Memang betul dalam dunia usaha ada slogan umum yang berbunyi 'tamu adalah raja'. Tetapi buat beberapa tamu, slogan ini kadang berubah menjadi 'tamu adalah dewa', 'tamu adalah Robocop', 'tamu adalah diva', 'tamu adalah Pokemon', 'tamu adalah Batman', dll. Kadang ada saja tamu yang mungkin mengaplikasikan slogan ini untuk menjadi bersikap bossy, tetapi jadinya bikin gemas.
"Kenapa jam check out harus dibatasi?". Seorang ibu muda dengan dandanan diva langsung menyemprot saya di meja resepsionis. Oh, berarti ibu ini yang barusan saya telepon ke kemar untuk mengingatkan jam check out. Belum sempat saya jawab, beliau sudah kembali nyerocos.
"Suka-suka saya dong mau check out jam berapa. Kok jadi kalian yang mengatur saya?". Sabar..., saya mengelus dada. Dada sendiri lho ya!
 "Kita memang ada jam check out, Bu. Kalau ibu check out melebihi jam check out, nanti ibu bisa kena biaya tambahan."
"Kenapa cuma saya diburu-buru check out?"
"Semua tamu kok kita ingatkan jam check out, Bu."
"Memang setelah saya check out langsung ada tamu lain masuk?"
"Maksudnya biar kamar yang baru ibu tempati bisa segera dibersihkan petugas housekeeping, Bu. Biar nanti tamu yang baru datang bisa langsung check in."
"Aneh ya!? Padahal di hotel lain saya bisa check out jam berapa saja," katanya lagi. Owww, really?
"Hotel mana itu, Bu?"
"Tidak perlu saya sebut nama hotelnya. Pokoknya hotel bintang tujuh."
Dalam hati saya mikir, itu hotel atau puyer obat sakit kepala? Kok ada bintangnya sampai tujuh segala?
"Nama hotel bintang tujuhnya apa ya, Bu? Bagus juga tuh sistemnya." Saya pun mencoba mengikuti alurnya halusinasinya.
"Pokoknya hotel di Jakarta. Kau nggak tahu itu." JLEB!!!Â
Padahal, saya sudah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Jakarta. Saya tahu nama-nama hotel dan nama-nama mantan di sana. Tetapi ya sudahlah, saya mending diam saja. Takut nanti salah jawab, bisa-bisa saya di-smack down.
"Hotel begini sih masih sanggup saya beli. Kamu juga bisa saya beli sekalian," semprotnya lagi sambil memandangi interior ruangan resepsionis dengan tatapan sinis. Lha, kirain sudah bubar, ternyata masih lanjut pertarungannya. Kembali saya pasang kuda-kuda untuk mengantisipasi serangan yang tak terduga..
"Beli hotelnya saja ya, Bu. Saya tidak usah dibeli karena saya sudah satu paket sama hotel ini. Kalau ibu beli hotel ini, sudah termasuk saya di dalamnya," jawab saya spontan, masih tetap dengan nada lembut meskipun hati memberontak karena sedikit kesal. Dia sudah main fisik sih, masa saya katanya bisa dibeli. Memangnya saya cowok apa'an?
Dia mengararahkan tatapan sinisnya ke saya. Dan saya pun  makin memantapkan posisi kuda-kuda saya. Dalam situasi kritis seperti ini tidak boleh lengah.
Lalu dia merogoh dompet dari dalam tasnya, kemudian memanggil sopirnya. Wah, gawat. Beliau serius mau beli hotel ini dan saya.
"Ton, tolong beli gorengan yang di pertigaan ya. Biar ada cemilan nanti di jalan." Oh, ternyata sang sopir disuruh membeli gorengan. Katanya dia mendadak lapar setelah mengomelin saya. Seolah saya ini semacam zat penggugah selera makan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H