Mohon tunggu...
Harrys Simanungkalit
Harrys Simanungkalit Mohon Tunggu... Freelancer - Hotelier

Manusia Biasa Yang Sering Overthinking

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Perempuan di Tengah Kolam

10 November 2023   08:55 Diperbarui: 10 November 2023   09:20 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biasalah di kampung  ada stigma bahwa anak perempuan itu sebaiknya menyibukkan diri dengan menyulam atau menyiram bunga,  bukan malah nongkrong dengan para laki-laki yang tidak jelas. Tetapi coba seandainya subjeknya adalah laki-laki, mau berbuat apa juga bebas. Tidak bakalan mendapat sebutan 'huting' (kucing), 'bodat' (beruk) atau apalah untuk mendeskripsikan tingkah polah yang dianggap tidak sesuai dengan tatanan sosial masyarakat. Ada diskriminasi gender memang. Ah, ini tidak adil!


Kembali lagi ke flash back di masa lalu, dulu tenggelamnya juga bukan di sungai atau di danau, apalagi di laut. Tetapi di kolam ikan. Tahu sendiri kolam ikan seperti apa wujudnya, paling hanya sedalam cintamu padaku yang tak lebih dari satu meter itu. Hallahhh,  jadi curhat! Bagaimana ceritanya bisa kelelep di kolam yang cuma sedalam cintamu padaku yg tidak lebih dari satu meter itu? Hallahhh,  curhat lagi. 


Dan saya menjadi mengingat kembali bahwa dulu kolam ikan ini sangat jauh dari pemukiman, seperti disengaja terpencil, letaknya jauh di tengah-tengah sawah yang dikelilingi semak belukar yang tinggi. Semacam lokasi dimana jin sering buang dahak. Lokasi dimana jika sesuatu terjadi,  orang-orang mungkin tidak akan tahu.  Yang jika seseorang berteriak minta tolong, teriakannya hanya akan terdengar samar dan segera hilang terbawa angin atau tertimbun suara-suara mahluk hidup penghuni ekosistem air dan serangga. Sampai di sini kecurigaan saya kok mulai make sense ya!?


Dulu yang melaporkan kematiannya adalah para pria yang sering menjadi teman-temannya nongkrong, pria-pria yang putus sekolah, pengangguran dan hal-hal tidak jelas lainnya.  Dan sepertinya laporan versi mereka tersebut diterima begitu saja oleh orang-orang dan pihak keluarga. Tidak ada yang kritis bertanya kronologinya bagaimana, lalu mengusut apakah kronologinya masuk akal atau tidak. Mayoritas warga malah cenderung menghakimi.


"Pantas tenggelam, dia liar sih."

"Begitulah kalau anak perempuan salah pergaulan."  Dan seribu satu kalimat penghakiman lain yang sama tidak menyiratkan simpati. Sudah meninggal, masih juga dihujat. Padahal waktu dia masih hidup, tidak ada yang berani bicara begitu karena pasti langsung dihajar di TKP.

Saya saja baru menyadari kejanggalan kejadian itu sejak dia datang dan curhat lewat mimpi.  Nah lho! Seandainya ini adalah cerita film betulan, pasti adegannya akan sangat tipikal sekali: saya kembali ke kampung, memanggul ransel, memakai kemeja kotak-kotak dan jeans lusuh. Sibuk bertanya-tanya ke warga setempat, konsultasi dengan Polsek, mendatangi kolam ikan yang dulu menjadi TKP sabil memotret-motret lokasi, mencoba menyelidiki kembali kejadian di masa lampau. 

Dan saat sedang makan siang di warung,  saya disamperi sekelompok pemuda yang memakai anting di telinga sebelah kiri, dengan bekas luka yang sudah setengah sembuh di pipi kanan, ada tato gambar celeng di lengan kiri, lalu menghardik, "Hey, manis. Sedang coba-coba cari masalah ya?" sambil menancapkan golok ke atas meja, dan membuat mangkok dan piring dihadapan saya berhamburan.

Lalu saya berdiri, balas menatap garang dan menjawab, "Ya,  saya memang suka cari masalah. Kenapa? Anda gak suka? Atur anakmu!"

* Mengenang Akseyna UI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun