Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mau Kritik DPR? Itu Berat! Biar Mereka Sadar Sendiri Saja

18 Oktober 2018   07:11 Diperbarui: 18 Oktober 2018   10:36 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koalisi Masyarakat Sipil meluncurkan petisi Tolak UU MD3 di Change.org, di Kantor ICW, Jakarta, Rabu (14/2/2018). (KOMPAS.com/Ihsanuddin)

Pada akhirnya Tan Malaka ke Filipina. Ia menemui Winanta dalam pelariannya yang sudah lebih dulu di sana; bersama Carmen di kediaman Ayahnya, Apollinario, seorang Rektor di Universitas Manila.

Dalam sebuah fragmen pada novel "Tan, Gerilya Bawah Tanah" di mana Tan Malaka beserta tiga lainnya sedang makan bersama di rumah Profesor Apollinario, menjelaskan bagaimana Indonesia dalam bayangannya, yang terlebih dulu telah Tan Malaka tuangkan dalam bukunya "Menuju Republik Indonesia" itu.

Sebelumnya Profesor Apollinario sudah membacanya, namun ia meminta penulisnya, Tan Malaka, untuk menceritakan langsung. Negara Indonesia di dalam kepalanya, kata Tan, adalah negara berbentuk republik yang pemerintahannya diselenggarakan secara efisien oleh satu organisasi tunggal. "Tidak ada parlemen dan legislatif, karena fungsi tersebut menyatu dalam organisasi tunggal itu sendiri," tegas Tan Malaka.

Gagasan itulah yang kemudian membuat Profesor Apollinario tergelitik. Sebab, katanya, mana mungkin pemerintah merangkap pembuat undang-undang.

Namun, dengan cepat Tan Malaka kembali menegaskan kalau pemisahan antara Eksekutif dan Parlemen hanya akan menyebabkan kesenjangan antara peraturan dan realitas. Kemudian Carmen bertanya, "bukankah mereka bisa turun ke lapangan untuk menarik aspirasi rakyat?"

Tan Malaka membenarkan. Tapi banyak catatan yang mengikuti pertanyaan sekaligus penyataan tersebut. Semisal, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk turun ke masyarakat? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bersidang?

Intinya, menurut Tan Malaka, mereka (anggota Parlemen) terpisah dari rakyat; mereka menerawang dari jauh. Setelah itu, adakah jaminan bahwa peraturan yang mereka susun akan menjawab kebutuhan rakyat yang terus dan akan selalu berubah-ubah?

Untuk itulah kini Indonesia menerapkan Trias Polika yang digagas oleh Montesquieu supaya tidak ada kekuasaan yang absolut. Pemisahan kekuasaan, singkatnya. Namun, pada kenyataannya, yang terjadi adalah adu-kuat antar lembaga. Legislatif kepada Eksekutif. Atau sebaliknya.

Yang belakangan memanas dan hilang begitu saja adalah ketika Jokowi enggan menandatangani Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Sayangnya, ditandatangani atau tidak oleh Presiden, seperti yang diamanatkan Undang-Undang, tetap berlaku dengan sendirinya (terhitung 30 hari sejak Undang-Undang disahkan).

Itu artinya, mulai Kamis (15/3/2018) Undang-Undang MD3 berlaku. Setuju atau tidak, mesti dilaksanakan. Jika tidak, kata Ketua DPR, Bambang Soesatyo, bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konsitusi. "Apapun nantinya keputusan MK, DPR siap melaksanakannya."

Bahkan sebelum UU MD3 disahkan, reaksi sudah mulai mencuat. Sebab, lewat UU ini, DPR menjadi lembaga antikritik dan bahkan bisa menyandera badan hukum dan masyarakat. Siapa yang geram? Rakyat, tentu saja.

Ini bukan lagi perihal memergoki ada anggota DPR tertidur saat sidang soal rakyat atau lainnya. Sebagai rakyat awan, kata Pebrianov, itu sudah biasa. Sudah sejak dulu. Namun, dalam revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) menempatkan Mahkamah Kehormatan Dewan punya wewenang mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

UU MD3 mesti diterapkan agar supaya, dalam pandangan mereka (yang tergabung dalam MD3) untuk menjaga martabat parlemen sebagai lembaga negara. Bukan. Sekali lagi, bukan untuk membatasi kritik. Karena kritik, mengutip ucapan Bambang Soesatyo, adalah vitamin bagi DPR.

***

HMI Kediri Lakukan Aksi Damai Tolak MD3 - .jagatngopi.com
HMI Kediri Lakukan Aksi Damai Tolak MD3 - .jagatngopi.com
Konon Jokowi enggan menandatangani karena tidak mendapatkan penjelasan mengenai sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3 dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. Ada 3 pasal yang dimaksud oleh Jokowi: Pasal 73, Pasal 122 huruf k dan Pasal 245.

Namun aksi massa kadung terjadi. HMI Kediri, misalnya, pernah melakukan aksi damai menolak UU MD3 pada Senin (12/03/2018). Mereka melakukan aksi di depan kantor DPRD Kota Kediri dan aksi ini sempat mendapat perhatian warga sekitar.Menurut koordinator aksi tersebut, Ahmad Munahibul Azkia, menyatakan bahwa itu bisa mengatur pemanggilan anggota DPR untuk pemeriksaan terkait kasus pidana harus melalui persetujuan MKD dan baru kemudian Presiden.

Aksi damai tersebut, lanjutnya, adalah "untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat agar anggota dewan tidak sewenang-wenang membuat UU. Aksi kita hari ini adalah jihad untuk membela rakyat!"

Hal ini, menurut Baldus Sae, membuat rakyat tidak lagi bisa mengontrol DPR karena bisa dianggap subversif. Menanti langkah hukum seperti yang disarankan Jokowi, hanya membuat rayat pasif di hadapan anggota Dewan.

"Apapun itu, sebagai warga Negara, kita berhak menolak hasil revisi UU MD3 ini. Sudah saatnya kita bersama-sama lantang bersuara, menolak UU ini," tegas Baldus Sae.

Mohammad Mustain bahkan membuat surat terbuka untuk DPR, judulnya: Janganlah DPR Pasti Benar dengan Segala Preketeknya. Pertanyaan besar dalam surat terbuka itu adalah bagaimana kami, rakyat, melihat kepantasan terhadap DPR sebagai lembaga yagn terhormat. Harapannya: Mahkamah Konstitusi bisa membatalkan Undang-Undang tersebut.

***

Ketika semakin marutnya pergolakan UU MD3, Rinsan Tobing menilai justru ada yang "menikung" dari PDIP itu sendiri. Sebabnya jelas, Undang-Undang dibuat bukan hanya oleh DPR, melainkan pemerintah (eksekutif) ada di sana.

"Pasal demi pasal direvisi dan diperdebatkan serius berbasis kepentingan individu anggota DPR dan pasti partainya. Padahal seharusnya kepentingan rakyat," tulis Rinsan Tobing.

Seperti ada yang dikerjakan diam-diam. Transparansi dikesampingkan ketika proses tawar menawar yang alot di antara dua kutub kepentingan yang berbeda.

Foto:Baldus Sae
Foto:Baldus Sae
"Revisi UU MD3 yang merupakan hasil pembahasan pemerintah dan DPR ini sangat mengagetkan masyarakat. Pasal-pasal yang meruntuhkan KPK dan juga menambah kekebalan anggota DPR berpotensi memperburuk citra presiden Jokowi. Soal citra, DPR sudah lama mengalami degradasi di mata masyarakat," lanjut Rinsan Tobing, dalam kritiknya mengenai UU MD3.

Mahasiswa dan anggota Parlemen seperti minyak dan air, tidak bisa menyatu. Oleh karenanya Abdussalam menyarankan, mahasiswa hukum sebagai pelajar yang berkonsentrasi pada masalah aturan yang berlaku, tentu memahami asas-asas dalam suatu peraturan perundang-undangan.

"Dengan kompetensi yang dimiliknya, maka tentu mahasiswa hukum memiliki pemahaman lebih dalam merancang peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, di masa depan, mahasiswa hukum akan menjadi figur yang tepat dalam merancang peraturan perundang-undangan," tulis Abdussalam dalam artikelnya yang berjudul 'Mahasiswa Hukum, Belajarlah Jadi Anggota DPR'.

Jadi, apa kabar UU MD3? Sudah berapa banyak yang menjadi korban? 

Etapi, katanya, kini pasal Pasal 239 ayat (1) RKUHP telah disetujui, bukan? Itu, tentang pasal menjadi delik aduan, yang artinya, Presiden dan Wakil Presiden bisa melakukan proses hukum tanpa pengaduan dari korban. Duh~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun