Itu semua mengingatkanku, secara tidak langsung, pada 2 peristiwa tersebut.
***
1/
Poligami bahkan bisa terjadi karena kemauan satu atau dua belah pihak yang tidak ingin menghancurkan harapan keluarga. Poligami yang dilakukan secara diam-diam itu, kita tahu, pasti perlahan akan diketahui orang.
Membatalkan pernikahan yang sudah jauh-jauh, apalagi karena seorang lelaki sudah menikah, tentu akan menyakitkan hati kedua belah pihak keluarga. Menanggung malu, barangkali, atas hal-hal yang bisa dibayangkan.
Tetapi, terlepas dari itu semua, niat Dewi tetap menerima bahkan melangsungkan pernikahan dengan Puji --calon suaminya itu-- adalah menghargai setiap usaha orang-orang yang mau-tidak-mau terlibat dalam urusan pernikahan itu.
Dewi mencontohkan, adanya keterlibatan adik-adiknya yang menjadi penari pada pesta pernikahan mereka. Partisipasi itu, menurut Dewi, tidak bisa terbayarkan.
2/
Kepatuhan anak terhadap orang tua ketika suka-atau-tidak, tetap menjalankan hubungan poligami. Pada bagian ini, Maria A. Sardjono menggambarkannya lewat fragmen meminum jamu pengantin.
Awalnya ketika mereka sudah berada di kamar pengantin, Puji seperti mencium aroma yang sedikit tidak sedap. Melihat gelagat itu, Dewi langsung sadar kalau itu bersumber dari jamu yang dibuatkan oleh Ibunya.
Apalagi saat Puji bertanya, "besar khasiatnya?"
Dewi dengan cepat menjawab itu sambil memincingkan matanya, melirik Puji dengan paling hina yang ia bisa. Sebab arah pertanyaan Puji sudah mulai menjurus.
Jamu itu, jawab Dewi, diminum bukan karena khasiatnya --juga bukan karena keinginannya yang bukan-bukan. Jamu itu diminum oleh Dewi karena begitu menghargai orang yang telah membuatnya. Sebuah bentuk rasa hormat dan cinta dari seorang anak kepada orangtua yang masih sempat-sempatnya membuatkan jamu setelah seharian lelah melaksanakan pesta pernikahan.
3/
Tentang cinta yang ada dan tumbuh atau berkurang dalam hubungan poligami.