Mohon tunggu...
Harrys Simanungkalit
Harrys Simanungkalit Mohon Tunggu... Freelancer - Hotelier

Manusia Biasa Yang Sering Overthinking

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ibu Negara & Resiko Menjajal Media Sosial

18 Januari 2014   04:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo : Merdeka.Com

[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Photo : Merdeka.Com"][/caption]

Beberapa tahun belakangan ini akun media sosial begitu marak menjadi salah satu portal atraktif di jalur maya. Lima tahun yang lalu media sosial ini masih berupa komunikasi satu arah dan sifatnya juga masih occasional. Misalnya seperti akun Friendster dan MySpace yang hanya berupa halaman profil berisi data dan foto-foto. Pada saat itu akun-akun ini hanya dapat diakses melalui komputer, belum lewat medium lain. Beberapa tahun kemudian media sosial melahirkan Facebook yang sebenarnya hampir sama seperti Friendster, tetapi dianggap lebih interaktif karena bisa diakses lewat handphone (tidak melulu hanya lewat komputer) sehingga interaksi bisa terjadi dan berlanjut dimana dan kapan saja selama handphone yang digunakan memiliki akses internet.

Lalu ada Twitter yang pada dasarnya membatasi jumlah karakter yang hendak di-post-kan, tetapi itu sama sekali tidak menghalangi para penggunanya untuk berkicau yang dikenal dengan istilah nge-tweet. Meski jumlah karakter per-post dibatasi, tetapi ada saja user yang mau repot-repot melakukan kuliah terbuka tentang isu atau tema tertentu. Caranya, materi kuliah singkatnya dibagi menjadi beberapa bagian kalimat yang disesuaikan dengan jumlah karakter per-post, lalu di-post-kan satu persatu. Aktivitas ini dikenal dengan istilah KulTwit alias Kuliah Twitter. Buat saya pribadi, ini adalah salah satu aktivitas di dunia Twitter yang sangat bermanfaat dimana user-nya lebih cenderung menggunakan media sosial sebagai wadah untuk berbagi/sharing ilmu, bukan hanya sekedar nge-tweet hal-hal yang remeh temeh seperti sedang lapar atau sedang dikejar macan.

Setelah booming Facebook dan Twitter, adalagi media sosial dengan hampir sama, tetapi dengan konten yang berbeda. Namanya Instagram. Jika di Twitter para users lebih banyak berkomunikasi lewat kata-kata, maka di Instragram para user-nya berkomunikasi lewat foto. Jadi penggunanya akan meng-upload sebuah foto yang sudah di-edit sedemikian rupa melalui aplikasi yang disediakan Instragram, sehingga hasil foto tampak lebih artistik dan proporsional, lalu menyertakan caption singkat sebagai penjelasan foto. Uniknya, untuk sign up dan untuk mengunggah foto ke akun Instagram ini hanya bisa dilakukan melalui smartphone jenis Android dan juga tablet, tidak bisa melalui komputer. Tetapi kalau hanya untuk sekedar menikmati halaman profile Instagram, tentu saja bisa dengan menggunakan komputer.

Setiap orang punya hak azasi masing-masing untuk memiliki akun media sosial seperti Facebook, Twitter dan Instagram. Termasuk Presiden dan Ibu Negara. Terhitung sejak tahun lalu Pak SBY baru meresmikan akun Twitter-nya yang berisi post pribadi dan juga post administrator-nya. Ada kalanya Pak SBY nge-tweet sesuatu dengan embel-embel *SBY* di bagian akhir tweet-nya, yang artinya adalah Pak SBY sendiri yang nge-tweet kicauan tersebut. Sementara jika tidak ada embel-embel *SBY* pada tweet tersebut, itu artinya tweet tersebut di-post-kan oleh administrator akun Twitter tersebut yang entah siapa, hanya Pak SBY, Tuhan dan administrator itu sendiri yang tau.

Sang Ibu Negara yaitu Ibu Ani juga tak ketinggalan dengan demam media sosial ini. Mungkin disesuaikan dengan hobby Ibu Any dalam bidang fotografi, maka Bu Ani memilih Instagram sebagai media pelampiasan. Namanya media sosial, berarti terbuka dengan segala macam interaksi. Sama seperti status di Facebook dan tweet di Twitter yang memang selalu berpotensi memancing komentar, begitu juga dengan Instagram. Dimana Instagram juga menyediakan kolom komentar untuk setiap foto yang di-upload, maka akan terbuka jugalah segala bentuk komentar, mulai dari komentar yang asbun, komentar yang bisa membuat pemilik akun terbang sampai ke plafon, dan tentu saja termasuk komentar yang bisa membuat kepala pemilik akun berasap dan keluar tanduk.

