Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seperti Istiqlal dan Katedral, Kedua Warung Bakso Ini Saling Menatap dalam Perbedaan

25 Desember 2018   20:47 Diperbarui: 26 Desember 2018   01:07 2085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertanyaanku awalnya sederhana saja: bedanya bakso malang dengan bakso arema itu apa?

Alih-alih menjawab, orang-orang yang aku tanya malah mengumpat. Bukan untuk mempermasalahkan. Meski secara ujud dan penyajian jelas-jelas jenis kedua bakso ini memang berbeda. Etapi, tunggu..., kamu tahu kan bakso malang itu seperti apa dan bakso arema itu yang mana?

Bakso malang itu, yang aku tahu, dalam satu mangkok ayam jago terdiri atas: bakso, pangsit, tahu putih, bakso goreng, dan somay  --tanpa mi kuning atau bihun/soun. Sebagai pelengkap, ada bawang goreng, irisan seledri, dan..., tambahan pangsit ke Abangnya ketika kuah masih lumayan tersisa banyak --dan kolaborasikan kembali saus dan kecap untuk pangsit tersebut.

Lalu bagaimana dengan bakso arema? Seperti bakso arus utama pada umumnya, bakso arema yha seperti itu tok. Ada bakso besar yang di kelilingi beberapa butir bakso kecil lainnya. Bakso arema menggunakan mi kuning atau bihun/soun. Pokoknya mirip dengan bakso yang sering lewat di depan rumah atau di sekolah-sekolah.

bakso arema~ DOKPRI
bakso arema~ DOKPRI
Nah, jadi bedanya bakso arus utama dengan bakso arema apa? Hanya satu dan jelas, tetapi hanya aku yang (baru) menyadari rupanya: stiker klub sepakbola Arema Malang dalam ukuran besar yang ditempelkan di kaca gerobaknya.

***

Tepat di depan kantor --rada kiri sedikit--ada dua warung bakso yang beda aliran: bakso malang dan bakso urat (arema-an). Keduanya, bagiku sejauh ini, masih jadi bakso terbaik yang ada --yang pernah aku coba.

Lokasi kedua warung bakso ini berseberangan. Bakso malang di kiri, sedangkan bakso urat di kanan. Jika kamu berjalan di pembatas jalan, kamu akan melihat kedua warung bakso ini saling menatap antara satu dengan lainnya; seperti Istiqlal dengan Katedral.

Selain kedua bakso ini enak, harganya juga sama: 15 ribu per-porsi.

Beberapa minggu ini aku memang lebih condong ke kanan, memilih bakso urat arema-an itu untuk makan siang. Alasannya sederhana: pelampiasan atas diet kolesterol. Jahat memang, tapi itu terjadi secara naluriah saja.

Bayangkan bakso urat sebesar kepalan tangan yang masih ditambah 3 serdadu bakso kecil dan potongan tetelan yang aduhai betul kalau dikunyah. Kemudian tambahkan sedikit saus dan sambal, lalu aduk kuah bakso itu dengan kecap yang lumayan banyak. Pedas-manis atau manis-pedas, entah mana yang lebih dulu, adalah perpaduan terbaik sebagai kudapan penyambut musim hujan.

Bakso Ojolali, namanya. Tadinya bakso gerobakan yang keliling dan mangkal. Maksudnya kalau siang di depan kantor sampai sore, nah sore sampai habis mangkalnya pindah ke gang pisang dekat stasiun Palmerah. Tapi sudah 3-4 bulan ini Mamangnya stay di satu ruko. Tidak terlalu besar, hanya saja nyaman: di sana ada juga pendingin minum dan minuman seduhan lainnya. Jadi sepedas apapun ketika meracik kuah tetap aman.

Pesananku selalu sama: mi kuning dengan tauge, tanpa micin. Ketika disajikan, satu mangkuk penuh terlihat kalau bakso, mi kuning, dan touge tengah berdesakan.

Kadang kalau sedang makan di sana aku selalu membayangkan: satu porsi bakso ini tak ayal sebuah masjid yang digunakan Jumatan.

Maksudku, sadarkah kamu laki-laki, yang tidak pernah absen Jumatan, kalau sebanyak apapun jamaat yang datang ke masjid untuk Jumatan selalu penuh. Dan yang membuatku menarik: jumlahnya boleh tidak menentu, tapi yang pasti adalah masjid selalu cukup menampung jamaat.

Boleh percaya atau tidak, masjid ketika dipakai Jumatan bisa melebar dengan sendirinya tanpa yang lain tahu. Aku percaya itu --sampai saat ini tentu. Seperti itulah satu mangkuk bakso Ojolali. Rasa-rasanya bakso uratnya selalu berbeda ukuran, entah makin besar atau kecil, yang jelas dalam satu mangkuk itu selalu saja muat.

***

Tak ada yang lebih menyiksa, bagi perokok, ketika hujan sedang deras-derasnya tapi kehabisan rokok. Dan itulah yang aku rasakan sore itu di kantor. Temanku mengajak ke Indomaret seberang kantor, ada yang ingin dibeli atau apa, aku lupa, tanpa pikir panjang aku ikut saja.

Tak apa sedikit kebasahan asalkan aku terselamatkan dari kesialan yang menyiksa tadi.

Kendaraan memang tidak bisa berpikir, sudah tahu di jalan banyak genangan air tetapi mereka masih saja melaju tanpa peduli ada pengguna jalan lainnya, pejalan kaki, yang bisa terciprat. Kadang aku berpikir: untuk bisa menjadi kaya --bisa membeli dan memiliki kendaraan pribadi-- dan bodoh secara bersamaan itu susah juga.

Akibat sedikit terciprat genangan air, akhirnya aku mengajak temanku untuk melipir ke warung bakso malang. Hitung-hitung mengeringkan celana.

Aku pesan satu porsi dengan meminta untuk tidak pakai bakso dagingnya. Rugi, menurutku, kalau beli bakso malang masih pakai bakso dagingnya: sebab pasti ukurannya keciln (sekali) dan harganya sama dengan jenis lain yang ada.

Untuk urusan seperti ini, sedikit kapitalis tak apa. Aku pinta tahu putih sebagai pengganti bakso dagingnya, karena di dalam tahu putih itu terselip sedikit baksonya. Secara jumlah sama, tapi secara porsi punyaku jadi jauh lebih "banyak".

Itu merupakan kali pertama aku mencoba bakso malang di depan kantor. Enaknya bukan kepalang. Kuahnya menyegarkan. Aku ingat apa yang diucapkan (alm) Pak Bondan Maknyus: cara menilai enak atau tidaknya bakso itu dari kuahnya, kalau ia bisa membuat kuah yang enak, biasanya bakso di warung bakso itu enak.

Tetapi sausnya tidak penting-penting amat, sebab sambalnya yang juara: tidak kental, tapi pedasnya tidak terkira. Kalau sudah kutuang di mangkuk, pasti segera kuselimuti kecap --yang lumayan banyak.

Dalam satu porsi bakso malang itu, pilihanku yaitu 1 bakso goreng, 1 somay, 3 tahu putih, dan 2 pangsit goreng. Bagaimana, sudah terbayang seperti apa penuhnya mangkuk baskoku? Dulu harganya cuma 13 ribu.

Murah, mengenyangkan, dan enak adalah utamaku untuk selalu mau kembali ke sana. Jika sedang masuk siang, sebelum masuk kantor, aku kerap langsung mampir saja. Kadang ditanya satpam yang berjaga di luar, "kok gak belok, malah lurus, mau ke mana?"

Namun, semenjak tidak ada meja untuk makan, aku jadi jarang ke sana. Sebab aku pasti memisahkan pangsit goreng untuk dimakan belakangan, jadi kalau tidak ada meja, aku malah ribet sendiri makannya. Terlepas dari itu, baru itu bakso malang terenak sejagat raya alam dunia.

Makanya, ketika aku jarang ke tempat bakso malang dan mampir makan di tempat bakso Ojolali, aku sering memandang ke seberang dan melihat betapa damainya aku hidup ini meski keduanya warung bakso ini berbeda. Begitu juga sebaliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun