Kutinggalkan semua. Kusimpan. Mencoba istirahat dan tidur. Sampai akhirnya siang itu aku bangkit dari meja kerja, menghampiri rak buku, dan mencari Romo Sindhu (Bola di Balik Bulan) dan Gus Dur (Gus Dur dan Sepakbola).
***
Selepas isya, kedua buku itu masih tergeletak di meja. Bertumpuk. Belum kurapihkan dan kembalikan ke raknya. Aku ke dapur menyeduh kopi, membakar sebatang rokok, lalu menimbang-nimbang buku Romo Sindhu.
Temlen Twitterku masih berkabung. Algoritma sialan, hanya karena tadi siang aku mencari video Maradona, temlenku justru terisi dan dipenuhi Maradona.
the great maradona, world cup'86: the greatest. pic.twitter.com/F929GIOWIt— Kangmas Harry (@_HarRam) November 26, 2020
Yang tidak kuduga: orang-orang yang dulu kuanggap tidak paham sepak bola hingga ikut bersedih atas kepergian Maradona. Padahal aku yakin: orang-orang itu mungkin tidak tahu jumlah pemain yang bertanding dalam sepak bola.
Karena itulah tiba-tiba kuingat esai Romo Sindhu tentang Piala Dunia 1994, Amerika Serikat, yang ada di buku Bola di Balik Bulan.
Bukunya tebal. Mana mungkin aku cari dengan membaca semua. Kuperhatikan baik-baik halaman Daftar Isi, aku kira-kira mana yang ada kaitannya dengan Amerika Serikat. Naas betul memang nasib pelupa itu. Aku lupa esai itu judulnya apa.
Pasadena. Ya, itu tempat digelarnya final Piala Dunia 1994. "Di Tengah Jalan ke Pasadena", judulnya!
Aku suka sekali esai itu. Romo Sindhu mampu menangkap dan menceritakan poin penting yang menarik: Amerika Serikat bukanlah negara yang begitu menyukai sepak bola, tapi justru mereka jadi tuan rumah Piala Dunia. Bahkan padanan sepak bola di Amerika itu Soccer, bukan Football.
Mungkin waktu pengajuan dan penunjukan Amerika sebagai tuan rumah, orang-orang Amerika bingung: ada federasi Football lain yang tidal kalah besar, selain NFL. FIFA, namanya.
Dan memang orang Amerika tidak ada yang peduli pada kejuaraan itu. Jika tampak meriah, itu karena orang Amerika senang pesta.
Kalaupun ada orang Amerika yang tertarik pada pertandingan sepak bola, barangkali, imigran yang negara asalnya lolos Piala Dunia. Pada akhirnya sepak bola membuat para imigran ini serasa kembali ke tanah air dengan ikatan primodial kala mendukung di stadion.