Tidak lama seorang anak perempuan keluar dari kelasnya peang. Hanya satu orang. Oh, mungkin dia bisa menjawab dengan benar pertanyaan yang diberikan guru jadi boleh pulang duluan, pikirku.
Dulu juga aku seperti itu. Mungkin aku di kelas bukan anak unggulan, tapi perkara cepat-cepatan pulang, aku jagonya. Aku selalu bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan laiknya teman sekalas peang itu. Makanya aku urusan memerhatikan penjelasan guru selalu bisa, perkara pelajaran itu bisa aku ingat sampai di rumah tentu jadi lain cerita. Setidaknya memerhatikan guru di kelas bisa menyelamatkanmu lebih cepat keluar kelas. Itu saja dulu.
Bagaimana caraku agar supaya murid-murid mendengarkan dan paham setiap pelajaran dari guru? Cukup progresif, kan?
Suara gurunya peang meninggi. Terdengar seperti sedang kesal.
"Jadi dalam satu paragraf terdiri dari berapa kalimat?" tanya gurunya peang.
"Satu..., duaaaaaa..., satuu..., duaaaaa...," satu kelas menjawab dengan ribut, berbarengan.
"Satu paragraf itu terdiri dari 3 sampai 4 kalimat," kata gurunya peang menimpali jawaban murid-muridnya. "Makanya kalau lagi dijelasin kalian pada bengong sama main sih," lanjutnya.
Waduh. Aku malah jadi kaget sendiri. Ada dua hal yang kemudian menjadi pertanyaan besar saat gurunya menjawab sendiri pertanyaannya. Yaitu, (1) apa gurunya peang tidak pernah baca berita di media daring? Apakah masih banyak yang masih menggunakan konsep tersebut dalam kegiatan hariannya?
Tentu aku berani jamin: tidak!
Tidak ada media daring (itupun kalau masih ada paling jumlahnya amat sedikit. Jadi tidak ada bedanya; seperti hunian DP nol persen dengan satu persen) saat ini yang menggunakan konsep itu. Alasanya cukup beragam, tapi garis besarnya adalah supaya pembacanya tidak capek saat membaca berita yang panjang-panjang (termasuk laporan panjang sekalipun).
Itulah kenapa, era kiwari, pelaku media lebih suka memenggal jadi beberapa halaman. Sepertinya, yha. Tapi bukankah itu masuk akal?