Kelelahan itu hadir. Paling tidak jika diskursusnya itu seputar Pemimpin dan Yang-Dipimpin. Hubungan kedua subjek itu sungguh tidak mencerminkan apa-apa selain jenuh.
Dan saking jenuh dan lelahnya, barangkali, mz Irwan Bajang pada akhirnya menerka sendiri cerita tentang hubungan tersebut. Ia menulis sebuah kumpulan cerita fiksi 'hantu, presiden, dan buku puisi kesedihan'.
***
Sekolah itu penting, hal sederhana yang bisa diambil dari itu adalah disiplin, semisal, mengganti buku bacaan yang (hendak) dibawa di tas dalam perjalanan. Sudah tiga balik aku membaca buku itu. Setidaknya dalam satu minggu ini.
Tidak bosan. Sungguh. Hanya saja apa yang dibahas dalam buku itu, entah kenapa, seakan related dengan apa yang dibicarakan akhir-akhir ini. Pergantian pemimpin, merayakan jatuhnya kediktatoran, perlawanan atas kemenangan dan lain-lainnya, tentu saja.
Namun, buku ini terasa betul begitu intim. Kesedihan-kesedihan yang hadir. Kegelisahan yang meratap setiap malam, kesendirian yang berdatangan, atau apapun, selalu seputar dunia kepenulisann --terutama (menjadi) penulis itu sendiri. Buku inilah, setidaknya, bisa merepresntasikan pandangan politis penulis secara umum.
Seno dalam hal ini benar, jika politik tidak mampu mengubah dunia biar sastra yang bicara.
Cara-cara radikal yang, barangkali, hanya bisa dibayangkan, ditulis mz Irwan Bajang tanpa tendeng eling-eling. Contohnya dalam cerita yang berjudul 'Sang Presiden dan Buku Puisi Kesedihan'. Hari di mana diktator itu turun dari kekuasaan dan berganti dengan pemimpin baru malah mendatangkan masalah. Begini makdudnya: caranya baik, namun kebijakananya yang dikeluarkan malah keliru.
Bayangkan saja: lewat kepemimpinan (yang) baru itu ia meminta rakyatnya tidak boleh bersedih. Aku kutip utuh bagian tersebut: Jumat adalah hari yang sakral, hari kemerdekaan baru. Tak ada yang boleh bersedih mulai hari itu. Rakyat begitu gembira. Sejak hari itu tak ada lagi rakyat yang bersedih.
Mana ada yang tidak ingin dipimpin pemimpin macam itu? Hanya para pemalas tentu. Dan percayalah, setiap kebijakan selalu ada yang dimenangkan dan dikalahkan. Dalam hal kebijakan tersebut mz Irwan Bajang menybut kalau seniman dan sastrawan yang dikalahkan.
"Kenapa kita tidak boleh bersedih? Kesedihan itu menenangkan. Kamu tak bisa hanya bisa tertawa." tulis mz Irwan Bajang. Tentu. Hanya dalam cerita itu para seniman dan sastrawan bepikir kuno seperti itu. Tidak seperti sastrawan yang keluyuran di media sosial memuja (berlebihan) pemimpin (yang memberi harapan kepada rakyatnya).
Dan baru setelah itulah mz Irwqn Bajang radikal betul melawan pemimpin macam itu: seniman dan sastrawan membuat pertemuan rahasia. Hasilnya, mereka melawan dengan bakal masing-masing bidang. Penyair membuat puisi paling sedih, pemusik memainkan nada-nada minor yang menyayat hati. Musik dan buku disebar secara rahasia dan diam-diam.
***
smoga ini ditulis mz @irwanbajang jua ke banya orang; bukan personal. :))) pic.twitter.com/IOl16hpRm1— Kangmas Harry (@_HarRam) July 26, 2018
Soal dunia kepenulisan (dan menjadi penulis itu sendiri) tadi, ada mitos yang selalu dirawat dan diwariskan: bahwa penulis dan kucing adalah teman baik. Seorang penulis yang baik pasti punya atau memelihara kucing. Entah apa korelasinya dari kedua itu. Seakan-akan menulis tidak butuh kerja keras dan tinggal memelihara kucing maka selesai perkara. Karena banyak yang seperti itu!
'Kuberi Nama UFO!' merupakan cerita tentang itu. Penulis (walau aku tidak begitu yakin tokoh utama tersebut adalah penulis) yang kesepian dan (di)datang(i) kucing yang menemani.
Seperti ada yang aneh. Entah yang lain. Karena sepanjang cerita itu ditarik ke segala sisi, aku kira pembaca sudah bisa menebak tokoh yang datang adalah kucing tanpa perlu sampai akhir cerita tokoh aslinya dibuka.
Mungkin tujuan awalnya adalah cerita horor. Sebab mz Irwan Bajang nampaknya dalam cerita itu sedang memersonifikasikan kucing menjadi makhluk-yang-terus-diam ketika ditanya.
Atau, kemungkinan lainnya adalah aku yang selalu gagal membaca cerita horor. Sebut saja 'Cantik Itu Luka' yang ditulis Eka Kurniawan. Cerita yang dibuka dengan kehadiran Dewi Ayu yang bangkit dari kubur, entah kenapa, memang  secara logika itu termasuk adegan horor. Tapi efek yang kemudian aku dapat malahan keren. Yha, namanya horor, kalau tidak bikin takut, minimal bikin kagetlah. Begitu, bukan?
Jua dalam cerita-cerita Abdullah Harapap. Meski aku baru baca 'Sumur Darah', kengerian itu memang dibangun secara mistis: lukisan yang mengeluarkan darah, misalnya. Sayangnya tokoh UFO tidaklah semengerikan itu. Karena yang ditanya dan tidak menjawab, dan mengerikan adalah laiknya pasangan kita ketika ditanya: aku salah apa?
***
Buku tipis buatan mz Irwan Bajang ini menarik buatku. Selain tipis, tentu saja, buku ini jua bentuknya kecil. Seperti buku saku.
Dengan memuat 16 cerita, 'hantu, presiden dan buku puisi kesedihan' paling tidak menandakan suara zaman: keriuhan Pemimpin dan Yang-Dipimpin hanya menyiratkan relasi kuasa semata. Tidak lebih dari itu. Dan kekuasaan, biar bagaimanapun, selalu memang. Betapa menyebalkan, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H