Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mencecap Rasa Lain dari Kopi Liong Bulan

18 April 2018   22:40 Diperbarui: 19 April 2018   20:41 3696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang menarik dari cara Joko Pinurbo dalam bersyukur. Ia menulis: besar atau kecil setiap rezeki mesti dirayakan dengan secangkir kopi.

Setelah keributan tentang Kopi Liong Bulan itu berlalu, ada yang kemudian terpikirkan: mengapa tidak ada kedai kopi "sungguhan" yang menyajikan Kopi Liong Bulan sebagai daftar kopi khas daerah lain yang disajikan? Sebagai peminum Kopi Liong Bulan sejati, Ridwan Remin punya jawaban yang sedikit menggelitik, "kalau bisa dinikmati seharga dua ribu, buat apa membayar dengan harga 15 sampai 20ribu di kedai kopi?"

Secara akal sehat memang benar, tapi Kopi Liong Bulan punya signature sendiri. Selain hanya ada di Bogor, rasanya juga berbeda dengan kopi-kopi sachet-an lainnya. Ada juga sisi lain yang penting, jika sudah masuk kedai kopi "sungguhan" akan besar kemungkinan untuk lebih banyak dikenal banyak orang dan secara tidak langsung kopi tersebut "naik kelas".

Ada beragam cara agar supaya kopi bisa "naik kelas". Satu di antaranya, kopi tersebut bisa memenangkan beragam kompetisi festival kopi international. Sampai saat ini, menurut kabar, kopi yang berasal dari daerah pegunungan Puntang, Kabupaten Bandung, menjadi kopi termahal di dunia.

Atau, secara sederhana begini: seorang teman memiliki usaha menjual ikan asin kemasan seharga 15 ribu per-bungkusnya. Sedangkan, jika kita pergi ke pasar atau langsung beli di tukang sayur, dengan barang yang (relatif) sama, harganya mungkin bisa sedikit lebih murah. Kenapa? Karena setiap barang, menurut Deska Alvriani, si penjual ikan asin kemasan itu, mengemas dengan cara yang berbeda. Sudah begitu, ia mendapat langsung dari nelayan yang notabene "tangan pertama".

Benar seperti yang dikatakan Pandji Pragiwaksono dalam pertunjukan stand-up comedy, Juru Bicara: tidak ada barang yang tidak laku, yang ada hanyalah barang yang secara keliru dipasarkan. Ikan asin mentah dipasarkan sebagai tambahan lauk yang bisa awet ditahan lama pasti jauh lebih laris daripada ikan asin olahan yang, barangkali, bisa cepat basi dalam waktu tertentu.

Baca: Sketsa Berhentinya Kopi Liong Bulan yang Fiktif itu

Oleh karenanya, kembali mengutip apa yang dikatakan Pandji Pragiwaksono, sebuah karya (atau apapaun) itu akan laku jika dibuat sedikit lebih beda, bukan sedikit lebih baik. Dengan begitu konsumen akan lebih mudah notice terhadap perbedaan itu. Namun, mengapa ini sulit bagi Kopi Liong Bulan?

Dengan alasan itulah akhirnya saya menemui seorang home barista --atau jika diartikan secara serampangan: seorang penikmat kopi yang sudah tobat dari kopi-kopi sachet dan beralih meracik kopi sendiri dengan baik dan benar. Agung Nugroho, namanya. Bukan menantang atau belaga membuat tantangan, tapi lebih kepada percobaan membuat Kopi Liong Bulan. Sebab, dari dulu orang-orang membuatnya dengan ditubruk (isitilah yang digunakan dalam membuat kopi: kopi ditaruh di gelas dan ditubrukan langsung dengan air panas).

Perlatan yang digunakan untuk mencoba ragam rasa Kopi Liong Bulan (dok. pribadi)
Perlatan yang digunakan untuk mencoba ragam rasa Kopi Liong Bulan (dok. pribadi)
"Jadi nanti kita coba bikin 3 metode," kata Agung. (1) Dengan ditubruk, (2) pourover dan (3) aero-press. "Tapi tidak hanya itu, nanti kita bandingkan satu persatu, mana yang sekiranya enak dan cocok untuk Kopi Liong Bulan," lanjutnya. Ia kemudian mengeluarkan peralatan dari dalam rumahnya. Kami membuat kopi di taman. Sungguh keseruan yang hakiki, bhaaaaang.

1. Kopi Liong Bulan dibuat dengan ditubruk

Seperti yang tadi sudah dijelaskan dan sebagaimana orang-orang lakukan. Kopi ditaruh digelas, kemudian ditubruk langsung dengan air panas.

Kopi yang digunakan sekitar 15 gram. Ditubruk. Kemudian ditunggu sebentar hingga kopi "termasak" langsung di gelas, sebelum diaduk. Tanpa gula, tanya saya. "Kalau mau mencoba rasa asli kopi ya, gak pake gula," jawab Agung.