Berbeda dengan akun Twitter Pak SBY yang ditangani oleh administrator, dimana akan selalu ada orang yang mem-filter kata dan kalimat dalam tweet representatif Pak SBY sebagai seorang Kepala Negara, akun Instagram Bu Ani sepertinya dipegang sendiri oleh Bu Ani. Dipegang sendiri oleh Bu Ani tentu menjadi seperti dualisme yang pada satu sisi mengesankan bahwa Bu Ani akan berinteraksi langsung tanpa perantara dengan para followers akun-nya. Namun pada sisi yang lain bisa menjadi bumerang ketika Bu Ani tanpa sadar menanggapi komentar para followers-nya dengan tutur kata dan tata kalimat yang kurang elok dan santun seperti layaknya seorang Ibu Negara.

Tentu kita masih ingat dengan kasus penggunaan kata ‘bodoh’ oleh Ibu Ani saat menanggapi komentar salah seorang follower-nya yang mengomentari foto jepretan beliau yang dicurigai sebagai foto hasil copy-paste. Lalu tanggapan Bu Ani yang sangat jelas terkesan judessaat menanggapi komentar lain tentang keluarga Pak SBY yang mengenakan kemeja Batik saat mejeng di pantai. Termasuk saat menanggapi komentar yang mempertanyakan kenapa Ibas selalu memakai kemeja lengan panjang. Saya bisa membayangkan Ibu Ani mengetik tanggapannya tersebut sambil mendelik cemberut. Yang paling mutakhir adalah saat ada yang menyentil Bu Ani yang masih sempat-sempatnya mem-post-kan foto di Instagram saat beberapa daerah di Indonesia sedang mengalami bencana, Bu Ani dengan teledornya (karena mungkin tersulut emosinya) malah terkesan mempertanyakan peran istri Jokowi dan Ahok. Seolah-olah istri Jokowi dan Ahok-lah yang seharusnya punya kewajiban untuk lebih peduli. Apakah hanya untuk sekedar peduli harus seperti berbagi-bagi tugas begitu?

Begitu banyak kalimat yang bertujuan untuk self defense yang sarat dengan kesan diplomatis dan lebih santun yang seharusnya bisa digunakan Ibu Ani untuk menanggapi para komentator akun Instagramnya. Misalnya, bisa saja Ibu Ani menjawab, “Ya, saya juga ikut prihatin dan peduli dengan bencana yang terjadi di beberapa daerah di negara kita. Tetapi bukan berarti saya harus berhenti melakukan hal-hal yang saya senangi kan?”. Tidak perlu jawaban yang bersifat pencitraan seolah-olah yang bersangkutan adalah seorang malaikat. Cukup dengan jawaban yang jujur dan apa adanya, tetapi dengan pemilihan kata dan kalimat yang tepat tentu tidak akan memancing konflik dan konotasi negatif yang justru bisa merugikan diri sendiri. Alih-alih malah justru bisa meraih simpati, karena saya percaya masyarakat juga sudah jengah dan muak dengan pencitraan sosok yang seolah-olah sempurna.

Begitulah perbedaan menyampaikan sesuatu secara lisan maupun tulisan. Se-frontal apapun sebuah kalimat, tetapi jika disampaikan secara lisan, bisa saja responder tidak melihat itu sebagai sesuatu yang frontal karena mimik dan bahasa tubuh si penyampai memberi sinyal bercanda atau intermeso. Beda halnya dengan menyampaikan sesuatu secara tulisan. Bahkan typo satu huruf saja, maknanya bisa berubah kontradiktif. Salah penempatan dan penggunaan tanda baca, bisa menghasilkan maksud dan kesan yang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan apa yang hendak disampaikan. Maksud baik yang awalnya hendak disampaikan bisa menjadi berbeda saat tersampaikan kepada pembaca karena kurang bijaksana dalam pemilihan kata-kata dan cara penyampaian. Inilah seharusnya yang perlu diperhatikan Ibu Ani saat memutuskan untuk mengecimpungkan diri dalam jagad media sosial dimana ada wadah yang sangat terbuka untuk berinteraksi dengan segala macam jenis karakter manusia.

Berkaca dari akun Twitter Pak SBY, mungkin memang Ibu Ani perlu menggunakan jasa administrator untuk menangani akun Instagram-nya. Mungkin Ibu Ani bukan termasuk pribadi yang pandai memilih kata-kata yang diplomatis atau santun untuk menyampaikan isi pikiran dan pendapatnya, sehingga beliau perlu didampingi oleh seorang administrator untuk menyampaikan respon berupa kata-kata mentah dari Ibu Ani yang dikonversi menjadi kalimat yang lebih santun dan arif selayaknya seorang Ibu Negara. Karena seorang Ibu Negara adalah pendamping Kepala Negara yang sering di-asosiasikan sebagai salah satu perwakilan negara dimata negara lain. Seorang Ibu Negara tentu saja perlu memberi citra yang positif dalam memberi tanggapan dan komentar, termasuk dalam ranah media sosial. Karena itulah yang membedakan sosok Ibu Negara dengan Julia Perez atau Nikita Mirzani yang cenderung blak-blakan tanpa filter dalam menyampaikan sesuatu. Sehingga di kemudian hari nanti, tidak ada lagi istilah ‘the first lady who’s not lady-like’.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun