Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Tirai Warteg Itu Tirai Kehidupan

30 November 2018   05:05 Diperbarui: 30 November 2018   10:21 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas Images/Roderick Adrian Mozes

Ada momen filosofis ketika tirai Warteg (Warung Tegal) dibuka oleh penjualnya dan disajikan kepada pembelinya. Proses singkat itu, tentu saja, ada dalam satu perhitungan antara apa yang kita suka, yang kita inginkan dan kemampuan kita membayarnya.

Kadang memang tidak sesuai harapan, tapi ketika penjual sudah menyajikannya kepada pembeli, itu menjadi pilihan terbaik.

Warteg adalah cerminan hidup. Kehadirannya menandakan: manusia memang sejatinya sebagai makhluk sosial; yang hidup dan menghidupi. Ia juga bukan sekadar warung tempat makan, tapi Warteg bisa menjadi indikator ciri kelas sosial; itu bisa dilihat dari apa yang dipesan --meski tidak selalu.

Menariknya, kerap kali ramai-tidaknya Warteg tidak ditentukan oleh rasa masakannya, tetapi posisi strategisnya. Semakin mudah akses pembeli menuju Warteg bisa menjadi faktor X tersebut. 

Apalagi jika menilik pemikiran Montanari dari buku Food is Culture bahwa rasa, katanya, merupakan produk budaya yang terbentuk dari hubungan makanan dengan ruang-ruang geografis, bahasa dan identitas.

Jadi jika dimaksukan dalam konteks ini, lokasi Warteg bisa menjadi penentu utama. Misalnya, Warteg yang ada di pinggir jalan raya tidak akan seramai Warteg yang ada di sekitaran kawasan pabrik-pabrik. 

Namun, apakah Warteg benar-benar tidak melulu soal rasa masakannya? Seorang gastronom asal Prancis, Jean Anthelme pernah merumuskan fisiologi rasa. Menurutnya, rasa adalah indra yang terhubung dengan sensasi kenikmatan; di mana tubuh menyadari sensasi itu sendiri.

"Sebagai perangsang selera, lapar dan haus, rasa adalah dasar yang menghasilkan bagaimana individu bertumbuh, berkembang, merawat dan membenahi kehilangan-kehilangan (atas makanan yang sebelumnya dikonsumsi) sebagai akibat dari perubahan vital," katanya dari buku Sri Owen yang berjudul New Wave Asian: A New Look at Southeast Asian Food.

***

Jika melihat perkembangan Warteg sekarang ini, ada baiknya melihat kehadiran-kehadiran Warteg tersebut dan menerka mengapa bisa bertahan, berkembang dan kemudian menjamur di setiap sendiri ruang sendi kehidupan.

Jika melihat wawancara Tokoh Warteg, Asmawi, bahwa kemunculan Warteg itu bermula pada tahun 1960-an. Itu seiring-sejalan dengan tema pembangunan infrastruktur besar-besar di Ibu Kota, Jakarta.

Kesempatan tersebut, katanya, dimanfaatkan oleh warga Tegal yang bermigrasi dari tempat asalnya ke Jakarta.

"Mereka saat itu kebanyakan bekerja sebagai buruh bangunan dan tinggal di lokasi proyek dengan membuat bedeng," lanjutnya.

Barulah ketika disela kesibukan para pekerja bangunan tersebut, sebagian istri memulai bisnis kuliner di sekitar lokasi proyek. Nasi ponggol, begitu dulu mereka menyebutnya. Isinya cukup sederhana: nasi yang dibungkus dengan daun pisang bertemankan lauk sambal tahu dan tempe.

"Menu itu merupakan makanan khas Tegal yang sudah turun-temurun dan diperkirakan sudah ada sejak setengah abad lalu," kata Asnawi, menambahkan.

Nasi ponggol diperkirakan adalah cikal-bakal Warteg itu sendiri. Sebab, fokusnya ketika itu adalah makanan yang mengenyangkan dan murah. Tidak lebih. Maka dari itu, nasi ponggol menjadi favorit para pekerja proyek bangunan yang pekerjaannya menguras keringat.  

Ini seakan mengidentifikasikan laiknya Jeffrey M. Pilcher dalam bukunya Food in World History tentang sejarah terbentuknya kebiasaan makan manusia. Dua di antaranya yaitu (1) berkembangnya perbedaan kelas seiring distribusi makanan yang dijadikan simbol kemakmuran. Dan, (2) terkait dengan bentuk-bentuk identitas sosial yang juga turut andil dalam pembentukan kebiasaan makan.

Pembagian kelas ini pula yang, barangkali, menjadikan Warteg diisi oleh banyak kelompok itu. Dan baiknya, Warteg terbantu hubungan antar-kelompok yang kelak memunculkan identitas komunal.

Nasi ponggol diperkirakan adalah cikal-bakal Warteg: nasi yang dibungkus dengan daun pisang bertemankan lauk sambal tahu dan tempe.

Kemudian negara hadir. Pembentukan budaya makan yang sudah puluhan tahun terbentuk dari kelas pekerja ini, lalu negara memosisikan diri untuk menentukan produksi dan pengindustian. Tentu topik rumah makan akan dikenakan pajak oleh pemerintah (khususnya Jakarta) kembali segar dalam ingatan. Bagimana mungkin dengan dasar pemikiran manejemen buruk, membuat rumah makan mesti dikenakan pajak?

Ketika wacana tersebut ramai diperbincangkan, Ajie Marzuki Adnan membuat catatan yang patut disimak: Pajak Warteg dan Karakteristik Penjajah.

Dalam catatan itu, Ajie Marzuki Adnan membandingkan atas apa yang dulu pernah ditetapkan oleh pemerintah Belanda. Mulai dari pajak panen, pajak penjualan hasil panen, pajak penghasilan (untuk ambtenaar/pegawai negeri) dan berbagai macam pajak lainnya.

"Semua pajak-pajak ini diberlakukan pemerintah kolonialis dengan alasan sama seperti yang sekarang diwacanakan oleh pemerintah DKI, yaitu untuk meningkatkan pendapatan negara," tulisnya.

Kesan warteg yang tercipta selama ini, menurutnya, identik dengan masyarakat ekonomi rendah.

"Bagi orang-orang tersebut, Warteg adalah sang messiah, sang "juru selamat" bagi kebutuhan perut mereka," lanjutnya dalam catatan tersebut.

Dengan semakin banyaknya Warteg di Jakarta seperti sekarang, misalnya, merupakan potensi besar untuk meningkatkan kualitas.

Akhmad Sujadi bahkan pernah membedah Warteg yang ada di Jakarta. Meski katanya tampak "kumuh", paling tidak bisa disulap dengan tampilan modern warungnya, kemasan penyajian, higienis masakan dan penampilan pelayan atau penjualnya.

Dari apa yang sempat ditulis Akhmad Sujadi tersebut, Warteg berpotensi dinaikkan gengsinya. Karena (Warteg) bisa menjadi ikon kuliner khas Indonesia.

***

Dalam pengelolaan makanan, memang semakin lama semakin tidak terlalu tidak disadari akan rasa dan tempat. 

Aturan mengenai rasa, misalnya, dalam tesis yang dibuat Fadly Rahman Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia menjelaskan, pengelolaan rasa dalam makanan sendiri memiliki intuisi dalam proses seleksi bahan-bahan makanan untuk mewujudkan citarasa tertentu.

Pada akhirnya Warteg memiliki peran yang tidak bisa dianggap sekadar tempat makan belaka. Warteg menjadi sesuatu yang nisbi: yang bersinggungan dengan berbagai biner ruang hidup manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun