[caption id="" align="aligncenter" width="629" caption="Photo : CiputraNews.Com"][/caption]
Saya termasuk yang pernah berjibaku melawan banjir besar yang pernah melanda Jakarta. Daerah tempat tinggal saya di Jakarta Selatan memang jarang atau bahkan tidak pernah kebagian jatah banjir, tetapi bukan berarti saya tidak kena imbas banjir. Pasalnya, saya dulu bekerja di kawasan Daan Mogot yang memiliki ‘situs purbakala’ berwujud sungai yang bernama Mookervaart. Namanya sih keren: Mookervaart, nama yang ala-ala Eropa begitu. Tetapi untuk kasus ini saya setuju dengan pernyataan Williams Shakespeare yakni 'apalah arti sebuah nama'. Nama boleh keren, tetapi tongkrongannya bikin merem. Saya tidak pernah melihat sungai ini airnya mengalir. Bagaimana bisa mengalir? Karena debit sampah dan lumpur tidak sebanding dengan debit air sungainya.Ibaratnya, sungai ini lebih pantas dijadikan lahan bercocok tanamdaripada disebut sungai. Jadi bukan situasi yang aneh lagi jika saat melintasi sepanjang jalan Daan Mogot, Anda akan disuguhi aroma tak sopan yang berasal dari sungai itu, aroma perpaduan antara comberan dan keparat.
Nah, setiap hari berangkat kerja (kecuali Sabtu dan Minggu), saya pasti melewati jalan ini pulang pergi. Hujan sedikit saja, sungai ini pasti meluap dan menggenangi jalan raya. Pernah suatu pagi saya berangkat kerja dan tiba-tiba turun hujan deras. Sampai di Citraland, air sudah menggenangi jalan raya. Asal air dari mana lagi kalau bukan dari got yang mampet di sepanjang jalan di depan Citraland, Ukrida, dan Untar. Jadi saya melihat sendiri sampah-sampah plastik yang mengambang minta tolong di sepanjang aliran got yang tidak bisa mengalir lancar. Saya perhatikan para pria setempat mulai menawarkan diri mengangkut (entah dengan cara digendong, dipangku atau diangkat ke bahu dalam posisi ngangkang) para perempuan yang mendadak terkena sindrom kambing alias takut kena air. Maklum, air sudah setinggi betis. Sayangnya para pria ini hanya menawarkan bantuan kepada para perempuan saja. Apa boleh buat, saya terpaksa harus berjuang sendiri. Sepatu pantofel dan kaos kaki saya buka dan masukkan ke atas, celana panjang saya gulung sampai ke pangkal paha. Sebenarnya tidak perlu digulung sampai setinggi itu, tetapi harap maklum, saya memang rada-rada eksibisionist untuk urusan paha. Dengan kostum seperti itu, saya persis seperti anak suku Badui berjuang melawan banjir dari depan kampus Universitas Tarumanegara menuju halte Busway Jelambar. Kalau saja airnya bening, saya mungkin sudah memutuskan untuk menyelam saja supaya lebih cepat sampai. Sampai di halte Jelambar, jalan raya memang sudah tertutup air, dari mana lagi kalau bukan luapan air dari kali Mookervaart yang kesohor itu. Tetapi masih sebatas menutupi permukaan jalan raya setinggi beberapa inchi, jadi kendaraan masih bisa bebas melenggang sambil ciprat kanan-kiri.
Bus Transjakarta bergerak menuju arah Kalideres, hujan belum juga berhenti. Semakin jauh menuju Kalideres, air semakin tinggi hingga akhirnya sampai sepaha orang dewasa. Hasilnya, bus Transjakarta yang saya tumpangi mogok di tengah air. Untungnya, kami tidak sendiri karena di depan dan belakang kami juga berderet kendaraan-kendaraan lain dengan nasib sama. Saya melirik jam tangan saya, sudah menunjukkan jamtujuh, padahal saya sudah harus sampai di kantor jam enam lewat empat puluh lima menit. Sementara saya masih separuh jalan.
Dan setelah beberapa jam, hujan memang akhirnya berhenti. Tetapi sudah terlambat, air sudah menggenang dan kendaraan-kendaraan sudah mogok. Hanya truk besar yang bisa melaju menerjang banjir, tetapi tetap saja tidak bisa bergerak karena depan belakang semuanya mogok. Hingga akhirnya sopir truk tersebut mematikan mesin dan memilih bernyanyi merdu.
SopirBus Transjakarta yang saya tumpangi juga akhirnya mematikan mesin dan membuka jendela bus. Hampir semua kendaraan yang mogok juga melakukan hal yang sama. Awalnya memang terlihat wajah-wajah kesal dan stress, tetapi lama-lama wajah-wajah itu berubah pasrah dan memilih untuk menikmati keadaan. Beberapa ibu-ibu dari perkampungan di pinggir jalan Daan Mogot bahkan berinisiatif memasak air untuk membuat kopi dan teh manis, lalu membagikannya secara gratis kepada siapa saja yang mau. Cuaca yang basah dan dingin, siapa yang bisa menolak dan mengabaikan secangkir teh manis atau kopi? Sebuah pemandangan yang sangat indah, di mana rumah mereka juga sedang terendam banjir, tetapi mereka masih sempat berpikir untuk melakukan sesuatu untuk orang lain.
Saya termasuk yang nekad meloncat dari Bus Transjakarta menceburkan diri ke dalam banjir berair coklat yang kini berangsur-angsur surut menjadi setinggilutut, untuk secangkir kopi panas. Dalam suasana seperti ini, minum kopi asal jadi yang disuguhkan dalam cangkir kaleng yang sudah berkarat terasa sangat nikmat. Saya bahkan sampai beberapa kali harus mengasingkan diri ke tempat yang sepi karena perut saya berkali-kali meletus akibat asupan kopi panas yang sepertinya berhasil menghalau angin jahat dari dalam tubuh saya.
Anak-anak yang tidak tahan untuk bermain air, meski sudah berkali-kali dijewer ibunya masing-masing, tapi tetap mencuri-curi kesempatan untuk meloncat ke dalam air. Itu adalah pemandangan indah lainnya. Saya menjadi seperti belajar dari anak-anak itu. Bagaimana mereka bisa bergembira di tengah bencana. Karena secara logika, mengutuk banjir lalu putus asa tidak akan membantu menyurutkan air. Lebih baik menikmatikeadaan sampai menunggu situasi membaik. Karena pada saat keadaan seperti ini, pikiran riang lebih 'menyelamatkan' daripada pikiran kalut.
Pemandangan indah lainnya adalah interaksi antara sesama korban banjir yang terjebak tidak bisa bergerak ke mana-mana. Saya melihat bagaimana seorang sopir angkot berbincang akrab dengan mbak-mbak kantoran membahas sesuatu. Yang jelas bukan sedang membahas tentang membangun keluarga yang sakinah. Saya juga melihat ibu-ibu tukang jamu yang curhat sama Polisi, sementara Pak Polisi manggut-manggut penuh perhatian. Sesama sopir saling berbagi ilmu tentang permasalahan dan solusi mengatasi mesin kendaraan, termasuk pengendara mobil pribadi dengan sopir truk Tronton yang mungkin pada saat-saat kondisi 'normal' lebih suka saling teriak dan memaki saat saling menyerobot jalur di jalan raya. Pemilik warung menyumbangkan beberapa kilogram gula untuk kopi dan teh manis prasmanan di tepi jalan raya. Pengendara motor tidak mau rugi waktu, memilih untuk mencuci motornya dengan memakai air banjir, dibantu oleh anak-anak yang hanya mengenakan kolor dekil.
Setelah beberapa jam berlalu, air akhirnya mulai surut sampai semata kaki. Saya melirik jam tangan saya, sudah menunjukkan pukul sebelas. Saya percaya keadaan di sini pasti sudah masuk berita. Saya lihat tadi beberapa pria memanggul kamera televisi dengan tempelan sticker televisi ini dan itu yang seliweran. Saya bahkan sudah sempat menurunkan celana saya yang tadi saya gulung sampai sepangkal paha dan memakai kembali sepatu saya, siapa tau saya yang diwawancarai. Tetapi ternyata tidak. Jadi apabila banyak karyawan yang akhirnya tidak masuk kerja atau terlambat sampai di kantor, para atasannya pasti mengerti. Begitu juga dengan para sopir angkot, para istri pasti maklum kalau setoran hari ini tidak seperti biasanya.
Satu per satu kendaraan mulai dinyalakan mesinnya. Ada yang masih mogok, dan ada mulai bergerak tersendat-sendat. Lagi-lagi terjadi pemandangan indah. Para pengendara yang mengerti mesin kendaraan membantu menangani mesin-mesin kendaraan yang tidak mau menyala. Setelah beberapa kali percobaan, utak-atik, kesabaran dan tentu saja doa, akhirnya mesin kendaraan menyala. Bahkan pengendara motor ada yang berbagi bensin dengan menggunakan selang. Mungkin baru sadar kalau mesin motornya tidak menyala bukan karena mesinnya kemasukan air, tetapi karena kehabisan bahan bakar. Para perempuan berpenampilan cantik dan bersepatu hak tinggi pun tidak segan-segan ikut menyumbang tenaga untuk membantu mendorong kendaraan yang butuh digerakkan maju dulu supaya mesinnya bisa menyala.
Berbicara mengenai banjir, serbuan limpahan air ini adalah termasuk bencana alam yang sebenarnya bisa dicegah dan dihindari. Banjir yang terjadi di beberapa wilayah di Jakarta terjadi akibat luapan sungai dan drainase (baik itu got, saluran air, parit) yang tidak lancar. Tidak lancar mengalir bukan karena airnya membeku, tetapi karena timbunan sampah yang menyumbat dan menghalangi aliran air. Kita tentu mengetahui bahwa sifat dasar air adalah mencari tempat yang serendah-rendahnya. Kita punya waduk, selokan dan saluran air lainnya yang bisa menampung aliran air untuk diteruskan ke sungai yang nantinya akan bermuara pada laut. Jika saja aliran saluran air mengalir lancar tanpa gangguan sampah, tentu tidak ada ceritanya luapan air yang mengakibatkan banjir. Masalahnya, banyak orang yang bermental payah, lebih memilih mencari siapa yang salah daripada mencari solusi. Tidak menyadari bahwa kebiasaan membuang sampah sembarangan serta menyulap lahan tanah menjadi lahan beton adalah andil yang besar untuk menyebabkan banjir, di mana curah hujan tidak lagi sebanding dengan permukaan tanah yang bisa menyerap air yang jatuh ke bumi.
Bus Transjakarta yang saya tumpangi pun pada akhirnya bergerak meninggalkan lokasi yang penuh cerita itu. Sedikit sedih juga sih karena harus mengakhiri pemandangan indah ini, tetapi apa boleh buat, life must go on. Dalam perjalanan menujukantor saya di kawasan Daan Mogot Baru, saya secara iseng berpikir bahwa ada hikmah dalam setiap kejadian, bahkan dalam kejadian buruk sekalipun. Kita yang harus mengambil sikap apakah kita memosisikan diri sebagai korban yang hanya bisa mengutuk, menggerutu dan mencari siapa yang harus disalahkan. Atau apakah kita akan memosisikan diri sebagai orang yang bisa menikmati setiap keadaan tanpa terpengaruh oleh energi negatif yang mungkin timbul atau diciptakan oleh sekelompok orang yang memang terlahir hanya untuk memperkeruh suasana dan keadaan. Percayalah, selalu ada hal-hal yang patut disyukuri untuk segala sesuatu yang terjadi. Banjir yang cukup merepotkan ini justru memberi kesempatan kepada beberapa orang untuk berinteraksi secara tulus dan penuh kekeluargaan. Keindahan luar biasa yang tidak mungkin nyata seandainya banjir ini tidak terjadi. Saya sendiri dulu begitu tekun merutuki Ciputat yang selalu saja menjadi biang macet. Tetapi setelah melihat beberapa daerah yang kebanjiran, saya menjadi bersyukur. Meskipun Ciputat terkenal dengan kemacetannya, tetapi Ciputat tak pernah ingkar janji, eh...banjir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H