Semua air liur yang ada di mulut secara tiba-tiba hilang. Meluncur mulus ke tenggorokan. Hati pun jadi ragu untuk mencobanya. Sebab, setahu saya, kopi di mana-mana memang pahit, tapi hambokya dikasih gula barang sedikit agar supaya gak perih.

Setelah dirasa cukup, Agung langsung meminta saya untuk mencoba. Saya ambil sendok dan meniupnya pelan-pelan. Pelan-pelan sambil berharap: Agung akan iba melihat saya dan akhirnya menambahkan gula. Tapi itu tidak terjadi. Agung menunggu saya mencecap kopi tubruk tersebut. Kopi langsung saya ludahkan, seperti halnya Q Gereder kenamaan.

Saya tahu itu cara tersebut dari film "Filosofi Kopi". Mudah memang kalau sekadar meniru. Namun yang saya lakukan bukan seperti yang dimaksudkan untuk cepat menetralkan kopi di lidah, melainkan karena kopi tersebut benar-benar pahit. Tidak ada lagi selain itu. Titik!

Beberapa tetes nampaknya ada yang tertelan dan rasa pahit itu lama sekali terasa. Jika dianalogikan, laiknya sulit memaafkan mantan yang pergi meninggalkan saat sedang sayang-sayangnya karena selingkuh. Pahit.

Kopi Liong Bulan yang dibuat ditubruk dengan Pour Over (Dok. Pribadi)
Kopi Liong Bulan yang dibuat ditubruk dengan Pour Over (Dok. Pribadi)
2. Kopi Liong Bulan dibuat dengan cara Pour Over

Agung meletakan gelas di atas timbangan digital. Setelah itu ia menutup gelas itu dengan dripper. Namun sebelumnya ia sterilkan dengan mengguyur menggunakan air panas. Baru setelahnya pada dripper itu ditaruh filter paper yang nantinya ditaruh bubuk kopi.

Berat kopi dibuat sama: 15 gram. Dari katel yang berisi air panas, Agung menyiramkan kopi itu secara perlahan dengan memutar-mutar-mengambang di atasnya. Perlahan tetesan Kopi Liong Bulan itu mulai turun dari dripper ke gelas. Agung menyalakan timer dari gadget. "3 menit semestinya cukup," katanya. Maksudnya?

"Karena tekstur bubuk Kopi Liong Bulan itu sangat halus, jadi sedikit lama. Biasanya paling 1-2 menit cukup," lanjut Agung menjelaskan alasannya menyalakan timer itu.

Setiap kali air di filter paper itu surut, maka Agung akan menuangkan kembali dengan cara yang sama. Terus hingga 3 menit dan setengah gelas itu telah berisi kopi.

Warnanya jauh lebih hitam pekat daripada yang ditubruk tadi. Agung membereskan alat-alat itu. Membuang ampas Kopi Liong Bulan yang tersisa di filter paper, mengguyur dripper dan sedikit mengaduk tetesan kopi tersebut.

Yang pertama terlintas dalam pikiran saya adalah: jika kopi tubruk tadi rasanya sudah membuat perih, bagaimana dengan ini, yang warna jauh lebih pekat?

"Nah, cobain deh," kata Agung.

Saya masih berharap sama seperti pada percobaan pertama: Agung iba dan memberikan kopi itu sedikit gula. Namun harapan itu kembali sia-sia. Gelas itu saya angkat. Saya hirup aromanya. Berbeda. Jauh lebih juice tinimbang kopi tubruk. Saya cecap sedikit Kopi Liong Bulan. Segar, meski memang rasanya pahit.

"Biasanya kalau pakai pour over itu karakter kopi emang pasti keluar. Ada rasa buah-buahannya, kan?" tanya Agung, setelah saya selesai mencecapnya. Dan saya mengangguk.

Kopi Liong Bulan yang dibuat ditubruk dengan Aero-Press
Kopi Liong Bulan yang dibuat ditubruk dengan Aero-Press
3. Kopi Liong Bulan dibuat dengan cara Aero-Press

Dari dalam rumahnya Agung kembali mengeluarkan gelas dan..., french press (?) tapi sedikit lebih besar seperti yang biasa saya temui.

"Ini french press?" tanya saya.

"Ya, bukanlah. Kan mau bikin aeropress, jadi ya ini namanya Aeropress. Bedanya french press itu hanya untuk menyaring kopi dengan ampasnya, sedangkan aeropress terdapat plunger yang terbuat dari karet dan akan menghasilkan tekanan udara yang digunakan untuk melakukan proses ekstrasinya."

Alat itu diletakkan di atas timbangan. Agung kembali menakar Kopi Liong Bulan seberat 15 gram. Dituanglah air panas ke alat tersebut. Diaduk hingga larut. Kemudian Agung mengeluarkan selembar filter paper khusus untuk untuk menutup atasnya dengan kencang. Baru kemudian saya sadar, ternyata alat itu bolak-balik. Membayangkan kenorakan itu, saya ketawa-ketawa sendiri. Agung menanyakan kenapa saya tertawa, tapi tentu tidak saya jawab.

