Plato benar! Ketika ia menggambarkan satu sisi dari dinding goa memantulkan bayang-bayang api unggun yang menyala di belakang orang-orang yang terkungkung, maka bayangan itu mereka percayai sebagai sebuah kebenaran. Apapun itu dari hasil bayangan yang terpantul. Namun, ketika ada seorang yang bisa keluar dari dalam goa dan melihat keluar, realitas ternyata bisa (saja?) berbanding terbalik dengan bayangan itu sendiri.
Alegori yang dibuat Plato sebenarnya bisa digunakan untuk memahami kebencian Borges, sastrawan besar yang berasal dari Argentina, terhadap sepak bola. Sebab sepak bola adalah estetika yang buruk, katanya, sebelas orang melawan sebelas orang lainnya saling mengejar bola bukanlah keindahan.
"Orang-orang datang ke stadion atau menonton sepak bola di televisi, bukan untuk melihat sebuah pertandingan (sepak bola), melainkan sekadar ingin melihat tim kesayangannya menang," lanjutnya.
Sebenarnya sepak bola bisa menjadi sebuah fantasi. Setiap orang mendukung tanpa pernah peduli bagaimana sebuah tim (kesayangannya) bertanding. Tidak lebih. Mereka mengimajinasikannya hingga memercayai imajinasi itu sendiri sebagai kebenaran. Seperti manusia yang masih terkungkung dalam goa: ia percaya segala yang bias dari apa yang bisa dilihatnya. Padahal, tidak semua bayangan (harapan) bisa persis menyerupai realitas (kenyataan).
Dan, barangkali, menjadi tepat pembacaan Eka Kurniawan terhadap karya-karya Borges. Bahwa karya Borges adalah adonan kisah fantasi dan spekulasi filsafat. Borges, dalam beberapa cerpennya, kerap membuat 'Borges lain' untuk melihat atau menilai atau menyikapi masalah. Tokoh karakter itulah, kembali mengutip Eka Kurniawan, sebagai cermin. Frasa 'cermin' tentu saja merujuk kepada permenungan: kita yang sebenarnya adalah bayangan yang dihasilkan dalam cermin tersebut; bukan yang diimajinasikan.
Namun, sekali lagi, sepak bola mengultuskan yang lain. Karena itulah, barangkali, yang membuat Borges tidak (lagi) menyukai sepak bola sebagai permainan. Sebab jika kita bayangkan sepak bola sebagai sebuah tokoh cerita, maka bayangan 'cermin' yang tampak adalah dugaan: kalau tim (kesayangannya) yang ia bela mesti menang. Ini yang bisa menjebak manusia terjatuh ke labirin asumsi itu sendiri. Dan, yang jauh lebih berbahaya adalah membuat pembenaran.
Ini teori sederhana sebuah pembenaran. Kerumunan bisa membuat dusta beralih wujud menjadi kebenaran. Dan sebaliknya, kebenaran yang minim dukungan bisa dianggap fiktif belaka. Kita tahu itu, hanya saja kita kadung malu untuk menyadarinya. Sebagaimana AC Milan dan tim-tim kesayangan lain yang lajunya mesti terhenti di babak 16 besar.
Adalah naif bila menyangkal kalau Welbz tidak melakukan diving. Karena kala itu AC Milan baru membangun asa manakala Calhanoglu membuat gol yang spektakuler. Tapi, 3 menit berselang, Arsenal menyamakan kedudukan. Welbz terjatuh di kotak penalti. Welbz sendiri yang mengeksekusi penalti itu. Welbz menjauhkan defisit gol antara Arsenal dengan AC Milan.
Namun, alih-alih memangkas kekurangan gol, tidak banyak yang dilakukan AC Milan. Pertandingan usai. Setelah kejadian penalti itu, Xhaka (atau, mungkin own-goal dari Donnarumma) dan (kembali) Welbz menggandakan golnya malam itu. Skor akhir 3-1 untuk Arsenal dan 5-1 hasil agregal Arsenal mengalahkan AC Milan dalam dua laga.
Let's hope: 1-3 #ARSACM--- Ardiansyah Taher (@arditaher) March 15, 2018
Gattuso tidak ingin menyalahkan wasit. Tapi, dengan nada satire, Gattuso membenarkan apa yang dilakukan Welbz. Memang tugas penyerang melakukan itu. Menghalalkan macam cara. Aneh. Sedangkan Wenger sendiri tidak melihat kejadian Welbz ketika dijatuhkan (atau, menjatuhkan diri mungkin) oleh Rodriguez di kotak penalti. Yang jelas, kata Wenger, kami (Arsenal) telah bermain sebagaimana Arsenal yang banyak dikenal.