Begitu ramai kampanye untuk mendidik anak-anak tentang batasan anatomi tubuh yang boleh disentuh oleh orang lain, entah itu sesama anak-anak atau orang dewasa. Dan ini biasanya ramai berdengung saat baru ada kejadian pelecehan seksual terhadap anak-anak.
Saya pernah mengkritisi sebuah unggahan video di media sosial, tentang tenaga pendidik pria yang masih tergolong muda, yang menunjukkan betapa akrabnya beliau dengan anak-anak didiknya yang saya perkirakan usia 7 sampai 9 tahun. Keakraban ditunjukkan dengan kontak fisik yang lumayan intens, dimana para anak didik bebas merangkul, memegang dan menempelkan badan ke Pak Guru. Pak Guru juga tidak terlihat berusaha menghindari kontak fisik yang sebenarnya tidak perlu itu. Kritisi saya direspon netizen yang sebagian besar malah mendukung kontak fisik tersebut.
"Tidak apa-apa lah, selama itu masih antara guru dan murid"
"Namanya juga masih anak-anak, belum mikir yang aneh-aneh"
"Pak Guru memiliki energi positif sehingga disukai anak-anak"
Â
Demikian beberapa pendapat netizen yang seperti mendukung keakraban tersebut.
Saya ingat waktu saya menjadi guru di dua sekolah tingkat Sekolah Dasar di Jakarta, kami para guru (terutama yang pria) dianjurkan oleh pihak sekolah dengan tegas untuk tidak pernah melakukan kontak fisik dengan anak didik. Tidak peduli segemas apa kami melihat pipi-pipi tembem atau wajah-wajah imut anak didik kami yang berusia 6 sampai dengan 7 tahun, kami harus menahan diri untuk tidak menjawil. Sentuhan fisik yang dianjurkan paling hanya sebatas berjabat tangan atau high five, yaitu menepukkan telapak tangan satu sama lain
Juga ketika anak didik yang masih polos berusaha melakukan kontak fisik, seperti merangkul atau memeluk, kami harus berusaha menghindar dan kemudian memberi penjelasan tentang batasan interaksi fisik anak didik dan guru.
Dan tentu saja itu tidak mengurangi keakraban dan interaksi yang baik antara guru dan murid, kami tetap bisa bebas berinterakasi atau berkomunsikasi secara verbal, hanya saja komunikasi yang secara fisik ada batasannya.
Tanggung jawab untuk memberi edukasi mengenai batasan-batasan interaksi fisik ini bukan hanya monopoli orangtua, tetapi seharusnya sekolah juga. Karena di sekolah justru anak-anak ini rentan dengan physical abuse karena jumlah orang-orang di sekolah tentu saja jauh lebih banyak daripada di rumah.
Alangkah baiknya jika anak-anak tidak dibiasakan merasa nyaman atau bebas berkontak fisik dengan orang dewasa, apalagi yang bukan orangtua, dokter atau keluarga, termasuk guru sekalipun. Karena dikhawatirkan kelak kebiasaan ini menjadi dianggap sebagai sesuatu yang normal, bakan ketika bersentuhan dengan orang dewasa yang tidak dikenal.
Karena ketika si anak nyaman dengan sentuhan fisik, bisa menimbulkan semacam adiksi yang membuat si anak merasa nyaman saat menerimanya dari individu yang berbeda, termasuk dari orang yang tidak dikenal atau baru dikenal. Kenyamanan yang bisa disalahgunakan oknum untuk tujuan pribadi yang secara negatif mempengaruhi perkembangan si anak secara fisik dan psikis.
Begitu banyak kasus pelecehan anak-anak atau murid yang justru dilakukan oleh orang dewasa, bahkan tenaga pendidik. Mirisnya, ada beberapa kasus justru terungkap setelah terjadi berulang kali.
Jika merunut pada kronologi kejadian perkara, pada awalnya tidak ada unsur pemaksaaan, tetapi kemudian mengarah kepada pelecehan. Bisa jadi awalnya hanya sebatas sentuhan fisik yang dianggap normal oleh si anak. Sentuhan fisik yang kemudian berkembang menjadi pelecehan seksual. Dan ketika si anak menyadari bahwa sentuhan fisik tersebut sudah berlebihan dan membuat tidak nyaman, sudah terlambat untuk menghindar.
Edukasi tentang batas-batas sentuhan fisik ini seharusnya tidak hanya sebatas wacana, tetapi bisa juga dipraktekkan dalam aktivitas sehari-hari. Dan sebenarnya yang paling potensial mengaplikasikan edukasi ini adalah tenaga pendidik di lembaga formal atau informal, seperti sekolah, pondok pesantren, panti asuhan dan lain-lain. Karena di lembaga ini lah anak-anak berinteraksi dengan orang dewasa yang bukan orangtua si anak. Di lembaga ini lah teori dan praktek bisa langsung dijalankan.
Ketika si anak tanpa sadar melakukan kontak fisik yang tidak perlu, tenaga pendidik bisa langsung mengingatkan, sehingga si anak terbiasa mengetahui batasan interaksi fisik dengan orang dewasa yang bukan orangtua sendiri. Apa yang boleh dan tidak boleh ketika terlibat kontak fisik dengan orang lain, baik orang dewasa maupun teman sendiri.
Seperti slogan klasik yang mengatakan bahwa kejahatan tidak selalu terjadi karena ada niat, tetapi karena ada kesempatan. Kita tidak pernah bahwa awal jadi terjadinya beberapa kasus pelecehan seksual anak-anak mungkin bukan dari niat pelaku, tetapi karena sentuhan dari si anak yang sebenarnya tidak bertendensi apa-apa, sementara orang dewasa begitu gampang terpicu secara seksual.
Maka sebaiknya kita sebagai orang dewasa tidak hanya mengedukasi si anak, tetapi juga mengedukasi diri sendiri untuk bisa menghindar dan mengingatkan si anak ketika dengan polos melakukan sentuhan pada kita yang bisa jadi berpotensi memberi rangsangan seksual terhadap orang dewasa lainnya. Bukan malah menganggapnya sebagai sesuatu yang normal, atau bahkan luar biasa sehingga menjadikannya sebuah konten  di media sosial sebagai sebuah kebanggaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H