Mohon tunggu...
Harrys Simanungkalit
Harrys Simanungkalit Mohon Tunggu... Freelancer - Hotelier

Manusia Biasa Yang Sering Overthinking

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Curhat (Mantan) Karyawan Sekolah Internasional

16 April 2014   00:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:38 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Photo : Metro.News"][/caption]

Kaget sekaligus miris membaca berita tentang pelecehan seksual yang menimpa anak umur lima tahun yang sejak kemarin mendominasi headline portal berita. Yang lebih memilukan, kejadian ini terjadi di salah satu sekolah yang terkenal dengan reputasi internasional di Jakarta. Di sini saya tidak akan menghakimi siapa-siapa. Saya hanya akan berbagi pengalaman sebagai seorang 'rakyat jelata' yang pernah mengenyam karir sebagai guru di sekolah internasional di Jakarta.

Saya harus akui bahwa screening oleh HRD untuk merekrut karyawan di sekolah internasional sangat ketat. Test psikologi bisa berlapis-lapis, apalagi saya seorang pria yang waktu itu akan ditempatkan sebagai guru Sekolah Dasar. Pengalaman melewati test berlapis ini sudah pernah saya tulis di Lika-Liku Test & Wawancara Kerja.

Jadi pihak sekolah benar-benar harus yakin 1000% (1000%, bukan 100%) bahwa saya bukan hanya sekedar cukup aman, tetapi benar-benar aman untuk berinteraksi dan berdekatan dengan murid-murid pada usia yang masih anak-anak. Bukan hanya latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang disorot, tetapi juga hal yang sangat pribadi. Misalnya siapa pacar saya sekarang, berapa jumlah mantan pacar saya, dulu putusnya bagaimana, apakah saya punya anak atau keponakan, bagaimana biasanya saya berinteraksi dengan anak-anak, seandainya saya punya anak bagaimana saya akan mendidik dan mengajarinya tentang nilai-nilai hidupdan lain-lain. Mulai dari yang sifatnya remeh temeh sampai yang serius. Mungkin terkesan konyol dan terlalu ribet, tetapi seperti itulah cara pihak HRD menyelami jiwa dan karakter calon karyawan yang sebenarnya. Dan karena kita juga niatnya baik, jadi bisa memakluminya, dan kita juga tidak keberatan menjawabnya dengan jujur.

Setelah saya lolos dan diterima menjadi karyawan, saya lihat memang persentase guru pria hanya sekian persen dari keseluruhan guru yang mayoritas perempuan. Mungkin kira-kira hanya sekitar 10%. Ibaratnya guru perempuan tidak terhingga jumlahnya, tetapi guru pria bisa dihitung pakai jari. Mungkin memang masih berlaku paradigma bahwa pria lebih berpotensi berbuat hal-hal negatif daripada perempuan, walaupun sebenarnya ini tidak selalu benar. Tetapi ya sudahlah!

Berinteraksi dengan murid dengan rentang usia enam dan tujuh tahun memang kadang serba salah. Sejak pembekalan yang dikenal dengan istilah Summer School yang digelar selama seminggu sebelum tahun ajaran baru dimulai, kita memang sudah diingatkan batasan-batasan interaksi dengan siswa. Jangan terlalu over, jangan pula terlalu kaku. Anak-anak kelas tiga sampai kelas enam sih tidak masalah. Di usia yang menjelang ABG, mereka sudah mulai tau batas-batasnya. Bersentuhan hanya sebatas salaman dan pukul gemas. Maksudnya mereka yang memukul kita karena gemas, bukan sebaliknya. Namun siswa kelas satu dan dua yang masih polos tentu belum berpikir seperti itu. Mereka akan melakukan apa yang menurut mereka asyik dan menyenangkan tanpa pernah tau (atau belum tau) apa efek atau dampak yang bisa terjadi.

Bukan sesuatu yang jarang ketika kita duduk, tiba-tiba siswa-siswi kelas satu dan dua, baik yang  perempuan maupun yang laki-laki berebutan ingin duduk di pangkuan kita. Kadang malah yang lelaki dengan cueknya meloncat ke punggung dan bergelantungan di leher kita. Tak ada tendensi aneh-aneh, mereka memang hanya sekedar meluapkan karakter dan jiwa mereka apa adanya saja. Mereka menganggap jiwa kita sama dengan jiwa mereka yang masih lugu. Bisa juga ini adalah indikasi bahwa mereka merasa dekat sekaligus mempercayai kita.

Bahkan kadang saat jam istirahat, anak-anak yang kejar-kejaran menjadikan kita sebagai ‘pohon’ atau ‘tiang’ untuk menghindari kejaran lawan. Namanya juga kejar-kejaran, tangan pasti kemana-mana. Kalau tidak sigap, tangan-tangan kecil itu bisa menyentuh 'area-area terlarang' kita. Pada poin ini jelas saya bersyukur bahwa saya lulus rangkaian test dari HRD beberapa waktu yang lalu memang untuk alasan yang sangat vital. Anak-anak ini masih begitu polos, belum tau apa-apa, masih sangat ‘lemah’, belum bisa memproteksi diri dan sangat berpotensi menjadi sasaran perlakuan dan pikiran yang negatif. Kadang sangat menakutkan kalau menyadari bahwa kita dihadapkan hanya pada dua pilihan : melindungi atau justru memanfaatkan situasi.

Saya setuju dengan ide menanamkan Underwear Rules kepada anak-anak sejak dini. Underwear Rule ini tidak ada hubungannya dengan celana dalam, tetapi mengenai aturan dan batasan dari orang lain terhadap diri anak-anak. Misalnya bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh oleh orang lain, bagaimana bersikap terhadap orang asing, berani mengatakan tidak jika merasa tak nyaman, berani melaporkan segala hal yang dirasa melanggar aturan, termasuk melaporkan bully dalam bentuk verbal maupun fisik. Segala yang negatif harus dihentikan, bukan dibiarkan.

Yang saya sesali dari kasus pelecehan anak usia lima tahun di sekolah internasional itu adalah sang pelaku berasal dari karyawan outsourcing untuk jasa cleaning service. Memakai agen outsourcing sama seperti membeli burung dalam sarung. Eh, ada ya istilah seperti itu? Itu artinya pihak sekolah mengandalkan pengelola outsourcing untuk memasok karyawan di sekolah tersebut dengan standar dan kwalitas karyawan yang berbeda dengan standar dan kwalitas yang disyaratkan pihak sekolah. Ini berarti karyawan tersebut tidak melewati screening berlapis dari HRD seperti layaknya yang dialami karyawan tetap sebelum direkrut bekerja disitu. Padahal posisi dan akses antara karyawan tetap dengan karyawan outsourcing mungkin sama di lingkungan sekolah. Karyawan yang melalui screening HRD jelas pasti punya komitmen terhadap tanggung jawab selama berada di lingkungan sekolah, karena didukung oleh latar belakang pendidikan yang jelas dan juga kondisi psikis yang tepat. Karyawan outsourcing bisa jadi tidak, karena mereka cenderung berpikir mereka hanya tenaga lepas di sini. Mereka tidak digaji langsung oleh pihak sekolah, tetapi melalui pengelola outsourcing, itupun setelah dipotong biaya ini dan itu. Fasilitas dan tunjangan yang diterima karyawan tetap juga tidak sama dengan karyawan outsourcing. Jelas berbagai keadaan yang tidak berpihak pada mereka ini membuat komitmen mereka juga berkurang.

Ada yang luput dari perhatian pihak sekolah. Pihak sekolah cenderung lebih fokus memantau pihak luar yang datang ke sekolah, padahal pelaku kejahatan bisa datang dari mana saja. Bisa dari orang luar, bisa dari orang dalam. Jalan terbaik seharusnya adalah dengan merekrut sendiri karyawan yang benar-benar sudah teruji dan dipercaya oleh HRD sesuai standar instansi yang bersangkutan, agar karyawan yang seliweran di lingkungan sekolah bisa diharapkan komitmen dan tanggung jawabnya, termasuk memiliki naluri melindungi dan membela jiwa-jiwa yang berada dalam posisi tidak atau belum bisa melindungi dan membela dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun