Pertama sekali diterima bekerja pada sebuah hotel di pinggir danau Toba, saya  bertugas menjaga toko buku yang ada di hotel. Hotel tersebut memang memiliki toko buku dan perpustakaan, yang berlokasi di lantai dasar gedung hotel. Sebagai pecinta buku, tentu saja saya bersukaria menjalani pekerjaan ini.
Masalahnya, minat terhadap literasi tidak terlalu menjanjikan di daerah ini. Tamu hotel yang kebetulan menginap dan melihat ada toko buku, mayoritas hanya sebatas surprise dan kagum mengetahui ada toko buku tersedia di hotel. Biasanya mereka akan masuk sebentar dan melihat-lihat buku tanpa menyentuh, setelah itu permisi pergi. Bisa dibilang hanya sebatas menikmati pemandangan buku-buku. Tetapi membaca, belum tentu.
Jadi meskipun secara teknis saya bekerja di hotel, tetapi sebagian besar aktifitas saya hanya seputar merapikan buku yang bergelimpangan dan melap rak-rak buku yang diliputi debu. Lama-lama menjadi sedikit membosankan memang, sehingga pernah terpikir untuk mengajukan diri ikut terlibat dalam operasional hotel. Menjadi apa saja, terserah. Yang penting tidak menghabiskan sebagian besar waktu saya sepanjang hari dengan bengong.
Hingga pada suatu hari, staf Front Office berhalangan hadir sehingga bos menyuruh saya menutup toko buku untuk sementara dan menggantikan staf tersebut di meja resepsion.
Pertama sekali melayani tamu check in & check out, saya tidak terlalu mengalami masalah. Latar belakang pendidikan saya dari jurusan Komunikasi lumayan membantu saya cara berkomunikasi yang baik & benar. Misalnya, menghadapi tamu yang galak jangan ikut-ikutan galak. Nanti ujung-ujungnya malah bergelut.
Kalau pun misalnya ada masalah, biasanya masalah di luar kendali saya. Misalnya, komplain tamu mengenai kurang ini & itu di dalam kamar, yang tentu saja merupakan human error dari staf housekeeping. Namun itu adalah konsekuensi, karena apa pun masalah yang terjadi di hotel, pasti semprotan tamu akan selalu mengarah ke Front Office, karena hanya Front Office yang paling gampang ditemukan di area hotel dan tak mungkin bisa melarikan diri.
Di lain waktu, petugas laundry yang berhalangan hadir. Kembali sang bos menugaskan saya untuk diperbantukan mengerjakan cuci, jemur dan setrika linen. Berhubung sejak kecil saya sudah terbiasa mencuci pakaian sendiri, maka tugas ini juga pekerjaan ini juga tidak terlalu merepotkan saya. Mencuci secara manual saja sudah lulus, apalagi mencuci pakai mesin cuci.
Tugas paling menantang yang pernah didelegasikan ke saya adalah saat diperbantukan di divisi F&B, khususnya menjadi waiter di ruang breakfast. Kenapa saya bilang menantang? Karena saya sudah harus stand by jam 6 pagi menyiapkan dan merapikan segala sesuatunya, mulai dari menyusun meja & kursi, sampai menata makanan. Apalagi saya termasuk orang yang agak susah bangun pagi, tetapi demi tugas dan tanggung jawab, harus rela gemetar kedinginan pagi-pagi mandi air dingin sebelum berangkat kerja. Karena tentu tidak etis kalau bertugas sebagai waiter di ruang breakfast dengan wajah masih mirip bantal dan badan yang masih beraroma kasur.
Dan meskipun saya bilang menantang, tetapi justru pekerjaan ini yang paling saya nikmati. Saya sangat menikmati menyapa tamu-tamu hotel di pagi hari saat memasuki ruang sarapan. Beberapa memang kadang melengos dan tidak menjawab sapaan saya, tetapi peduli amat. Direspon atau tidak, tetap harus konsisten menyapa sambil tersenyum. Ya, mental saya memang se-badak itu.
Saya sangat menikmati ketika melayani tamu yang sedang sarapan. Sekedar membantu menuangkan teh atau kopi, membuatkan roti bakar, mengangkat piring dan gelas kotor dari atas meja, dan lain-lain. Termasuk juga harus sigap merapikan kembali makanan-makanan yang baru saja diacak-acak tamu lain.Â
Tak peduli meskipun sedang ada masalah di rumah, terlibat konflik dengan teman, pacar maupun mantan presiden, namun begitu berdiri di ruang breakfast, semua masalah seperti menguap begitu saja untuk sementara.  Untuk sementara ya, tidak mungkin untuk selamanya. Tanpa sadar justru wajah sumringah yang terhampar untuk menyambut tamu yang hendak sarapan.Â
Dan satu lagi, tamu-tamu yang hendak sarapan jarang sekali marah-marah. Namanya juga hendak makan di waktu yang sebenarnya tidak lapar-lapar amat, mood masih segar, tak ada peluang untuk sempat terpikir mencari lawan untuk berkelahi.Â
Satu-satunya nilai 'minus' menjadi waiter di ruang breakfast adalah jarang sekali mendapat uang tip, tidak seperti waiter di restoran atau cafe yang kadang tip diselipkan di bawah piring, disela-sela kutang atau langsung disalamkan. Tetapi siapa yang peduli ada atau tidak uang tip? Karena  ucapan terima kasih yang tulus dari tamu saat meninggalkan ruang breakfast sudah lebih sekedar uang tip. Tetapi tetap sih, berharap ada yang memberi tip untuk sekedar pelipur hati.Â
Dan di kesempatan dan waktu yang berbeda, saya juga pernah diperbantukan sebagai tenaga housekeeper. Meskipun saya relatif bisa menjalankannya, tetapi saya tidak terlalu menikmatinya sebagaimana saya menikmati menjadi waiter. Mungkin karena di ruang breakfast saya memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan tamu, mulai dari hanya sekedar menanyakan nama, sampai menawarkan menjadi menantu. Sementara saat menjadi housekeeping malah jarang sekali. Mau berinteraksi dengan siapa? Karena kamar yang dibersihkan dan dirapikan tersebut penghuninya udah check out. Masak ngobrol dengan handuk kotor?
Hampir semua pekerjaan di hotel pernah saya jalani, kecuali sekuriti dan tehnisi. Saya sadar diri tidak mungkin diperbantukan menjadi sekuriti karena postur saya yang kurang tegap dan kekar. Maklum, mantan supermodel, sehingga tubuh saya relatif kurus dan ramping.Â
Menjadi teknisi? Boro-boro! Karena meskipun saya laki-laki, tetapi saya tidak malu mengakui bahwa saya benar-benar buta mengenai urusan listrik beserta segala tetek bengeknya. Dan satu lagi, saya paling tidak suka kesetrum. Lha, memangnya siapa yang suka?
Begitulah. Sejak kecil memang saya lebih suka melayani daripada dilayani. Mungkin sedikit banyak terpengaruh kebiasaan menyiapkan makan untuk bapak saya dulu tanpa cemberut. Karena setiap kali hendak makan, bapak saya lebih suka menyuruh saya menyiapkan segala sesuatunya daripada menyuruh saudara saya yang lain. Mulai dari menyendok makanan sampai menuangkan air ke gelas.
Mengacu pada kecenderungan untuk melayani daripada melayani tersebut, kadang saya berpikir jangan-jangan panggilan jiwa saya adalah menjadi Asisten Rumah Tangga, tetapi takdir membawa saya untuk mengaktualisasikan panggilan tersebut di arena yang cakupannya lebih luas dan menantang, yaitu di hotel. Â Dan ini menjadi salah satu berkat Tuhan yang sangat saya syukuri dalam hidup ini. Dalam hidup ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI