Untuk urusan seperti ini, sedikit kapitalis tak apa. Aku pinta tahu putih sebagai pengganti bakso dagingnya, karena di dalam tahu putih itu terselip sedikit baksonya. Secara jumlah sama, tapi secara porsi punyaku jadi jauh lebih "banyak".
Itu merupakan kali pertama aku mencoba bakso malang di depan kantor. Enaknya bukan kepalang. Kuahnya menyegarkan. Aku ingat apa yang diucapkan (alm) Pak Bondan Maknyus: cara menilai enak atau tidaknya bakso itu dari kuahnya, kalau ia bisa membuat kuah yang enak, biasanya bakso di warung bakso itu enak.
Tetapi sausnya tidak penting-penting amat, sebab sambalnya yang juara: tidak kental, tapi pedasnya tidak terkira. Kalau sudah kutuang di mangkuk, pasti segera kuselimuti kecap --yang lumayan banyak.
Dalam satu porsi bakso malang itu, pilihanku yaitu 1 bakso goreng, 1 somay, 3 tahu putih, dan 2 pangsit goreng. Bagaimana, sudah terbayang seperti apa penuhnya mangkuk baskoku? Dulu harganya cuma 13 ribu.
Murah, mengenyangkan, dan enak adalah utamaku untuk selalu mau kembali ke sana. Jika sedang masuk siang, sebelum masuk kantor, aku kerap langsung mampir saja. Kadang ditanya satpam yang berjaga di luar, "kok gak belok, malah lurus, mau ke mana?"
Namun, semenjak tidak ada meja untuk makan, aku jadi jarang ke sana. Sebab aku pasti memisahkan pangsit goreng untuk dimakan belakangan, jadi kalau tidak ada meja, aku malah ribet sendiri makannya. Terlepas dari itu, baru itu bakso malang terenak sejagat raya alam dunia.
Makanya, ketika aku jarang ke tempat bakso malang dan mampir makan di tempat bakso Ojolali, aku sering memandang ke seberang dan melihat betapa damainya aku hidup ini meski keduanya warung bakso ini berbeda. Begitu juga sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H