[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Photo : SoloPos.Com"][/caption]
Tahun baru Imlek bukan tahun baru biasa. Disebut tidak biasa karena tahun baru milik warga keturunan Tionghoa ini memang berbeda. Berbeda bagaimana maksud loe? Begini ceritanya...
Tahun Baru untuk tahun Kabisat selalu jatuh pada tanggal 1 Januari setiap tahunnya. Sementara tahun baru Imlek tanggalnya justru selalu berbeda setiap tahunnya. Kalau tidak berbeda, berarti bukan tahun baru Imlek. Kenapa bisa begitu? Begini ceritanya...
Dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Tionghoa, ada dikenal sebuah kalender yang lagi-lagi berbeda dengan kalender biasa. Kenapa disebut bukan kalender biasa? Begini ceritanya...
Jadi di dalam masyarakat Tionghoa dikenal sebuah kalender yang dengan nama yang mungkin luput dari dugaan Anda. Bisa jadi barusan Anda akan menebak bahwa kalender tersebut akan memiliki nama yang khas cang-cing-ceng-cong. Tapi Anda salah, karena nama kalender tersebut adalah kalender Gregorian. Keren ya namanya? Bahkan lebih keren dari nama saya. Jadi penanggalan untuk tanggal pasti tahun baru Imlek setiap tahunnya ditentukan melalui kalender ini, termasuk penentuan shio-shio dengan nama aneka binatang peliharaan, kecuali macan dan naga. Atau ada di antara Anda yang memelihara macan atau naga? Ada? Pembohong!
Khusus mengenai shio-shio ini, saya selalu punya cerita lucu ketika berhadapan dengan anak-anak keturunan Tionghoa dulu di tempat saya bekerja sebagai guru. Sering mereka bertanya apa shio saya, sementara saya sendiri selalu lupa apa shio saya karena dari antara shio-shio yang tersedia tak ada satu pun yang merupakan binatang favorit saya, yaitu tupai. Jadi dengan cuek saya akan menjawab kalau shio saya adalah Godzilla. Tidak mau kalah, mereka akan memberi tau saya bahwa shio mereka juga tidak kalah keren dari shio saya, yaitu shio Ultraman. Ternyata kami sama-sama sontoloyo.
Khusus di Indonesia Raya Merdeka-Merdeka tercinta ini, perayaan tahun baru Imlek sempat dilarang ‘beredar’ sepanjang era pemerintahan Orde Baru (1968-1999) pada masa pemerintahan Soeharto. Sampai dibikinkan Impres segala, yaitu Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967, yang intinya bukan hanya melarang perayaan tahun baru Imlek, tetapi segala bentuk selebrasi yang berhubungan dengan budaya Tionghoa. Aneh ya?
Barulah setelah masa pemerintahan Abdurahman Wahid, presiden incumbent yang akrab dipanggil Gus Dur ini mencabut Inpres ‘gak jelas’ tersebut dan melalui Keputusan Presiden Nomor 19/2001 tanggal 9 April 2001 menasbihkan perayaan tahun baru Imlek bukan lagi perayaan terlarang, melainkan perayaan dan hari besar fakultatif. Fakultatif maksudnya boleh dirayakan oleh siapa saja yang merasa perlu atau wajib merayakannya.
Lalu pada masa pemerintahan Megawati, yaitu pada tahun 2003, tahun baru Imlek ‘naik kelas’ menjadi hari libur nasional. Jadi tidak peduli apa agama Anda, apakah Anda menyembah pohon pisang atau musyrik, selama Anda berada di Indonesia, maka Anda berhak mendapat hari libur pada hari yang bertepatan dengan perayaan tahun baru Imlek seperti halnya hari-hari besar lainnya.
Berbicara mengenai perayaan tahun baru Imlek yang pada tahun ini jatuh pada tanggal 31 Januari 2014, ada beberapa hal yang identik dan khas dengan perayaan tersebut, antara lain:
ANGPAO
Secara harafiah, angpao didefenisikan sebagai uang yang dibungkus dengan kertas berwarna merah yang diberikan kepada orang lain sebagai hadiah. Sebenarnya angpao ini bukan monopoli perayaan tahun baru Imlek saja, tetapi juga eksis pada perayaan dan upacara lainnya, seperti pernikahan, ulang tahun, bahkan saat selametan rumah baru. Pemberi angpao biasanya adalah orang yang sudah menikah, sementara penerima angpao adalah anak-anak dan orang-orang yang belum menikah. Kalau buat saya pribadi yang tidak mau rugi ini, kasus angpao ini akan menjadi sebuah dilema tingkat tinggi, apakah saya akan memutuskan menikah atau tidak. Pantas saja dulu teman-teman saya yang keturunan Tionghoa sering menanyakan apakah saya sudah menikah atau belum. Ternyata tujuannya adalah untuk mengetahui apakah saya layak mendapat angpao atau tidak. Padahal dulu setiap ditanya sudah menikah atau belum, saya selalu tersipu-sipu dan pura-pura malu (tapi mau banget dan siap rebah) karena mengira mereka akan ramai-ramai melamar saya untuk diajak membina dan mengayuh biduk rumah tangga.
LENTERA & DEWA PENJAGA PINTU
Pada saat perayaan tahun baru Imlek, banyak ornamen-ornamen yang menjadi hiasan. Ornamen-ornamen ini bukan hanya sekedar tempelan dan pajangan, tetapi ada nilai dan cerita historisnya. Misalnya lentera asal muasalnya adalah melambangkan penyelamatan. Jadi dulu zaman dahulu kala pada suatu ketika, terjadilah bencana banjir yang meliputi perkampungan masyarakat Tionghoa, kemudian mereka diselamatkan oleh serombongan orang-orang yang naik rakit sambil membawa lentera. Ya, ceritanya sesederhana itu. Jadi tolong jangan salahkan saya karena bukan saya yang membuat ceritanya seperti itu.
Lalu jika anda pernah menemukan gambar pria berpenampilan dandy dengan kostum a la busana tradisional Tionghoa ditempel di pintu, yakinlah bahwa itu bukan Jacky Chan atau Bruce Lee, apalagi Joe Taslim, melainkan gambar Jenderal Qin dan Yuchi yang melambang dewa penjaga pintu yang melindungi ruangan di balik pintu dari invasi dan ‘agresi militer’ kuasa dan kekuatan gelap serta jahat.
KUE KERANJANG
Saya pernah bekerja sebagai guru di sebuah sekolah swasta yang mayoritas siswanya adalah keturunan Tionghoa. Jadi setiap perayaan tahun baru Imlek saya sering kebanjiran kiriman kue keranjang dari murid-murid saya. Saat saya tanya “apa ini?”, maka mereka akan menjawab “kue keranjang”. Saya akan menanyakan dimana keranjangnya, lalu murid-murid saya akan memandang saya dengan tatapan prihatin. Padahal pertanyaan saya wajar lho. Namanya kue keranjang, tetapi sama sekali tidak ada keranjangnya. Bahkan kuenya tak sedikitpun menyerupai bentuk keranjang, melainkan berbentuk bulat lebar silinder terbungkus daun pisang seperti gula aren ukuran jumbo. Dan pertanyaan ini masih menjadi misteri buat saya sampai detik ini. Kenapa namanya kue keranjang?
MERAH
Tak peduli apa warna favorit anda atau apakah baju anda rancangan desainer kelas dunia, tetapi jika anda datang ke perayaan tahun baru Imlek dengan busana yang tidak berwarna merah, maka jangan salahkan orang-orang yang berbisik-bisik dibelakang anda bahwa anda salah kostum.
Merah memang merupakan warna khas tahun baru Imlek. Konon menurut cerita, dulu ada monster yang sering menganggu perkampungan warga. Pada suatu hari, sang monster mendadak lari terbirit-birit saat hendak menganggu perkampungan warga. Bukan karena di pintu masuk ada tulisan “AWAS, ADA ANJING GALAK” atau karena ada poster kampanye Farhat Abbas sebagai calon presiden. Bukan, bukan gara-gara itu. Tetapi karena sang monster melihat anak kecil memakai baju warna merah. Oleh karena itu, warna merah disinyalir bisa menakut-nakuti monster atau hantu. Yang penting jangan sampai bertemu dengan banteng saja ya, karena bisa bahaya.
BARONGSAI
Dulu saya pikir barongsai ini wujudnya naga, tetapi ternyata singa, karena barongsai artinya tarian singa. Ternyata ada singa dengan bulu mata lentik dan rajin berkedip-kedip genit seperti itu. Mungkin seperti itulah tabiatnya jika sang singa adalah jenis singa yang ‘mata duitan’. Jadi dalam perayaan tahun baru Imlek, barongsai yang ‘penggeraknya’ adalah dua orang yang bersembunyi di dalam replika singa berwarna meriah hip-hip hura-hura, jumpalitan sambil menari-nari, lalu para penonton akan memberi angpao sebagai hadiah. Sama seperti penari tiang ya. Habis menari, lalu dikasih uang. Bedanya, penari tiang diberi uang dengan cara diselipkan di bagian tubuh tertentu, sementara barongsai diselipkan di mulut. Ngomong-ngomong, diselipkan di mulut yang mana? Menurut loe?
Saya termasuk yang sangat menikmati pertunjukan barongsai ini, tetapi saya memilih untuk menikmatinya dari kejauhan saja. Entah kenapa, setiap kali saya menonton pertunjukan ini dari jarak dekat, barongsai ini pasti mengincar tubuh saya. Semakin saya menjauh, semakin bersemangat singa genit ini menguber-uber saya penuh minat, sehingga seperti menjadi bagian dari atraksi, karena penonton akan bersorak-sorak sambil tepuk tangan. Sialan! Pada saat dikejar-kejar seperti itu, saya berdoa sungguh-sungguh dalam hati mudah-mudahan orang yang berada dalam barongsai adalah orang yang jenis kelaminnya berbeda dengan saya.
Pada akhirnya, saya sangat berterima kasih pada Gus Dur yang sudah memiliki inisiatif untuk menjadikan Hari Raya Imlek sebagai Hari Raya yang wajib diapresiasi dan dirayakan, bukan sesuatu yang terlarang. Masyarakat Tionghoa adalah bagian dari masyarakat Indonesia dalam berbagai sendi dan bidang kehidupan. Tahun baru Imlek membuat mata saya terbuka bahwa ada kebudayaan lain di luar kebudayaan internal saya sendiri yang juga sarat makna dan nilai historis, yang tentu saja penting untuk memperkaya khasanah wawasan dan pergaulan saya, di mana saya semakin belajar untuk lebih menerima dan menghargai perbedaan serta belajar dari perbedaan itu. Saya sendiri sering disangka sebagai keturunan Tionghoa, dan saya senang-senang saja, meskipun sebenarnya saya lebih senang kalau disangka sebagai orang Prancis. “Voulez-vous coucher avec moi ce soir?” Sudah mirip kan? Tetapi untuk kesempatan kali ini, izinkanlah saya mengucapkan "Selamat Tahun Baru Imlek 2565, Gong Xi Fa Cai” untuk Anda semua yang merayakannya.
Begitulah ceritanya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H