Konversi besar-besaran dari media tradisional format cetak menjadi media sosial dan digital memang sangat mempengaruhi segala bidang. Salah satu yang paling buruk terkena dampaknya adalah industri hiburan, khususnya di Indonesia.
Tahun-tahun sebelum media sosial dan media digital belum mendominasi, media tradisional masih memegang teguh marwahnya dalam menurunkan berita yang bisa dipertanggungjawabkan. Narasumber benar-benar diwawancara secara langsung, dimana segala pertanyaan dan jawaban direkam dengan recording tape sebagai bahan crosscheck jika kelak ada salah satu pihak merasa tidak memberi jawaban atau pernyataan seperti yang diberitakan.
Dan sebelum dicetak atau ditayangkan, materi artikel atau program ini masih harus melalui beberapa lapis sidang redaksi untuk menguji kelayakan menjadi sebuah berita atau acara, karena menyangkut nama baik dan reputasi media. Bahkan tak jarang judul dan isi artikel atau narasi acara menggunakan bahasa sastra sehingga setiap kalimat terasa indah dibaca, mudah dipahami. Mengasah sensifitas literasi, serta mencerdaskan pembaca/pemirsa.
Setelah media cetak dan media sosial merajalela, substansi ini seperti hilang begitu saja. Media digital seperti berlomba-lemba menurunkan berita dengan judul bombastis yang sering sekali malah tidak mewakili isi berita. Hanya sekedar ingin memprovokasi atau memancing pembaca untuk mengklik tautan artikel yang memang sengaja dirancang untuk menghasilkan benefit bagi media. Semakin provokatif judul berita, semakin menggila pembaca meng-klik tautan artikel, maka semakin mendatang keuntungan bagi media penyedia berita digital. Sistem ini dikenal dengan istiah click bait.
Terkadang esensi tidak lagi dipikirkan hanya demi keuntungan. Toh media digital sifatnya instan, bisa dinaikkan dan diturunkan kapan dan dimana saja sesuai kebutuhan. Ketika berita yang ditayangkan ternyata hoax atau tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, editor atau redaktur tinggal menghapusnya saja, maka pembaca tidak bisa lagi mengaksesnya. Sedemikian praktis dan sederhana, sehingga tanggung jawab akan sebuah pekerjaan atau karya dalam bentuk artikel dianggap sebagai sesuatu yang bisa diabaikan.
Berbeda dengan media tradional yang sudah distribusi atau penayangannya sudah sampai ke berbagai pelosok wilayah, akan sangat susah menghapus, menyunting atau menangguhkan jika ada yang hendak dihilangkan, direvisi atau diganti.
Media sosial juga kurang lebih mengalami kondisi yang sama, bahkan lebih parah. Media sosial seperti Facebook, Tiktok dan Instagram Live/Reel/Story membuat semua orang bisa menjadi selebriti di lingkaran sosialnya masing-masing tanpa filter, yang sebarannya bisa melebar dari yang awalnya di lingkaran kecamatan, kota, pulau, negara dan hingga sampai antar negara.
Banyak pengguna media sosial seperti mengalami gegar tegnologi yang membuat lupa daratan. Yang tadinya kurang mendapat perhatian di dunia nyata, sekarang sudah memiliki wadah untuk mencari perhatian dari dunia luar yang lebih luas. Tidak perlu bakat atau keahlian, yang penting berani malu. Karena yang dicari adalah ketenaran dan perhatian, bukan apresiasi.
Itu sebabnya kasus ujaran kebencian dan penistaan hanya bermuara dari media sosial dan media digital, karena memang sifatnya subjektif, hanya berdasarkan pemikiran dan penilaian pribadi. Pribadi yang tidak mewakili kelompok tertentu, tetapi efeknya bisa membuat gonjang-ganjing satu planet. Dan karena penyampaiannya juga tidak di depan publik atau forum khusus yang butuh mental dan keberanian untuk menyampaikan, melainkan hanya dari ruang pribadi sehingga merasa bebas menyampaikan apa saja tanpa kontrol.
Di media tradisional konten sejenis itu tidak akan lolos karena harus melalui beberapa sensor dan perdebatan  di sidang redaksi untuk mempertimbangkan kelayakan dan efeknya terhadap pembaca dan media itu sendiri.