Alat tersebut langsung dibalik, diletakkan di atas gelas. Agung sambil berdiri menekan alat itu. Ada sedikit kesulitan nampaknya. Gelasnya hampir miring dan tumpah. Saya bantu memeganginya. Agung yang menekan, saya yang menahan gelas. Setetes demi setetes kopi itu memenuhi gelas sampai air dalam alat itu habis dan beralih ke dalam gelas.

Baca: Akhir Sketsa Berhentinya Kopi Liong Bulan yang Fiktif itu

Agung membuka alat itu. Ampasnya sedikit kering yang tersaring kertas. Ia membuang ampasnya, saya memerhatikan warna Kopi Liong Bulan di gelas, warnanya lebih hitam pekat. Kemudian saya membuat hipotesa sendiri dalam pikiran: jika warna semakin hitam maka akan lebih terasa juice. Saya ambil sendok dan mencecap kopi tersebut.

Sial! Baru kali ini saya tahu ada rasa gelap! Melebihi pahit. Mungkin ini rasa kopi yang sebenarnya. Saya secara reflek meludah. Rasa kopi itu tertinggal lama di tenggorokan. Agung memberi saya air mineral, tapi tetap saja masih terasa pahitnya. Jika dianalogikan: seperti kopi tubruk, sudah ditinggal saat sayang-sayangnya, dia selingkuh dan masih saja mengundang hadir pada pernikahannya.

***

Tiga kopi itu disejajarkan. Sesaat ingin mencoba, tiba-tiba datang Babang Gojek. Maklum, di rumahnya Agung juga membuka warung makan yang bisa dipesan lewat aplikasi itu. Agung masuk dan entah apa yang ia lakukan di sana.

"Mau nyoba, Mang?" tanya saya kepada Babang Gojek, tentu itu sebuah tawaran. "Suka ngopi juga, kan?"

"Waduh, ada apaan nih?"

"Lagi iseng aja bikin kopi. Hayuk atuh dicoba, Mang,"

"Kalau saya sih suka kopi yang rasanya strong, maklum punya darah rendah," katanya dengan penuh bangga.

"Iyeeeeee, Maaaang,"

Ia mencoba satu persatu kopi itu. Setiap selesai mencoba, ia berkata "Waduuuuuuh...,"

"Kenapa, Mang?"

"Gak pake gula, yha?"

"Atuh enggalah. Pan namanya juga kopi, bukan kolak," jawab saya sambil tertawa. Itung-itung berbagi rasa pahit. Itu tidak jahat, kan?

Agung keluar dari dalam. Sambil membawa secarik kertas tagihan.

"Gimana, udah dicoba?" tanya Agung kepada saya.

"Udah, tuh sama si Mamang," jawab saya riang, karena kadung masih merasa pahit-pahit kopi.

"Kalau saya sih lebih suka yang ini," kata Babang Gojek, sambil menunjuk kopi yang diseduh Aeropress. "Soalnya kan tadi, saya suka yang rasanya strong."

Hebat juga. Ia bisa tahu kalau memang kopi tersebut punya rasa yang sangat kuat. Apa dia seorang Q Greder yang sedang nyambi? Yang pasti ia tahu bagaimana menikmati kopi.

***

Hasil Kopi Liong Bulan yang dibuat dengan Aero-press dan Pour Over
Hasil Kopi Liong Bulan yang dibuat dengan Aero-press dan Pour Over
Menurut Agung, kecil kemungkinan bahwa Kopi Liong Bulan bisa menembus pasar-pasar kedai kopi "sungguhan". Karena sekarang, saking banyaknya kedai kopi, hanya sedikit para barista bisa experience kopi sendiri.

"Untuk kedai kopi Starbucks, misalnya, di sana barista hanya tok menyeduh kopi yang sudah ditentukan," kata Agung coba menjelaskan.

Memang, ini akan berbeda dengan kedai kopi yang relatif lebih kecil, di mana barista merangkap juga sebagai pemilik kedai itu sendiri. "Ia bisa beli kopi dari green bean, kemudian membuat percobaan, misalnya sekitar 100 kali, hingga ia bisa membuat signature kopinya sendiri," lanjutnya.

Hari makin sore dan rasa kopi itu masih belum hilang dari tenggorakan. Ke-Pahit-an memang bisa jauh lebih lama membekas daripada yang manis-manis saja. Tidak lama, datang lagi Babang Gojek yang lain membawa pesanan Nasi Ayam Uleg Mozarella. Agung melayaninya sebentar.

Dari dapur mulai tercium aroma masakan istrinya. Perut saya tentu lapar. Kopi bisa membuat kenyang rasa-rasanya hanya mitos belaka. Setelah selesai memberi pesanan Babang Gojek, saya pun tertarik ikut pesan: 1 Nasi Ayam Uleg Mozarella dan 1 Cold brew. Lumayan, itung-itung membersihkan rasa pahit kopi di tenggorokan dan kenyang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun