Brak! Pintu didorong dengan keras dari luar menimbulkan suara yang sedikit mengejutkan. Saya melirik pasien di sebelah, dia membuka mata sejenak akibat gangguan suara barusan, lalu kembali lagi tertidur.
"Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?"Â Muncul suster yang lain. Postur tubuhnya lebih besar dan cukup mengintimidasi. Ini pasti Suster Kepala yang dimaksud.
"Begini, Bu. Saya diberi obat pengencer darah, sementara saya..."
"Itu dokter yang meresepkan, Pak!" Suster Kepala langsung memotong kalimat saya. Ekspresi wajahnya tampak tenang dengan intonasi suara yang tegas. Saya langsung terdiam. Terdiam bukan karena takut, tetapi kaget karena dia bahkan tidak membiarkan saya menyelesaikan kalimat saya. Untuk apa tadi dia bertanya kalau tidak ada niat untuk mendengarkan saya?
"Bapak pasien kami di sini. Kami hanya menjalankan prosedur, dan bapak sebagai pasien juga wajib mengikuti prosedur tersebut."
"Tapi ini menyangkut nyawa saya, Suster. Saya hanya ingin memastikan saja, karena tadi pagi dokter tidak ada membahas ini ke saya."
"Saya sudah bilang ini prosedur, Pak. Prosedur ini sudah kami jalankan puluhan tahun. Dokter meresepkan obatnya, kami wajib menyampaikannya ke pasien, dan pasien sebaiknya menurut. Kami tidak mungkin menjalankan prosedur yang asal-asalan."
"Saya tahu. Tetapi saya tidak ada riwayat pengentalan atau pembekuan darah, Suster. Dan saya tidak ada keluhan apa pun tentang itu."
"Tolong kerjasamanya ya, Pak. Yang kami jalankan sudah sesuai prosedur dan obat yang kami berikan sudh sesuai arahan dokter."
Saya pun terdiam kembali. Pasien di sebelah saya terbatuk, menatap saya dengan nanar. Sepertinya dia terbangun akibat perdebatan barusan, dan dia menyalahkan saya karena ngeyel.
"Ada lagi yang bisa kami bantu, Pak?"Â tanya Suster Kepala berbasa-basi dengan maksud agar bisa segera pergi dan mengurus pasien yang lain. Pasien merka kan bukan hanya saya saja. Saya sengaja tidak menjawab, pura-pura mengalihkan pandangan saya ke langit-langit.