menyimpan dan bank yang meminjam, yang diharapkan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Lebih lanjut mengenai suku bunga bank sentral yang merupakan acuan kegiatan keuangan, pada Agustus 2016 lalu, Bank Indonesia telah mengganti acuan suku bunga dari BI rate menjadi BI 7 Days Repo Rate (BI 7 Day RR). Hal tersebut lantaran BI Rate kurang mencerminkan kerangka operasi moneter (OM) Bank Indonesia untuk jangka pendek, namun hanya mencerminkan OM untuk jangka panjang. Bank Indonesia pun menilai, hal itu kurang efektif.
Kemudian supaya operasi moneter lebih efektif lagi, pada 19 Agustus 2016 Bank Indonesia mengubah periode (term structure) OM jangka panjang menjadi mekanisme tujuh hari. Nama BI Rate pun berganti menjadi BI 7 Days Repo Rate. Namun untuk kegiatan lelang operasi pasar terbuka, Bank Indonesia tetap menerapkan FRT. "Sebenarnya Bank Indonesia telah lama merencanakan VRT ini. Karena, ini ialah strategi untuk menyerap dana yang berlebih di luar sana, agar masuk ke deposit facility BI," kata Doddy.
Mereka (perbankan) akan mengajukan tingkat suku bunganya. Namun bila sudah melampaui batas suku bunga lelang yang wajar, maka Bank Indonesia akan turun tangan. "Kita punya cara untuk mengatasi itu," ungkap Doddy.
OM BI
Namun bila ingin mengetahui proses yang lebih rumit lagi dalam perputaran uang, maka berikut penjelasannya. Operasi Moneter Suku bunga bank sentral, merupakan acuan kegiatan keuangan. Pada Agustus 2016 lalu, Bank Indonesia telah mengganti acuan suku bunga dari BI rate menjadi BI 7 Day Repo Rate (BI 7 Day RR). Hal tersebut lantaran BI Rate kurang mencerminkan kerangka operasi moneter (OM) Bank Indonesia untuk jangka pendek, namun hanya mencerminkan OM untuk periode (term structure) jangka panjang atau bulanan.
Karena BI Rate hanya kerap dipakai untuk suku bunga pinjaman dan jarang dipakai untuk suku bunga simpanan. Di Bank Indonesia sendiri, ada yang namanya deposit facility (DF) dan ada lending facility (LF). DF adalah suku bunga bank sentral untuk bank-bank yang menyimpan uang di Bank Indonesia. Wajar bila BI Rate kerap digunakan untuk acuan suku bunga pinjaman (LF) ketimbang DF. Karena buat apa menyimpan uang yang hanya berbunga rendah? Lebih baik uangnya dipinjamkan. Ini jadi tak seimbang.
Pada saat penggunaan BI Rate, suku bunga DF dan LF terpaut jauh, yakni 7% untuk LF dan 4% untuk DF. Bank Indonesia pun menilai, hal itu kurang efektif. Kemudian supaya operasi moneter lebih efektif lagi, pada 19 Agustus 2016 Bank Indonesia mengubah term structure OM bulanan menjadi mekanisme tujuh hari. Nama BI Rate pun berganti menjadi BI 7 Day Repo Rate.
Diharapkan dengan jangka 7 hari, akan kegiatan OM akan seimbang. DF dan LF pun menjadi terpaut tidak jauh yakni 4% untuk DF dan 5,5% LF. Berdasarkan BI 7 Day RR suku bunga simpanan di bank sentral atau suku bunga DF adalah 4%. Uang yang ada di DF itu pun ditawarkan ke perbankan untuk kegiatan operasi keuangan mereka, dengan bunga pinjaman sesuai BI 7 Day RR yakni 5,5% per 7 hari. Dengan begitu, perbankan yang mendapatkan pinjaman dari Bank Indonesia dengan bunga 7 hari sesuai acuan BI 7 Day RR itu, akan terpacu untuk mendapatkan keuntungan yang kompetitif.
Tinggallah metode lelang yang belum berubah, yakni masih menggunakan FRT. Untuk mendukung OM yang mekanismenya telah berganti dari BI Rate menjadi BI 7 Day RR maka Bank Indonesia mengubah kebijakan FRT menjadi diskonto variatif, VRT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H