Inilah jalan yang dulu pernah aku kenali. Ya, dulu, sesore itu, aku melihatmu turun dari awan putih yang lembut menuju pelukan Ibumu. Dan seperti yang sudah-sudah, setiap kepulanganmu selalu ditandai dengan hujan yang rintik, lampu-lampu jalan yang menyala ranum, lalu beberapa bunga di dekat rumahmu bermekaran.
Bahagia memang bisa datang dari apa saja. Semisal pertemuan kembali seorang Ibu dengan kepulangan putri satu-satunya itu.
Ibumu yang sudah lama menunggu kepulanganmu, barangkali menjadi orang pertama yang bahagia sore itu. Yang kedua, aku. Tapi tidak untuk adikmu. Yang aku tahu sedari dulu kamu memang tidak pernah akur dengannya. Biarlah! Mungkin nanti, di suatu waktu, ketika aku datang dengan segenggam bunga mawar yang di dalamnya aku selipkan puisi untuk melamarmu, kelak adikmu akan senang. Semoga.
Namun ada kabar buruk untuk adikmu: aku belum berani melakukan itu. Sabar, pintaku.
Pada sore hari yang rintik, rambutku sudah setengah basah. Hujan lama-lama turun cukup deras juga. Tapi aku selalu suka hujan-hujanan, seperti katamu, pupuk yang paling bagus untuk menyuburkan harapan dan kenangan di kepala, ialah air hujan. Maka aku diam di luar bermandi hujan. Aku merasakan pupuk itu mulai menyemai angan.
Asal kamu tahu, di sebuah rumah yang hampir rubuh, di sana aku berteduh. Ketika hujan semakin deras itu, aku sama sekali tidak berani datang ke rumahmu, sebab ada yang lebih menakutkan dari anjing galak. Bapakmu. Lebih baik aku tertimpa genteng dan kaso daripada selalu dicemberuti jika bertemu. Tapi biar bagaimana pun juga, ia tetap orang yang punya andil besar dalam kehadiranmu. Ada yang mesti kamu ingat, hormatku selalu untuk Bapakmu. Tanpanya mungkin aku lebih memilih suka terhadap sesama.
Entah kenapa, tiba-tiba hujan berhenti. Begitu saja, tanpa ada satu atau dua titik hujan yang tertinggal. Kemudian senja menampakan wujudnya. Malaikat datang dengan kuda putih bersayap. Ia menculikmu diam-diam.
Tidak ada yang melihat, hanya aku. Ibumu barangkali di dapur menyiapkan makanan kesukaanmu. Bapak dan adikmu sedang asyik main catur di teras sambil bertukar menteri dan kuda.
Hujan kembali turun. Amat deras. Ibumu menangis. Lalu, ibumu keluar rumah, hujan-hujanan oleh airmatanya sendiri. Apalagi yang ia harapkan selain kepulanganmu, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H